28 Apr 2013

Sistem Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Pemerintah Daerah & APBD


BAB II
PEMBAHASAN


A.  Sistem Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
1.    Konsep Pengawasan
Istilah pengawasan dalam bahasa Indonesia asal katanya adalah “awas”, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut controlling yang diterjemahkan dengan istilah pengawasan dan pengendalian, sehingga istilah controlling lebih luas artinya daripada pengawasan. Akan tetapi dikalangan ahli atau sarjana telah disamakan pengertian “controlling” ini dengan pengawasan. Jadi pengawasan adalah termasuk pengendalian. Pengendalian berasal dari kata “kendali”, sehingga pengendalian mengandung arti mengarahkan, memperbaiki, kegiatan, yang salah arah dan meluruskannya menuju arah yang benar. Akan tetapi ada juga yang tidak setuju akan disamakannya istilah controlling ini dengan pengawasan, karena controlling pengertiannya lebih luas daripada pengawasan dimana dikatakan bahwa pengawasan adalah hanya kegiatan mengawasi saja atau hanya melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan saja hasil kegiatan mengawasi tadi, sedangkan controlling adalah disamping melakukan pengawasan juga melakukan kegiatan pengendalian menggerakkan, memperbaiki dan meluruskan menuju arah yang benar. [1]

2.    Maksud dan Tujuan Pengawasan
Dalam rangka pelaksanaan pekarjaan dan untuk mencapai tujuan dari pemerintah yang telah direncanakan maka perlu ada pengawasan, karena dengan pengawasan tersebut, maka tujuan yang akan dicapai dapat dilihat dengan berpedoman rencana yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah.
Dengan demikian pengawasan itu sangat penting dalam melaksanakan pekerjaan dan tugas pemerintahan, sehingga pengawasan diadakan dengan maksud untuk:
-     Mengetahui jalannya pekerjaan, apakah lancar atau tidak
-     Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pegawai dan mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan yang sama atau timbulnya kesalahan yang baru
-     Mengetahui pelaksanaan kerja sesuai dengan program seperti yang telah ditentukan dalam planning atau tidak
Berkaitan dengan tujuan pengawasan, Situmorang dan Juhir mengemukakan agar terciptanya aparat yang bersih dan berwibawa yang didukung oleh suatu sistem manajemen pemerintah yang berdaya guna dan berhasil guna serta ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang konstruksi dan terkendali dalam wujud pengawasan masyarakat  (control social) yang obyektif, sehat dan bertanggung jawab.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat diketahui bahwa pada pokoknya tujuan pengawasan adalah membandingkan antara pelaksanaan dan rencana serta instruksi yang telah dibuat, untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan, kelemahan atau kegagalan serta efisiensi dan efektivitas kerja dan untuk mencari jalan keluar apabila ada kesulitan, kelemahan dan kegagalan atau dengan kata lain disebut tindakan korektif.[2]

3.    Macam-Macam Pengawasan
Dalam hal pengawasan dapat diklasifikasikan macam-macam pengawasan berdasarkan berbagai hal, yaitu:
a.    Pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung
Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri secara “on the spot” di tempat pekerjaan dan menerima laporan-laporan secara langsung pula dari pelaksana. Sedangkan pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari laporan-laporan yang diterima dari pelaksana, baik lisan maupun tertulis, mempelajari pendapat-pendapat masyarakat dan tanpa pengawasan.[3]
b.    Pengawasan Preventif dan Represif
Walaupun prinsip pengawasan adalah preventif, namun bila dihubungkan dengan waktu pelaksanaan pekerjaan, dapat dibedakan antara Pengawasan Preventif dan Pengawasan Represif. Pengawasan Preventif berkaitan dengan pengesahan Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah tertentu. Karena tidak semua Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah memerlukan pengesahan. Selama pengesahan belum diperoleh, Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah yang bersangkutan belum berlaku[4] dan pengawasan ini dilakukan melalui preaudit sebelum pekerjaan dimulai. Misal dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapan-persiapan, rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lain. Sedang Pengawasan Represif dapat berbentuk penangguhan berlaku atau pembatalan. Suatu Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah yang sudah berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat dapat ditangguhkan atau dibatalkan karena bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya dan pengawasan ini dilakukan melalui post audit dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan di tempat, meminta laporan pelaksanaan dan sebagainya.[5]
c.    Pengawasan Intern dan Pengawasan Ekstern
Pengawasan Intern, adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri. Pada dasarnya pengawasan harus dilakukan oleh pucuk pimpinan sendiri. Akan tetapi di dalam praktek hal ini tidak selalu mungkin. Oleh karena itu setiap pimpinan dalam organisasi pada dasarnya berkewajiban membantu pucuk pimpinan untuk mengadakan pengawasan secara fungsional sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Sedangkan Pengawasan Ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi sendiri. Seperti pengawasan dibidang keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sepanjang meliputi seluruh Aparatur Negara dan Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara terhadap Departemen dan Instansi pemarintah lain.
Macam-macam pengawasan ini didasarkan pada pengklasifikasian pengawasan. Disamping itu pula ada beberapa macam pengawasan dilihat dari bidang pengawasannya, yakni:
-     Pengawasan anggaran pendapatan (budgetary control)
-     Pengawasan biaya (cost control)
-     Pengawasan barang inventaris (inventory control)
-     Pengawasan produksi (production control)
-     Pengawasan jumlah hasil kerja ( quality control)

