13 Jan 2013

Tafsir wasiat al- Baqarah 180-181 al-Maidah 106-108


BAB I
PENDAHULUAN


1.1  latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, dimana di dalamnya terkandung petunjuk-petunjuk bagi umat Islam di dalam menjalani kehidupan. Penjelasan ayat Al-Qur’an adakalanya masih bersifat mujmal, sehingga diperlukan penafsiran, baik secara tekstual maupun kontekstual dalam mengartikannya.
Salah satu hal yang telah diatur dalam al-Qur’an adalah mengenai wasiat. Dimana telah dirumuskan dalam surah al-Baqarah 180-181 dan surah al-Maidah 106-108. Meski demikian masih banyak masyarakat yang belum mengerti akan perihal wasiat tersebut. Padahal semuanya telah dijelaskan Allah dalam ayat-ayat kedua surah tersebut.
Berangkat dari masalah di atas, kami mencoba mentafsirkan ayat-ayat mengenai wasiat tersebut, dengan berdasar pada berbagai pendapat dari para ahli tafsir. Sehingga diharapkan masyarakat tidak lagi bingung akan perihal wasiat ini.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan wasiat?
2.      Bagaimana hukum wasiat?
3.      Apa saja ketentuan-ketentuan dalam wasiat?







BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Surat al-Baqarah ayat 180-181
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (١٨٠) فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (١٨١ (
Artinya:
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
181. Maka Barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, Maka Sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

A. Makna Mufradat
كُتِبَ                 : diwajibkan.
 حَضَرَ           : telah datang tanda-tanda maut (kematian).
خَيْرًا                : harta.
بِالْمَعْرُوفِ       : dengan adil, yaitu tidak boleh lebih dari sepertiga.
بَدَّلَهُ                  : mengubah wasiat itu.

B. Asbabun Nuzul
Adapun sebab turunnya ayat ini adalah sesungguhnya masyarakat jahiliyah mewasiatkan harta mereka kepada orang-orang yang jauh dengan tujuan pamer (riya’) dan agar terkenal (mencari kemasyhuran), serta mencari kebesaran dan kemuliaan. Dan meninggalkan kerabat dekatnya dalam keadaan fakir dan miskin. Kemudian Allah menurunkan ayat ini pada awal Islam, serta mengembalikan hak yang diberikan orang-orang yang jauh kepada sanak kerabat yang dekat, hal tersebut dilakukan untuk mencari kebaikan dan hikmah. Ada pendapat yang mengatakan ayat ini dinasakh oleh ayat waris pada surat an-nisa’, maka sekarang tidak diwajibkan seseorang berwasiat kepada orang yang dekat maupun orang yang jauh dan jika ada yang berwasiat pada orang yang dekat ataupun jauh maka mereka bukan termasuk dalam orang-orang yang menerima waris.[1]

C. Munasabah Ayat
Pada ayat sebelumnya telah dikemukakan masalah hukum qishas di dalam pembunuhan. Qishah ini merupakan salah satu jalan menuju kematian. Karenanya, tampak berurutan jika ayat-ayat sesudahnya membicarakan masalah wasiat bagi seorang yang sudah diambang kematian.[2]
Khitab ayat ini disampaikan secara umum, hendaknya seseorang mewasiatkan sebagian dari harta bendanya terutama jika tanda-tanda kematian itu sudah jelas. Dengan demikian akhir dari amal perbuatannya adalah kebaikan.

