7 Mar 2016

Pola Prosedur Penerimaan Kasasi

A. Kasasi
Kasasi adalah pembatalan Putusan. Hal tersebut merupakan salah satu tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan lainnya.[1] Alasan hukum yang dipergunakan dalam permohonan Kasasi sebagaimana tersebut dalam pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yaitu karena Pengadilan:
1)        Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
2)        Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
3)        Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

B. Pendaftaran Perkara Kasasi[2]
1)        Permohonan kasasi didaftarkan kepada petugas Meja I Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah.
2)        Permohonan kasasi dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan amar putusan.
3)        Dalam hal permohonan kasasi atas penetapan (voluntair) dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah diucapkan atau diberitahukan kepada Pemohon.
4)        Penghitungan waktu 14 (empat belas) hari dimulai pada hari berikutnya (keesokan harinya) setelah amar putusan diberitahukan, dan apabila hari ke-14 (keempat belas) jatuh pada hari libur, maka diperpanjang sampai hari kerja berikutnya.
5)        Petugas Meja 1 menaksir besarnya panjar biaya kasasi berpedoman pada Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah tentang Panjar Biaya Perkara kemudian dituangkan dalam SKUM, yang terdiri dari:
a)         Biaya pendaftaran.
b)        Biaya perkara kasasi yang dikirim ke Mahkamah Agung RI.[3]
c)         Ongkos pengiriman biaya perkara kasasi.
d)        Biaya pemberitahuan akta kasasi.
e)         Biaya pemberitahuan memori kasasi.
f)         Biaya pemberitahuan kontra memori kasasi.
g)        Biaya fotokopi / penggandaan dan pemeriksaan.
h)        Biaya pengiriman berkas perkara kasasi.
i)          Biaya transportasi petugas pengiriman.
j)          Biaya pemberitahuan amar putusan kasasi kepada Pemohon kasasi.
k)        Biaya pemberitahuan amar putusan kasasi kepada Termohon kasasi.
6)        Petugas Meja I membuat SKUM rangkap empat:
a)         Lembar pertama warna hijau untuk bank.
b)        Lembar kedua warna putih untuk Pemohon kasasi.
c)         Lembar ketiga warna merah untuk Kasir.
d)        Lembar keempat warna kuning untuk dilampirkan dalam berkas.
7)        Apabila para pihak masing-masng mengajukan upaya hukum kasasi, maka:
a)         Biaya perkara kasasi yang dikirim ke Mahkamah Agung hanya dipungut satu kali, yaitu dari pengaju pertama.
b)        Pengaju kedua hanya dibebani biaya:
(1)      Fotokopi penggandaan berkas.
(2)      Pemberitahuan akta kasasi
(3)      Pemberitahuan memori kasasi.
(4)      Pemberitahuan kontra memori kasasi.
c)         Panitera Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah melaporkan secara tertulis ke Mahkamah Agung mengenai upaya hukum kasasi yang diajukan oleh kedua belah pihak.
8)        Petugas Meja I menyerahkan permohonan kasasi yang dilengkapi dengan SKUM kepada para pihak pengaju untuk membayar panjar biaya perkara kasasi kepada Kasir melalui bank.
9)        Pemegang Kas setelah menerima bukti pembayaran panjar biaya perkara kasasi harus menandatangani dan membubuhkan cap lunas pada SKUM.
10)    Permohonan kasasi dapat diterima apabila panjar biaya perkara kasasi yang tercantum dalam SKUM telah dibayar lunas.
11)    Pemegang Kas membukukan uang panjar biaya kasasi yang tercantum dalam SKUM pada Buku Jurnal Keuangan Perkara Kasasi.
12)    Biaya permohonan kasasi untuk Mahkamah Agung dikirim oleh Pemegang Kas melalui Bank BNI Syari’ah Kantor Layanan BNI Syari’ah Mahkamah Agung Jl. Medan Merdeka Utara Nomor 9 – 13 Jakarta Pusat, Nomor Rekening 179179175 atas nama Kepaniteraan Mahkamah Agung (Surat Panitera Mahkamah Agung RI Nomor 464/PAN/XI/2008 tanggal 12 November 2008 yang ditujukan kepada para Ketua PN, Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah dan PTUN), dan bukti pengirimannya dilampirkan dalam berkas perkara yang bersangkutan.
13)    Apabila panjar biaya perkara kasasi telah dibayar lunas, maka Panitera pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara dan mencatat permohonan kasasi tersebut dalam Buku Register Induk Perkara dan Buku Register Permohonan Kasasi.
14)    Permohonan kasasi yang telah terdaftar, dalam waktu 7 (tujuh) hari harus telah diberitahukan kepada pihak lawan.
15)    Memori kasasi, selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sesudah permohonan kasasi terdaftar, harus sudah diterima pada Kepaniteraan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah. Apabila dalam waktu tersebut memori kasasi belum diterima, Pemohon Kasasi dianggap tidak menyerahkan memori kasasi. Penghitungan 14 (empat belas) hari tersebut sama dengan pada butir (3) di atas.
16)   Panitera memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari salinan memori kasasi harus diberitahukan kepada pihak lawan.
17)    Setelah memori kasasi diberitahukan kepada pihak lawan, kontra memori kasasi selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari harus sudah disampaikan kepada Kepaniteraan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah untuk diberitahukan kepada pihak lawan.
18)    Dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak permohonan kasasi diajukan, berkas permohonan kasasi berupa Bundel A dan Bundel B harus dikirim ke Mahkamah Agung.
19)    Apabila syarat formal permohonan kasasi tidak dipenuhi oleh Pemohon kasasi, maka berkas perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung.[4]
20)    Yang dimaksud dengan syarat formal permohonan kasasi adalah tenggang waktu permohonan kasasi, pernyataan kasasi, panjar biaya perkara kasasi dan memori kasasi.[5]
21) Panitera Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah membuat surat keterangan bahwa permohonan kasasi tersebut tidak memenuhi syarat formal.[6]
22)  Berdasarkan surat keterangan Panitera tersebut dan setelah Ketua meneliti kebenarannya, Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah membuat penetapan yang menyatakan bahwa permohonan kasasi tersebut tidak dapat diterima.
23)  Salinan penetapan Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah tersebut pada butir (22) di atas diberitahukan / disampaikan kepada para pihak sesuai ketentuan yang berlaku.
24) Dengan dikeluarkannya penetapan Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah tersebut, maka putusan yang dimohonkan kasasi menjadi berkekuatan hukum tetap dan terhadap penetapan ini tidak dapat dilakukan upaya hukum.
25)  Petugas kepaniteraan mencatat kode “TMS” (Tidak memenuhi syarat formal) dalam kolom keterangan pada Buku Induk Register Perkara).
26)  Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah melaporkan permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat formal dengan dilampiri penetapan tersebut ke Mahkamah Agung.
27) Tanggal penerimaan memori kasasi dan kontra memori kasasi harus dicatat dalam Buku Register Induk Perkara dan Buku Register Permohonan Kasasi.
28)    Pencabutan permohonan perkara kasasi dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
a)         Permohonan pencabutan diajukan oleh Pemohon kasasi kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah yang memeriksa perkara dan disetujui oleh Termohon Kasasi.
b)        Panitera Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah membuat Akta Pencabutan kasasi yang ditandatangani Panitera, Pemohon Kasasi, dan Termohon Kasasi.
c)         Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah mengirim surat kepada Ketua Mahkamah Agung RI cq Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama MARI dengan lampiran huruf (a) dan (b) (Surat Ketua Muda ULDILAG Mahkamah Agung RI No. 08/TUADA-AG/VII/2001 tanggal 5 Juli 2001).
         29)    Ketua Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah harus membaca putusan kasasi dengan                 cermat dan teliti sebelum menyampaikan kepada para pihak.
          30)    Fotokopi relaas pemberitahuan amar putusan kasasi dikirim ke Mahkamah Agung.