4.    Proses Pengawasan
Proses pengawasan merupakan hal penting dalam menjalankan kegiatan organisasi, oleh karena itu setiap pimpinan harus dapat menjalankan fungsi pengawasan sebagai salah satu fungsi manajemen. Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan organisasi terhadap  setiap pegawai yang berada dalam organisasi adalah wujud dari pelaksanaan fungsi administrasi dari pimpinan organisasi terhadap para bawahan, serta mewujudkan peningkatan efektifitas, efisiensi, rasionalitas, dan ketertiban dalam pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas organisasi. Pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan organisasi akan memberikan implikasi terhadap pelaksanaan rencana akan baik jika pengawasan dilakukan secara baik, dan tujuan baru dapat diketahui tercapai dengan baik atau tidak setelah proses pengawasan dilakukan. Dengan demikian peranan pengawasan sangat menentukan baik buruknya pelaksanaan suatu rencana.


5.    Bentuk Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Berdasarkan objek pengawasan, kita dapat membagi pengawasan terhadap  pemerintah daerah menjadi tiga jenis pengawasan, yaitu terhadap:
-     Produk hukum dan kebijakan daerah.
-     Pelaksanaan penyelenggaran pemerintahan daerah kabupaten serta produk hukum dan kebijakan.
-     Keuangan daerah.

a.    Pengawasan Produk Hukum dan Kebijakan Daerah
Pengawasan terhadap produk hukum dan kebijakan dilakukan secara represif. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001, Pengawasan Represif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan daerah baik berupa Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Produk hukum dan kebijakan yang menjadi objek pengawasan adalah:
-     Peraturan daerah (Perda) Kabupaten.
-     Keputusan Bupati.
-     Keputusan DPRD Kabupaten.
-     Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten.
Pihak yang dapat melakukan pengawasan terhadap produk hukum dan kebijakan kabupaten adalah:
-     DPRD Kabupaten.
-     Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (Mendagri & Otda).
-     Gubernur.
Pengawasan terhadap produk hukum diperlukan untuk memastikan bahwa produk hukum semisal Perda tidak bertentangan dengan prinsip negara kesatuan dan hukum nasional. Pengawasan juga berfungsi melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan penguasa.
1)   Pengawasan oleh DPRD
Kewenangan DPRD untuk mengawasi produk hukum hanya disebutkan di dalam pasal 18 UU. No. 22 tahun 1999 tanpa diperinci lebih lanjut tentang batas kewenangan serta cara kewenangan. Pengawasan DPRD terhadap produk hukum dan kebijakan tidak disertai dengan kekuasaan penegakan (enforcement), misalnya melakukan pembatalan. Satu-satunya kekuatan DPRD dalam hal ini hanyalah meminta pertanggungjawaban Bupati dan mengusulkan pemberhentian Bupati kepada Presiden. Hal ini mungkin akan membuat pengawasan produk hukum dan kebijakan oleh DPRD Kabupaten menjadi kurang efektif.
2)   Pengawasan oleh Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat dalam hal ini Mendagri & Otda dapat melaksanakan pengawasan terhadap produk hukum  dan kebijakan secara represif yang dibantu oleh tim yang anggotanya terdiri dari unsur departemen atau lembaga pemerintah Non-Departemen dan unsur lain yang sesuai dengan kebutuhan. Berbeda dengan pengawan oleh DPRD atau kabupaten, Mendagri & Otda berhak membuat keputusan atas Perda, SK, Bupati, Keputusan DPRD dan Keputusan Pimpinan DPRD setelah melewati pemberian saran, pertimbangan, koreksi dan penyempurnaan. Gubernur dapat melakukan pengawasan jika mendapatkan pelimpahan wewenang dari Mendagri & Otda.