D. Tafsir Ayat
Surat al-Baqarah termasuk dalam kelompok Madaniyyah yang diturunkan di Madinah setelah hijrah, ini adalah surat terpanjang di antara seluruh surat al-Qur’an sebanyak 286 ayat.
 Penggalan ayat (Kutiba Alaikum) menunjukkan arti wajib atas apa yang diterangkannya, sedangkan (idza hadhara ahadukum al mauta) bukan diartikan dengan waktu kematian, karena pada waktu itu orang yang berwasiat dalam keadaan tidak mampu untuk berwasiat, adapun yang dimaksud dengan (idza hadhara ahadukum al mauta) itu terdapat dua pendapat, pertama yaitu yang banyak dipilih bahwa maksud dari ayat itu adalah datangnya tanda-tanda kematian  yaitu sakit yang menakutkan (berbahaya). Kedua yaitu pendapat Ashim bahwa maksud dari ayat tersebut adalah wasiat itu diwajibkan bagi kalian dalam keadan sehat, dalam keadaan sehat itu kalian berwasiat “jika kita meninggal, maka lakukanlah begini”, Al qodhi berkata bahwa pendapat yang pertama lebih utama.[3]
Adapun maksud dari (intaraka khairan) tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama, mereka sepakat bahwa yang dimaksud dengan khairan adalah harta seperti yang banyak disebutkan dalam al quran (wa ma tunfiqu min khairin) (al-baqoroh 272), (wa innahu lihubbi al khairi) (al-adiyat 8). Sedangkan harta yang diwasiatkan itu sendiri mempunyai dua pendapat, pendapat yang pertama mengatakan bahwa tidak membedakan antara harta baik sedikit atau banyak, dan ini adalah pendapat Az Zuhri, maka wasiat diwajibkan untuk semua harta.[4] Adapun yang dijadikan dalil adalah pertama bahwa sesungguhnya Allah mewajibkan wasiat dalam sesuatu jika yang ditinggalkan itu baik, sedangkan harta sedikit itu baik, adapun yang dijadikan dasar adalah Al-Qur’an dan sesuatu yang diterima akal. Adapun dalil al-Quran yaitu surat al zalzalah 7-8:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (٧) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (٨ (
7. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. 8. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.
Dan surat Al Qoshosh 24:
فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ )٢٤ (
24. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, ke- mudian Dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: "Ya Tuhanku Sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan[5] yang Engkau turunkan kepadaku".
Dalil yang kedua adalah bahwa Allah telah menetapkan beberapa hukum tentang kewarisan bagi harta baik sedikit maupun banyak, seperti firman Allah surat  An Nisa’ 7:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا )٧(
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Maka wasiat pun diwajibkan sebagaimana diwajibkannya warisan dalam ayat tersebut.[6]
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al khair dalam ayat ini adalah khusus untuk harta yang banyak, dengan dalil bahwa jika seseorang meninggalkan satu dirham, maka tidak dikatakan bahwa ia meninggalkan kebaikan.[7] Jadi kalau harta itu sedikit, wasiat tidak pantas dan tidak wajar dikeluarkan.[8]
Adapun batasan harta yang wajib untuk diwasiatkan adalah 800 dirham menurut pendapat Ibnu Abbas, 1000 dirham menurut pendapat Qotadah, 1500 dirham menurut pendapat An-Nakh’i.[9]
Sebelum diturunkannya ayat waris yang menjadi nasikh bagi ayat wasiat ini, Allah telah menjelaskan bahwa wasiat itu wajib, adapun wasiat itu wajib diberikan kepada orang yang disebut dalam ayat ini dengan (lil walidaini wal aqrobina), yaitu mewajibkan berwasiat untuk kedua orang tua dan kerabat dekat, akan tetapi setelah turunya ayat tentang waris, maka ayat ini termansukh.
Dengan ditetapkannya orang tua sebagai ahli waris yang dalam setiap keadaan dalam bab waris mendapatkan bagian warisan, maka mereka tidak boleh menerima wasiat. Sedangkan terhadap para kerabat, maka ditetapkan dengan jalan kias. Maksudnya adalah sisa atas nas ini tetap berlaku keumumannya bagi mereka yakni barang siapa yang tidak mewarisi (bukan temasuk ahli waris) maka berlakulah nas wasiat ini untuk dirinya. Dan inilah pendapat sebagian sahabat nabi Saw, dan tabi’in.[10]
Maksud dari (bil ma’ruf) adalah wasiat itu dilakukan dengan cara yang tidak menyusahkan ahli waris, yakni tidak berlebihan dan tidak pula terlalu pelit.[11] Pemberian wasiat itu harus adil dan tidak boleh melebihi sepertiga bagian dan juga tidak boleh berwasiat kepada orang kaya sedangkan meninggalkan orang yang faqir.[12]
 Saad bin Abi Waqos ra berkata, “ya Rasulullah, saya punya harta tetapi saya tidak punya ahli waris kecuali seorang putri, bolehkah aku berwasiat dua pertiga dari hartaku? jawab Nabi Saw, “tidak boleh” Saad berkata, “jika tidak boleh, maka bagaimana jika setengah dari hartaku? jawab Nabi, “tidak boleh”, Saad berkata; “jika tidak boleh, maka bagaimana jika sepertiga?” jawab Nabi Saw, “sepertiga itu sudah banyak, sesungguhnya jika anda meninggalkan ahli warismu kaya itu lebih baik dari pada anda meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, sehingga terpaksa minta kepada orang lain.”(HR. Bukhari-Muslim)
Sedangkan maksud dari (haqqon) adalah sebagai penekan atas diwajibkannya wasiat itu, sedangkan maksud lafadz (alal muttaqin) adalah dikatakan jika dilihat dari dzahirnya lafadz itu menandakan bahwa perintah ini dikhususkan bagi orang yang brtakwa dan tidak untuk yang lainnya.[13] Sebab jika engkau diberi Allah rezeki, janganlah sampai seketika engkau menutup mata meninggalkan kekacauan dalam kalangan keluarga, masih juga hendaknya engkau meninggalkan kenang-kenangan yang baik bagi mereka, yang akan mereka ingat-ingat setelah engkau tak ada lagi. Dan amat baik tatkala wasiat itu dituliskan, dan ada baiknya juga jika dibawa ke muka notaris.[14]

فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Maksud dari ayat diatas adalah barang siapa yang mengubah wasiat, menambah, mengurangi, atau menyembunyikannya, maka dosanya hanya ditanggung oleh orang yang merubahnya sedangkan pahalanya orang yang berwasiat tetap tidak akan berkurang. Sungguh Allah mendengar apa yang diwasiatkan oleh orang yang mati dan mengetahui perubahan atas yang diwasiatkan.[15]

E. Istinbat Hukum
Wasiat adalah pesan - baik yang disampaikan kepada orang lain untuk dikerjakan, baik saat hidup atau setelah kematian yang berpesan. Demikianlah pengertian kebahasaannya. Tetapi kata ini biasa digunakan untuk pesan-pesan yang disampaikan untuk dilaksanakan setelah kematian yang memberi wasiat.[16] Dan apabila seseorang itu telah didatangi tanda-tanda maut seperti sakit keras, sedangkan ia meninggalkan harta benda yang banyak untuk ahli waris, maka hendaklah untuk berwasiat kepada orang tua dan kerabat dekat, yang diambilkan dari sebagian hartanya dengan jumlah yang sekiranya baik, sedikit atau banyak sesuai dengan kemampuannya. Kaum muslimin sepakat bahwa wasiat ini disyaratkan tidak lebih dari sepertiga barang yang ditinggalkan mayit.[17]
 Wasiat dihukumi wajib dilakukan, sebelum turunnya ayat tentang pembagian waris. Tetapi sesudah turunnya ayat yang menjelaskan pembagian waris, maka kewajiban ini mansukh,[18] dan tetap sebagai perbuatan sunnah dan dilakukan hanya boleh dilakukan terhadap orang yang bukan ahli waris yang sudah ditetapkan bagiannya oleh Allah.
Ibnu Abbas berkata, “ayat wasiat ini telah di mansukh oleh ayat 7 surat an-nisa, dengan penjelasan Nabi Saw, bahwa orang yang menerima waris tidak dapat menerima bagian wasiat.”
Menurut Jumhur Ulama dan Ulama Salaf, serta diriwayatkan oleh sebagian sahabat Rasul Saw, bahwa wasiat ini sah jika yang diberi wasiat itu tidak termasuk ahli waris, hal ini sesuai dengan sabda Nabi:
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap hak-haknya masing-masing, ingatlah tidak ada wasiat bagi ahli waris.”[19]
  Akan tetapi, ada juga ulama yang berpendapat bahwa wasiat itu boleh juga diberikan kepada ahli waris, tetapi dengan syarat tertentu. Umpamanya ada bagian khusus yang ditentukan bagi ahli waris di antara mereka yang paling tidak mampu (miskin). Misalnya, di antara ahli waris itu terdapat seorang yang kaya dan ada sebagian yang miskin dan tidak mampu mencari kehidupan. Maka alangkah baiknya jika bagiannya tidak disamakan antara yang kaya dan yang miskin, atau orang yang mampu berusaha atau tidak.[20]
  Jika terdapat orang kafir yang masuk Islam kemudian ia meninggal dunia sedangkan orang tuanya masih dalam keadaan kafir, maka baginya diperbolehkan mengeluarkan wasiat kepada orang tuanya sebagai pemikat agar keduanya masuk Islam.[21] Dan dalam hal ini Allah telah memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik kepada orang tua, sekalipun mereka masih dalam keadaan kafir. Seperti dalam firmanNya (al-Ankabut 8):
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (٨(
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya. hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Dan tidak boleh merubah isi dari wasiat, baik itu dilakukan oleh saksi atau orang yang menerima wasiat dengan cara merubah, mengingkari, mengurangi setelah benar-benar mengetahui jumlahnya. Karena itu termasuk dosa besar.