C. Tertib Berkas Perkara Kasasi[7]
Bundel A (untuk arsip Pengadilan Agama)
Susunan dan aturan bundel A kasasi adalah sama dengan susunan dan aturan pada bundel A Permohonan banding. Terdiri dari:
1)          Surat gugatan penggugat atau surat perrnohonan pemohon;
2)          Penetapan Penunjukan Majelis Hakim (PMH).
3)          Penetapan Hari Sidang (PHS).
4)          Relaas-relaas panggilan.
5)          Berita Acara Sidang (jawaban/replik/duplik pihak-pihak dimasukkan dalarn kesatuan Berita Acara).
6)          Surat Kuasa dari kedua belah pihak (bila memakai kuasa);
7)          Penetapan Sita Conservotoir/Revendicatoir (bila ada).
8)          Berita Acara Sita Conservatoir/Revindicatoir (bila ada);
9)          Lampiran-!ampiran surat-surat yang dimajukan oleh kedua belah pihak (bila ada).
10)      Surat-surat bukti penggugat (diperinci).
11)      Surat-surat bukti tergugat (diperinci);
12)      Tanggapan bukti-bukti tergugat dari penggugat (bila ada).
13)      Tanggapan bukti-bukti dari Tergugat (bila ada).
14)      Berita Acara Pemeriksaan setempat (bila ada).
15)      Gambar situasi (bila ada).
16)      Surat-surat lainnya (bila ada).