b.   Pengawasan Pelaksanaan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
1)   Pengawasan oleh DPRD
Dalam hal pelaksanaan, DPRD memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan:
-     Peraturan Daerah (Perda).
-     SK Bupati.
-     Peraturan Perundangan lainnya.
-     Kerjasama Internasional.
Untuk menjalankan fungsi pengawasan tersebut, DPRD dalam melaksanakan tugasnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga negara masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan negara, bangsa, pemerintahan dan pembangunan.
2)   Pengawasan Internal Pemerintah Daerah
Pengawasan Internal Pemerintah daerah secara keseluruhan merupakan tanggung jawab Bupati. Pengawasan tersebut dilaksanakan oleh suatu Badan atau Lembaga Pengawas yang saat ini umumnya disebut Badan Pengawas Daerah (Bawasda).
Bawasda adalah lembaga teknis dan berfungsi sebagai unsur penunjang pemerintah daerah di bidang pengawasan.
Secara umum, pengawasan internal pemerintah kabupaten mencakup:
-     Penyelenggaraan pemerintah daerah.
-     Kinerja aparatur pemerintah daerah.
3)   Pengawasan oleh Pemerintah Pusat
Pengawasan pelaksanaan oleh pemerintah pusat dibagi menjadi dua bagian:
-     Pengawasan oleh Mendagri dan Otda.
-     Pengawasan oleh Menteri atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Pusat Non-Kementrian.
Pengawasan oleh Mendagri dan Otda mencakup pengawasan terhadap:
-     Penyelenggaraan pemerintahan daerah.
-     Kinerja otonomi daerah.
-     Pelaksanaan tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan di bidangnya.
-     Efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai bidang tugasnya.
Pengawasan oleh menteri atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Pusat Non-Kementrian dapat dilakukan di bawah koordinasi Mendagri dan Otda. Pengawasan tersebut mencakup pengawasan terhadap:
-     Pelaksanaan tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan di bidangnya.
-     Efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai bidang tugasnya.
Pengawasan oleh pemerintah pusat dapat dilaksanakan dengan cara:
-     Pemeriksaan berkala, pemeriksaan insidential maupun pemeriksaan terpadu.
-     Pengujian terhadap laporan berkala dan atau sewaktu-waktu dari unit atau satuan kerja.
-     Pengusutan atas kebenaran laporan mengenai adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme.
-     Penilaian atas manfaat dan keberhasilan kebijakan, pelaksanaan program, proyek serta kegiatan. 
Pemerintah pusat di bawah koordinasi Mendagri dan Otda dapat memberikan sanksi terhadap pemerintah kabupaten dan/atau aparatnya yang menolak pelaksanaan, serta tindaklanjut hasil pengawasan berdasarkan undang-undang.
4)   Pengawasan oleh Masyarakat
Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai perorangan, kelompok, maupun organisasi dengan cara:[6]
-     Pemberian informasi adanya indikasi adanya korupsi, kolusi, atau nepotisme di lingkungan pemerintah daerah atau DPRD.
-     Penyampaian pendapat dan saran mengenai perbaikan, penyempurnaan baik preventif maupun represif atas masalah.
Informasi dan pendapat tersebut disampaikan pada pihak/instansi yang terkait.

c.    Pengawasan Keuangan Daerah
1)   Pengawasan oleh DPRD
DPRD memiliki kewenangan terhadap pengawasan pelaksanaan APBD sebagai pengawasan keuangan eksternal tingkat kabupaten. Dalam pengawasan keuangan DPRD provinsi/kabupaten/kota dalam melakukannya lewat dengar pendapat, kunjungan kerja, panitia khusus dan pembentukan panitia kerja yang dibentuk dengan peraturan tata tertib DPRD.
2)    Pengawasan Internal Pemerintahan Daerah
Bawasda memiliki tugas pokok dan fungsi untuk melakukan pengawasan keuangan. Beberapa keuangan provinsi/kabupaten/kota bidang pengawasan terhadap keuangan dan aset daerah adalah:
-     Pelaksana APBD
-     Penerimaan pendapatan daerah dan Badan Usaha Daerah
-     Pengadaan barang/jasa serta pemeliharaan/penghapusan barang/jasa
-     Penyelesaian ganti rugi
-     Inventarisasi dan penelitian kekayaan pejabat di lingkungan Pemda
3)   Pengawasan oleh Pemerintah Pusat
-     Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
BPKP adalah lembaga pemerintahan pusat non departemen yang dibentuk lewat Keppres No.103 Tahun 2001.  BPKP bertugas untuk melakukan pengawasan  penyelenggaran APBN. Untuk menjalankan tugasnya BPKP dapat melakukan: (i) audit keuangan; (ii) investigasi; dan (iii) evaluasi kerja dan manajemen organisasi.
-     Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
BPK adalah salah satu lembaga tinggi negara yang kedudukannya sejajar dengan pemerintah, DPR, MA dan DPA. Dengan Demikian BPK tidak dapat dipengaruhi oleh pemerintah. BPK menjalankan fugsi pengawasan keuangan eksternal, berbeda dengan BPKP yang melakukan pengawasan keuangan internal.