2.2 al-Maidah 106-108
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَأَصَابَتْكُم مُّصِيبَةُ الْمَوْتِ تَحْبِسُونَهُمَا مِن بَعْدِ الصَّلاَةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللّهِ إِنِ ارْتَبْتُمْ لاَ نَشْتَرِي بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَلاَ نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللّهِ إِنَّا إِذًا لَّمِنَ الآثِمِينَ )١٠٦( فَإِنْ عُثِرَ عَلَى أَنَّهُمَا اسْتَحَقَّا إِثْمًا فَآخَرَانِ يِقُومَانُ مَقَامَهُمَا مِنَ الَّذِينَ اسْتَحَقَّ عَلَيْهِمُ الأَوْلَيَانِ فَيُقْسِمَانِ بِاللّهِ لَشَهَادَتُنَا أَحَقُّ مِن شَهَادَتِهِمَا وَمَا اعْتَدَيْنَا إِنَّا إِذًا لَّمِنَ الظَّالِمِينَ )١٠٧) ذَلِكَ أَدْنَى أَن يَأْتُواْ بِالشَّهَادَةِ عَلَى وَجْهِهَا أَوْ يَخَافُواْ أَن تُرَدَّ أَيْمَانٌ بَعْدَ أَيْمَانِهِمْ وَاتَّقُوا اللّهَ وَاسْمَعُواْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (١٠٨)
Artinya:
106. Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa".
107. Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) memperbuat dosa, maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah: "Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas, sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang menganiaya diri sendiri".
108. Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan persaksiannya menurut apa yang sebenarnya, dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah. Dan bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

A.    Makna Mufradat
شَهَادَةُ                 : perkataan yang lahir dari pengetahuan yang diperoleh melalui persaksian mata atau akal.
ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ           : bepergian, mengadakan perjalanan.
تَحْبِسُونَهُمَا                 : memegang keduanya dan mencegahnya agar tidak pergi dan lari.
اِرْتَبْتُمْ                          : kalian ragu-ragu terhadap kebenaran keduanya pada apa yang mereka tetapkan.
مِنَ الآثِمِينَ                       : orang-orang yang bermaksiat.[22]