Bundel B (untuk arsip Mahkamah Agung RI).
1)          Relas-relas pemberitahuan putusan banding kepada kedua belah pihak.
2)          Akte permohonan kasasi.
3)          Surat kuasa khusus dari pemohon kasasi (bila ada).
4)          Memori kasasi (bila ada) atau surat keterangan apabila pemohon kasasi tidak mengajukan memori kasasi.
5)          Tanda terima memori kasasi.
6)          Relas pemberitahuan kasasi kepada pihak lawan.
7)          Relas pemberitahun memori kasasi kepada pihak lawan.
8)          Kontra memori kasasi (bila ada).
9)          Relas pemberitahuan kontra memori kasasi kepada pihak lawan. Relaas memberikan kesempatan pihak-pihak, membaca dan memeriksa berkas (inzage).
10)      Salinan resmi putusan Pengadilan Agama. Salinan resmi putusan Pengadila Tinggi Agama.
11)      Tanda bukti setoran biaya yang sah dari Bank.
12)      Surat-surat lain yang sekiranya ada.


[1] Abdul Manan dan Ahmad Kamil, Penerapan dan Pelaksanaan Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Kepaniteraan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, (Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2007), 33.
[2] Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Buku II Edisi Revisi 2010), (Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2010), 19-24.
[3] Pasal 2 ayat (1) huruf (a) PERMA Nomor 02 Tahun 2009.
[4] Pasal 45A ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009
[5] Pasal 46 dan 47 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.
[6] Pasal 45A Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.
[7] H. Abdul Manan dan H. Ahmad Kamil, Op.Cit., 35.

Penegakan Hukum Yang Profesional dan Bermartabat

2.1 Penegakan Hukum
Soerjono Soekanto mendefinisikan penegakan hukum sebagai kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup.[1]
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. membagi pengertian penegakan hukum dalam dua tinjauan.  Pertama, ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegak hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.[2]
Kedua, pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.[3]
Dalam menegakkan hukum ini ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.[4] Oleh karena itu Satjipto Rahardjo dalam bukunya “Masalah Penegakkan Hukum”, menyatakan bahwa penegakkan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakekat dari penegakkan hukum.[5]
Penegakan hukum harus memperhatikan kemanfaatan atau kegunaannya bagi masyarakat. Karenanya pelaksanaan dan penegakkan hukum harus memberi manfaat bagi masyarakat. Dan jangan sampai terjadi pelaksanaan dan penegakkan hukum merugikan masyarakat, yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan.
Penegakan hukum juga harus mencapai keadilan. Peraturan hukum tidak identik dengan keadilan. Karenanya peraturan hukum yang bersifat umum dan mengikat setiap orang, penerapannya harus mempertimbangkan berbagai fakta dan keadaan yang terdapat dalam setiap kasus. Dimana fakta-fakta tersebut harus dipertimbangkan oleh aparat negara penegak hukum, terutama oleh hakim yang menjatuhkan putusan. Jadi keadilan itu sifatnya kasuistis.
Satjipto Rahardjo menyatakan penegakan hukum sebagai proses sosial, yang bukan merupakan proses tertutup, melainkan proses yang melibatkan lingkungannya. Oleh karena itu, penegakan hukum akan bertukar aksi dengan lingkungannya, yang bisa disebut sebagai pertukaran aksi dengan unsur manusia, sosial, budaya, politik, dan sebagainya.[6]
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum sangat tergantung pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya, yaitu:
a.       Faktor hukumnya sendiri
b.      Faktor penegak hukum, pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum
c.       Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
d.      Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
e.       Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup[7]
Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegakan hukum.[8]