d.   Pertanggungjawaban Kepala Daerah
PP No.108 Tahun 2000 mengatur tentang tata cara pertanggungjawaban kepala daerah. Bupati sebagai kepala daerah tingkat kabupaten bertanggungjawab kepada DPRD kabupaten.
Pertanggungjawaban kepala daerah terdiri dari:[7]
-     Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran
-     Pertanggungjawaban akhir masa jabatan
-     Pertanggungjawaban untuk hal tertentu
Pertanggungjawaban kepala daerah dinilai berdasarkan tolak ukur dokumen rencana strategis daerah (Renstra). Setiap daerah wajib menetapkan Renstra dalam waktu satu bulan setelah kepala daerah dilantik. Renstra ditetapkan dengan Perda.[8]
Pertanggungjawaban akhir tahun anggaran merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dalam bentuk perhitungan APBD berikut penilaian kinerja berdasarkan tolak ukur Renstra.
Pertanggungjawaban akhir masa jabatan merupakan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintah dan pembangunan yang merupakan kinerja setiap kepala daerah berdasarkan tolak ukur Renstra.
Pertanggungjawaban karena hal tertentu merupakan keterangan sebagai wujud pertanggungjawaban kepala daerah yang berkaitan dengan dugaan atas perbuatan pidana yang oleh DPRD dinilai dapat menimbulkan krisis kepercayaan publik yang luas.

B.  Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
1.    Tinjauan Umum APBD
APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan pemerintah tentang APBD.[9]
Anggaran daerah pada hakekatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Atas dasar acuan tersebut, penyusunan APBD hendaknya mengacu pada norma dan prinsip anggaran sebagai berikut:[10]
a.    Transparansi dan akuntabilitas
APBD harus dapat memberikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Selain itu penggunaannya juga harus dapat dipertanggungjawabkan.
b.    Disiplin anggaran
Anggaran yang disusun harus dilakukan berlandaskan asas efisiensi, tepat guna, tepat waktu, dan dapat dipertanggungjawabkan.
c.    Keadilan anggaran
Pemerintah wajib mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan.
d.   Efisiensi dan efektivitas anggaran
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat.
e.    Format anggaran
Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran deficit (deficit budget format). Apabila terjadi surplus, daerah dapat membentuk dana cadangan, sedang bila terjadi defisit, dapat ditutup melalui sumber pembiayaan pinjaman dan atau penerbitan obligasi daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2.    Mekanisme Penyusunan APBD
Mekanisme penyusunan APBD dilakukan melalui tiga tahap, yaitu penetapan, perubahan dan perhitungan APBD.[11]
a.    Penetapan APBD
Penetapan APBD adalah penetapan rencana APBD yang telah disusun oleh pemerintah daerah dan diajukan kepada DPRD untuk ditetapkan sebagai Perda. APBD ditetapkan paling lambat tiga bulan setelah ditetapkannya APBN. APBD tersebut perlu mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang yaitu dari Mendagri.
b.    Perubahan APBD
Berdasarkan PP No. 5 Tahun 1975 Pasal 14 jo. Pasal 183 UU No. 32 Tahun 2004, daerah dapat melakukan perubahan rencana APBD yang disebabkan antara lain: perbedaan antara perencanaan dan realisasi/pelaksanaan akibat perubahan harga, pengurangan dan penambahan volume pekerjaan, dan berbagai sebab lainnya yang menyebabkan pergeseran anggaran.
c.    Perhitungan APBD
Berdasarkan Permendagri No. 2 Tahun 1994, perhitungan APBD ditetapkan paling lambat enam bulan setelah ditetapkannya APBN untuk tahun anggaran berikutnya. Perhitungan ini merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD pada setiap tahun anggaran. Perhitungan APBD harus menghitung selisih antara realisasi penerimaan dan realisasi pengeluaran dengan anggaran pengeluaran dengan menjelaskan alasannya. Perhitungan APBD juga ditetapkan melalui Perda.