B.     Asbabun Nuzul
Sejumlah riwayat dikemukakan para pakar tentang Sabab Nuzul ayat ini, walaupun rinciannya berbeda tetapi intinya sama. Salah satu riwayat tersebut adalah apa yang diriwayatkan melalui Ibn ‘Abbas yang menyebut bahwa ada dua orang, masing-masing Tamim ad-Dari dan ‘Adi Ibn Badda’. Suatu ketika mereka berdua ditemani oleh seorang pemuda dari Bani Sahm, bernama Budail Ibn Abi Maryam menuju ke Syam. Dalam perjalanan pemuda itu jatuh sakit dan meninggal dunia di suatu daerah yang tidak berpenduduk muslimebelum wafatnya ia berwasiat kepada Tamim dan ‘Adi agar menyerahkan harta peninggalannya kepada keluarganya, dengan menyertakan sepucuk surat yang menjelaskan barang-barang yang ditinggalkannya. Salah satu diantaranya adalah wadah yang terbuat dari ukiran perak berwarna-warni. Tamim dan ‘Adi yang tidak mengetahui tentang surat itu menjual wadah tersebut dan menyerahkan sisa harta wasiat kepada Budail kepada keluarganya. Ketika kelurga Budail menanyakan tentang wadah yang terbuat dari perak itu, Tamim dan ‘Adi mengingkarinya, maka Nabi Saw menyumpah keduanya. Tidak lama kemudian wadah itu ditemukan pada seseorang yang mengaku membelinya dari Tamim dan ‘Adi. Keluarga Budail datang kepada Nabi Saw dan bersumpah bahwa kesaksian mereka lebih wajar diterima dari sumpah Tamim dan ‘Adi. Maka Rasul Saw membenarkan dan memberi wadah tersebut kepada keluarga yang meninggal itu.[23]

C.    Munasabah Ayat
Dalam ayat terdahulu Allah Ta’ala mengingatkan, bahwa tempat kembali sesudah mati adalah Dia, dan pada hari kiamat kelak akan ada penghisaban dan pembalasan atas amal. Di dalam ayat ini Allah memberikan petunjuk supaya kita berwasiat sebelum meninggal, dan bahwa harus diadakan persaksian terhadap wasiat itu, sehingga tidak hilang dari orang yang berhak menerimanya.[24]