2.2 Penegak Hukum Yang Profesional dan Bermartabat
Aparat penegak hukum dalam pengertian luas merupakan institusi penegak hukum, sedangkan dalam arti sempit, aparat penegak hukum adalah polisi, jaksa, dan hakim. Dalam penyelenggaraan sistem peradilan diperlukan jajaran aparatur penegak hukum yang profesional, cakap, jujur, dan bijaksana. Para penegak hukum memiliki tanggung jawab menegakkan wibawa hukum dan menegakkan keadilan. Profesionalisme penegak hukum dapat dilihat dari tingkat penguasan ilmu hukum, keterampilan dan kepribadian para penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam bekerja.
Penegak hukum disebut profesional karena kemampuan berpikir dan bertindak melampaui hukum tertulis tanpa menciderai nilai keadilan. Dalam menegakkan keadilan, dituntut kemampuan penegak hukum mengkritisi hukum dan praktik hukum demi menemukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang profesional. Keahlian saja tidak cukup. Diperlukan keutamaan bersikap profesional: berani menegakkan keadilan. Konsistensi bertindak adil menciptakan kebiasaan bersikap adil. Keutamaan bersikap adil menjadi nyata tidak saja melalui perlakuan fair terhadap kepentingan masyarakat, tetapi juga lewat keberanian menjadi whistleblower saat terjadi salah praktik profesi. Seorang profesional seharusnya tidak mendiamkan tindakan tidak etis rekan seprofesi. Ini bagian dari pelaksanaan tugas yang tidak mudah, namun harus dilakukan karena kemampuan bersikap adil menuntut keberanian mempraktikkan, bukan sekadar mengetahui keadilan.[9]
Namun dalam praktiknya, masih banyak penegak hukum yang tidak profesional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Untuk dapat menjaga moralitas dan keprofesionalan kinerja dalam menegakkan hukum, para penegak hukum wajib mentaati kaidah-kaidah dan norma-norma yang ada.
Menurut O. Notohadimidjodjo, ada empat norma yang penting dalam penegakan hukum, yaitu:[10]
a. Kemanusiaan
Norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penegakan hukum, manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia, sebab ia memiliki keluhuran pribadi.
b. Keadilan
Keadilan adalah kehendak yang ajeg dan kekal untuk memberikan kepada orang lain apa saja yang menjadi haknya.
c. Kepatutan
Kepatutan atau equity adalah hal yang wajib dipelihara dalam pemberlakuan undang-undang dengan maksud untuk menghilangkan ketajamannya. Kepatutan ini perlu diperhatikan terutama dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat.
d. Kejujuran
Pemelihara hukum atau penegak hukum harus bersikap jujur dalam mengurus atau menangani hukum, serta dalam melayani justitiable yang berupaya untuk mencari hukum dan keadilan. Atau dengan kata lain, setiap ahli hukum diharapkan sedapat mungkin memelihara kejujuran dalam dirinya dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang curang dalam mengurus perkara.
Penegak hukum dalam kedudukannya sebagai profesi luhur, menuntut kejelasan dan kekuatan moral yang tinggi. Franz Magnis-Suseno dkk., menunjukkan ada tiga ciri kepribadian moral yang dituntut dari para penyandang atau pemegang profesi luhur ini, yaitu:[11]
a.    Berani berbuat dengan tekad untuk memenuhi tuntutan profesi.
b.    Sadar akan kewajiban yang harus dipenuhi selama menjalankan tugas profesionalnya.
c.    Memiliki idealisme sebagai perwujudan makna ‘mission statement’ masing-masing organisasi profesionalnya.
Artinya, setiap penegak hukum dalam kedudukan dan fungsinya masing-masing dituntut untuk bertindak dengan tekad dan semangat yang sesuai dengan cita-cita dan tuntutan profesinya. Integritas dan profesionalisme tidak dilahirkan secara instan, melainkan terbentuk dalam proses menjalankan tugas dan kewajibannya dalam sistem yang baik.
Profesional dengan martabat sangat erat sekali hubungannya, karena suatu martabat mengandung sifat dan karakter kemuliaan. Seorang profesional yang bermartabat adalah orang merasa mulia dan bangga dengan pekerjaan atau jabatannya. Atas dasar rasa mulia dan bangga tersebut, yang bersangkutan akan senantiasa menjaga dan menjunjung tinggi kehormatan pekerjaan atau jabatannya.[12]