D.    Tafsir Ayat
Surat al-Maidah termasuk kelompok surat Madaniyyah. Surat ini berisikan 120 ayat, dan merupakan surat yang terakhir kali turun.
Ayat ini menyeru kaum beriman: Hai orang-orang yang mengaku beriman, persaksikan di antara kamu apabila tanda-tanda dekatnya kematian telah hadir kepada salah seorang kamu sedang dia akan berwasiat, adalah bahwa persaksian wasiat itu oleh dua orang beriman yang adil di antara kamu, wahai kaum beriman, atau dua orang selain kamu yakni yang berlainan agama dengan kamu jika kamu tidak menemukan yang wajar menjadi saksi dari umat yang seagama dengan kamu, misalnya, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa musibah dengan hadirnya tanda-tanda kematian. [25]
Kata kamu dalam firman-Nya: oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang selain kamu, dipahami dalam arti kamu hai kaum beriman. Namun ada juga yang memahaminya dalam arti: “Dua orang adil di antara suku atau kabilah kamu, dan bila tidak ditemukan maka dua orang selain dari suku atau  kabilah kamu. Mereka yang menganut pendapat kedua ini, agaknya enggan menerima kesaksian non-muslim terhadap orang-orang Islam.
Ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya non-muslim menjadi saksi atas muslim.yang menolak kesaksian non-muslim menilai bahwa penggalan ayat di atas – yang membolehkan kesaksian dimaksud – telah dibatalkan hukumnya oleh ayat lain yang memerintahkan untuk mempersaksikan saksi yang diridhai oleh kaum muslimin (al-Baqarah: 282). Ini adalah pendapat Malik, Abu Hanifah, dan Imam Syafi’i.
Pendapat ini tidak disetujui banyak ulama, apalagi surah al-Maidah termasuk surah terakhir yang diterima oleh Rasul Saw. Atas dasar itu banyak ulama yang berpendapat bahwa kesaksian non-muslim terhadap muslim dapat dibenarkan apalagi dalam keadaan darurat, atau dalam perjalanan seperti bunyi ayat di atas.[26]
Jika kamu para ahli waris ragu tentang kesaksian mereka, maka laporkanlah kepada penguasa (hakim). Selanjutnya ayat ini mengarahkan perintahnya kepada penguasa (hakim) dengan menyatakan: “Hendaklah, kamu tahan kedua saksi itu sesudah shalat agar mereka bersumpah.
Firman-Nya (takhbisuunahumaa/ kamu tahan kedua saksi itu), maksudnya bukan dalam arti dipenjarakan, tetapi diminta untuk tidak kemana-mana sebelum bersumpah.[27]
Yang dimaksud dengan shalat di sini adalah shalat Ashar, karena Nabi Saw menyumpah ‘Adi dan Tamim sesudah shalat itu, karena merupakan kebiasaan yang telah berlaku, dan karena waktu itulah yang biasa dipergunakan para hakim untuk memutuskan berbagai persengketaan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, jika kedua saksi itu bukan muslim, maka yang dimaksud dengan shalat ini adalah upacara peribadatan yang berlaku dalam agama mereka.[28] Selain itu waktu sesudah shalat Ashar adalah waktu beribadah bagi orang yang bukan Islam dan satu waktu yang lebih mengingatkan orang kepada Allah. Apalagi pada waktu itu disebutkan “shalat al-wustha”. Oleh karena dasar-dasar itulah pemeriksaan ditentukan sesudah shalat Ashar. Di dalam hadis sahih Allah sangat murka kepada orang yang berani berdusta dan memberikan keterangan palsu pada waktu itu.[29] 
Dari penjelasan ayat di atas terlihat bahwa firman-Nya Kamu tahan kedua saksi itu sesudah shalat, tidak berkaitan dengan sebelumnya, tetapi perintah kepada penguasa (hakim) untuk menahan kedua saksi – bila diragukan kesaksiannya – guna diminta untuk bersumpah. Jika demikian, maka tidak perlu adanya sumpah itu bila tidak ada keraguan terhadap mereka.
Jika diketahui bahwa keduanya melakukan dosa yang berupa kesaksian palsu dan sumpah palsu serta mengkhianati amanat, maka hendaklah ada dua orang yang paling dekat kepada ahli waris menyangkal kesaksian orang yang melakukan dosa saksi palsu ini. Caranya dengan bersumpah dengan nama Allah bahwa kesaksian mereka berdua lebih benar daripada kesaksian kedua orang terdahulu itu, dan bahwa mereka (kedua orang ahli waris) dengan pengakuannya itu tidak melanggar kebenaran dan keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, batallah kesaksian dua orang saksi yang pertama itu, dan berlakulah kesaksian yang kedua.[30]
Yang dimaksud (asy-syahadah) adalah sumpah, sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya:
فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللهِ
“Maka persaksikanlah orang itu empat kali bersumpah dengan nama Allah.” (an-Nur:6).

إِنَّا إِذَا لَمِنَ الظَّا لِمِيْنَ
Dan hendaknya di dalam sumpahnya itu dikatakan pula, “Sesungguhnya kami tidak melanggar yang hak, lalu kami bersumpah secra bathil dan dusta. Jika demikian, sesungguhnya kami termasuk orang-orang yang dzalim terhadap diri sendiri, dengan membiarkannya menerima kemurkaan dan balasan dari Allah.”[31]
Kemudian Allah menjelaskan hikmah dari disyariatkannya menegakkan kesaksian dan sumpah ini. Allah berfirman:
ذَلِكَ أَدْنَى أَن يَأْتُواْ بِالشَّهَادَةِ عَلَى وَجْهِهَا أَوْ يَخَافُواْ أَن تُرَدَّ أَيْمَانٌ بَعْدَ أَيْمَانِهِمْ
Syariat kami mengenai diwajibkannya orang yang dipercayai atas wasiat supaya diketahui umum oleh orang-orang banyak, mengambil kesaksian setelah shalat  dan bersumpah dengan sumpah-sumpah yang berat itu, adalah cara terbaik dan terdekat, agar para saksi menjalankan kesaksiannya secara sempurna, tanpa mengganti atau mengubahnya. Hal ini dilakukan demi mengagungkan Allah, takut kepada adzab-Nya dan senang akan pahala-Nya, atau takut bila aibnya terbuka. Sebab karena kelemahan jiwa keagamaannya, kadangkala tidak merasa terhalangi untuk berdusta oleh ketakutan kepada Allah. Tetapi, dia merasa terhalangi oleh ketakutan akan mendapat kehinaan dan terbuka aibnya di mata manusia.[32]
وَاتَّقُوا اللّهَ وَاسْمَعُواْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Akhirnya diserukanlah kepada semunya supaya bertakwa kepada Allah, supaya merasa selalu diawasi-Nya, supaya takut kepada-Nya. Karena Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang menyimpang dari jalan-Nya. Dia tidak akan membimbingnya kepada kebaikan dan petunjuk.[33]

E.     Istinbat Hukum
Para ulama telah menyimpulkan beberapa faedah dari kedua ayat ini, yang terpenting ialah:
a.       Menganjurkan agar manusia jangan lupa berwasiat, apalagi ketika dalam perjalanan.
b.      Wasiat semestinya disaksikan oleh dua orang mukmin yang keadilannya terpercaya.
c.       Kesaksian dua orang yang bukan muslim adalah boleh menurut syara’. Sebab maksud syar’i, jika pelaksanaan secara sempurna tidak mungkin, maka tidak boleh ditinggalkan sama sekali.[34] Wasiat itu adakalanya wajib seperti seseorang yang berhutang, atau menerima barang orang lain sebagai amanah. Wajiblah ia berwasiat, agar sesudah matinya kelak ahli warisnya dapat membayar hutangnya dan mengembalikan amanah yang diterimanya.[35]
d.      Disyariatkan menyumpah para saksi, jika para hakim dan lawan bersengketa meragukan kesaksian mereka.
e.       Sumpah berat, seperti apa yang diucapkan dalam sumpah li’an, yaitu: “Kutuk Allah atasku....Kemurkaan Allah atasku....” dan sebagainya.
f.       Pentingnya memilih waktu dan tempat untuk bersumpah, agar lebih menggetarkan hati orang yang bersumpah.
g.      Disyariatkan mengembalikan sumpah kepada orang terbukti kehilangan haknya.
h.      Jika diperlukan turut campurnya sebagian ahli waris dalam perkara yang berkenaan dengan harta pusaka, maka yang berhak atas hal itu adalah orang yang paling dekat hubungannya kepada orang yang meninggal.

2.3 Wasiat Dalam KHI
Wasiat diatur dalam KHI yaitu dalam Bab V Pasal 194-209. Ketentuan wasiat yang diatur di dalamnya, secara garis besar menyangkut mereka yang berhak untuk berwasiat, pembuatan wasiat, pembatalan wasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat, serta jumlah besaran wasiat.[36]
BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
1.      Wasiat adalah pesan - baik yang disampaikan kepada orang lain untuk dikerjakan, baik saat hidup atau setelah kematian yang berpesan. Tetapi kata ini biasa digunakan untuk pesan-pesan yang disampaikan untuk dilaksanakan setelah kematian yang memberi wasiat.
2.      Wasiat dihukumi wajib dilakukan, sebelum turunnya ayat tentang pembagian waris. Tetapi sesudah turunnya ayat yang menjelaskan pembagian waris, maka kewajiban ini mansukh, dan tetap sebagai perbuatan sunnah dan dilakukan hanya boleh dilakukan terhadap orang yang bukan ahli waris yang sudah ditetapkan bagiannya oleh Allah.
3.      Wasiat hendaknya dipersaksikan oleh dua orang mukmin yang adil.
Disyaratkan jumlah harta yang diwasiatkan tidak lebih dari 1/3 harta mayyit.
Penerima wasiat bukanlah seorang ahli waris. 
Dan tidak boleh merubah isi dari wasiat, baik itu dilakukan oleh saksi atau orang yang menerima wasiat.