2.3 Kode Etik Profesi Penegak Hukum
Profesionalisme aparat penegak hukum yang dipertanyakan sekarang ini disebabkan karena lunturnya makna sebuah kode etik profesi hukum yang seharusnya menjadi pedoman dalam berprofesi. Oleh kebanyakan penegak hukum, profesi penegak hukum direduksi menjadi sekadar pekerjaan guna mendapat materi. Pemahaman seperti itu mengabaikan dimensi pelayanan sebagai unsur esensial profesi itu. Para profesional penegak hukum lupa, profesi adalah peran sosial yang eksistensi dan fungsinya tergantung pelayanan yang fair atas kepentingan masyarakat.[13] Kode etik profesi memunculkan kesetiaan dan pengabdian pada pekerjaan dari profesi yang dijalani, berkaitan dengan profesionalitas dan kehormatan dirinya.
Pedoman perilaku yang bagi pemegang profesi terangkum dalam Kode Etika yang di dalamnya mengandung muatan etika, baik etika deskriptif, normatif, dan meta-etika.[14] Jadi kode etik berkaitan dengan profesi tertentu sehingga setiap profesi memiliki kode etiknya sendiri-sendiri tentang apa yang disepakati bersama seperti bagaimana harus bersikap dalam hal-hal tertentu dan hubungan dengan rekan sejawat.
Aparat penegak hukum memiliki kode etik dalam menjalankan profesinya. Hakim, Jaksa, dan Polisi tidak dapat seenaknya menjalankan tugas dan wewenang tanpa pedoman perilaku dalam berprofesi. Jika diamati, ketentuan dalam Kode Etik Profesi masing-masing aparat penegak hukum mewajibkan agar setiap tugas dan wewenang dijalankan sesuai dengan jalur hukum dan tidak ada penyalahgunaan wewenang.
Dalam mengemban tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban nasional, tiap-tiap anggota Polri harus menjalankannya dengan berlandas pada ketentuan berperilaku petugas penegak hukum (code of conduct) dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Standar-standar dalam code of conduct dapat dijadikan sarana untuk menentukan apakah telah terjadi malpraktik profesional atau tidak. Dapat dikatakan telah terjadi malpraktik apabila seorang profesional dalam menjalankan tugas dan kewajibannya telah melakukan tindakan yang tidak profesional di bawah standar atau sub-standar profesinya, menimbulkan kerugian (damage) terhadap orang lain sebagai akibat perbuatannya.[15] Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ditegaskan bahwa:
“Pembinaan kemampuan profesi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilaksanakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalaman penugasan secara berjenjang, berlanjut, dan terpadu.”
“Peningkatan dan pengembangan pengetahuan dapat dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan, baik di dalam maupun di luar lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, di lembaga pendidikan di dalam atau di luar negeri, serta berbagai bentuk pelatihan lainnya sepanjang untuk meningkatkan profesionalisme”
Kemudian dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan bahwa:
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.”
Di bagian penjelasan umum juga disebutkan bahwa untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh berbagai jenjang pendidikan dan pengalaman dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang. Sudah jelas amanah dari Undang-Undang ini terhadap profesi jaksa dalam penegakan hukum di Indonesia.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa:
Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.”
Semua aturan tersebut menegaskan bahwa masing-masing aparat penegak hukum harus mengemban tugas dan wewenang dengan penuh tanggung jawab dan berintegritas tinggi.
Advokat di dalam melaksanakan tugasnya perlu adanya integrasi, karakteristik yang kuat dan tentunya berkualitas serta berintelektual yang tinggi. Sebagaimana dikatakan oleh Robert F. Kennedy: ourage in the most important atribute of a lawyer. Litis more important than important competence or vision. It can never be the limited, dated or ourwom and it should pervade the hearth, the halls of justice, and the camber of the mind.” (Keteguhan hati adalah atribut yang teramat sangat penting bagi seorang Advokat . Ia adalah lebih penting ketimbang kecakapan atau visi. ia tidak dapat dibatasi, tidak dapat untuk tidak diberlakukan, atau tidak dapat usang, dan ia akan merembesi jantung dan merembesi lorong-lorong keadilan dan ruang-ruang keadilan).[16]
Dalam membela kliennya, advokat harus tetap menghormati hukum. Jadi advokat tidak boleh melanggar hukum, sehingga apabila kliennya menawarkan menggunakan keterangan atau kesaksian palsu dalam rangka pembelaan, advokat harus menolaknya.



[1] Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 1983), 3.
[2] Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum.
[3] Ibid.
[4] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1986), 130.
[5] Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakkan Hukum, (Bandung: Sinar Baru, tt), 15.
[6] Ibid., 14.
[7] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), 5.
[8] Ibid., 5-6.
[9] Andre Ata Ujan, "Quo Vadis" Profesionalisme Hukum? Artikel Kompas, 12 Agustus 2005.
[10] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum (Norma-Norma Bagi Penegak Hukum), (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 115.
[11] Ibid., 165.
[13] Frans H. Winarta, Membangun Profesionalisme Aparat Penegak Hukum, Jakarta, 28 Mei 2012.
[14] K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 11-15.
[15] Mardjono Reksodiputro, “Reformasi Hukum di Indonesia”, Seminar Hukum Nasional Ke VII, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, 1999, hal. 73-87.
[16] Fauzie Yusuf Hasibuan, Hukum dan Dunia Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Fauzie & Partners, 2007), 39.