DAFTAR PUSTAKA


Haqiy Al-Burusawa, Ismail. 2006. Tafsir Ruhul Bayan Juz 1. Lebanon: Dar al Fiqr.
Mushthafa Al-Maraghi, Ahmad. 1984. Tafsir Al Maraghi Juz 2. Semarang: Toha Putra.
Mushthafa Al-Maraghi, Ahmad. 1987. Tafsir Al Maraghi Juz 7. Semarang: Toha Putra.
Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar Bin Husain bin Hasan Ibnu Ali At Tamimi Al bakri Ar Rozi As Safi’I. TT. Tafsir Kabir Au Mafatih Al Ghoib Jilid 3. Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah.
Quthb, Sayyid. 2000. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 1. Jakarta: Gema Insani.
Quthb, Sayyid. 2002. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 3. Jakarta: Gema Insani.
Prof. Hamka. 2002. Tafsir Al-Azhar Juz 2. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas.
Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsir Al-Misbah Volume 1. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah Volume 3. Jakarta: Lentera Hati.
Halim Hasan, Abdul. 2006. Tafsir Al-Ahkam. Jakarta: Kencana.
Bahreisy, Salim dan H. Said Bahreisy. 2002. Terjemah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2009. Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan. Bandung: Nuansa Aulia.
Perpustakaan Nasional RI. 2011. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya.


[1] Ismail Haqiy Al-Burusawa, Tafsir Ruhul Bayan Juz 1, (Lebanon : Dar al Fiqr, 2006), hlm.329.
[2] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al Maraghi juz 2 (Semarang: Toha Putra,1984), hlm.118.
[3] Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar Bin Husain bin Hasan ibnu Ali At Tamimi Al bakri Ar Rozi As Safi’I, Tafsir Kabir Au Mafatih Al Ghoib jilid 3 (Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, tt), hlm.51.
[4] Ibid., hlm.51.
[5] Yang dimaksud dengan Khair (kebaikan) dalam ayat ini menurut sebagian besar ahli tafsir ialah barang sedikit makanan
[6] Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar Bin Husain bin Hasan ibnu Ali At Tamimi Al bakri Ar Rozi As Safi’I , Op.Cit., hlm.51.
[7] Ibid., hlm.51.
[8] Perpustakaan Nasional RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), hlm.267.
[9] Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar Bin Husain bin Hasan ibnu Ali At Tamimi Al bakri Ar Rozi As Safi’I , Op.Cit., hlm.51.
[10] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 1 (Jakarta: Gema Insani, 2000), hlm.179.
[11] H. Salim Bahreisy, H. Said Bahreisy, Terjemah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2002), hlm.337.
[12] Ismail Haqqi al-Burusawa, Op.Cit., hlm.329.
[13] Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar Bin Husain bin Hasan ibnu Ali At Tamimi Al bakri Ar Rozi As Safi’I, Op.Cit., hlm.53.
[14] Prof. Hamka, Tafsir Al Azhar Juz 2, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2002), hlm.113.
[15] H. Salim Bahreisy, H. Said Bahreisy, Op.Cit., hlm.338.
[16] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 1, (Jakarta: Lentera hati, 2007), hlm.398.
[17] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Op.Cit., hlm.119.
[18] H. Salim Bahreisy, H. Said Bahreisy, Op.Cit., hlm.336.
[19] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi,Op.Cit.., hlm.119.
[20] Ibid., hlm.111.
[21] Ibid., hlm.112.
[22] Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Juz 7 (Semarang: Toha Putra,1987), hlm.78.
[23] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Volume 3, (Jakarta: lentera Hati, 2002), hlm.229-230.
[24] Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Op.Cit., hlm.78.
[25] M. Quraish Shihab, Op.Cit., hlm.228-229.
[26] Ibid., hlm.230-231.
[27] Ibid.,hlm.231.
[28] Ahmad Mushtafa al-Maraghi, Op.Cit., hlm.80.
[29] Abdul Halim Hasan, Tafsir al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.407.
[30] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani, 2002), hlm.347.
[31] Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Op.Cit., hlm.83.
[32] Ibid., hlm.83.
[33] Sayyid Quthb, Op.Cit., hlm.347.
[34] Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Op.Cit., hlm.84.
[35] Abdul Halim Hasan, Op.Cit., hlm.408-409.
[36] Tim Redaksi Nuansa Aulia. Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan. (Bandung: Nuansa Aulia, 2009), hlm.60-65.