3.    Pendapatan Daerah
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 157, bahwa sumber pendapatan daerah terdiri atas:
a.    Hasil pajak daerah (PAD) yang meliputi:
-     Hasil pajak daerah
-     Hasil retribusi daerah
-     Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan
-     Lain-lain PAD yang sah.
b.    Dana perimbangan yang terdiri dari:[12]
-     Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHATB) dan Penerimaan dari sumber daya alam (SDA)
-     Dana Alokasi Umum (DAU)
-     Dana Alokasi Khusus (DAS)
c.    Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pendapatan secara terperinci berdasarkan pada jenis pendapatan, terdiri atas:[13]
a.    Sisa lebih perhitungan tahun lalu.
Berbagai hal penyebab terdapatnya sisa anggaran antara lain:
-     Adanya penerimaan yang tidak diperkirakan pada saat penyusunan APBD
-     Adanya sisa pada pagu anggaran yang disediakan dalam APBD dengan harga hasil tender oleh pihak ketiga.
-     Adanya sisa anggaran meski target pelaksanaan fisik suatu proyek telah mencapai 100%.
-     Adanya anggaran tahun lalu yang belum terserap karena pelaksanaan kegiatan fisiknya belum selesai.
b.    Pendapatan Asli Daerah (PAD)
PAD seringkali dianggap sebagai tumpuan utama sumber keuangan daerah. Jenis-jenis PAD antara lain:
1)   Pajak daerah, yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan yang seimbang, yang dapat dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
2)   Retribusi daerah, yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.
3)   Laba perusahaan.
4)   Penerimaan dinas dan penerimaan lain-lain.


c.    Bagi hasil pajak dan bukan pajak
Bagi hasil pajak dan bukan pajak adalah bagian pajak dan bukan pajak  pusat yang dibagihasilkan kepada daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
d.   Sumbangan dan bantuan
Sumbangan adalah dana yang diberikan pemerintah kepada pemerintah daerah yang digunakan untuk membiayai belanja pegawai daerah dan pegawai pusat yang diperbantukan di daerah, serta keperluan belanja nonpegawai.
Bantuan adalah dana yang diberikan pemerintah kepada daerah yang digunakan untuk pembangunan daerah yang bersangkutan.
e.    Pinjaman
Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang, sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.[14]
Pinjaman daerah dapat bersumber dari:
-     Dalam Negeri
-     Luar Negeri
Pinjaman Daerah terdiri dari dua jenis:
1)   Pinjaman Jangka Panjang
Pinjaman daerah dengan jangka waktu lebih dari satu tahun dengan persyaratan bahwa pembayaran kembali pinjaman berupa pokok pinjaman, bunga dan biaya lain sebagian atau seluruhnya harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
2)   Pinjaman Jangka Pendek
Pinjaman daerah dengan jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun dengan persyaratan bahwa pembayaran kembali pinjaman berupa pokok pinjaman, bunga dan biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran bersangkutan.


4.    Belanja Daerah
Belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.[15] Belanja daerah terdiri atas:
a.    Belanja rutin
Belanja rutin adalah pengeluaran untuk membiayai kegiatan pemerintah daerah yang bersifat administrasi dan pelayanan pemerintahan umum.
b.    Belanja pembangunan
Pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional, dan pelaksanannya mengacu pada pola dasar pembangunan daerah serta rencana pembangunan lima tahun masing-masing. Dapat dilihat arahan pembangunan suatu daerah seyogianya merupakan bagian integral dari rencana strategi pembangunan nasional.[16]


[1]  Victor M. Situmorang, Aspek Hukum Pengawasan Melekat, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994, hlm.18
[2]  Titik Triwulan T, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, ,2011, hlm 452- 454
[3] BN. Marbun, DPRD Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya, Jakarta: Erlangga, 1993, hlm.77
[4] Philipus, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1999, hlm 118-119.
[5] Ibid
[6] Tutik Triwulan Tutik dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011, hlm.475.
[7] Ibid., hlm.478.
[8] HAW. Widjaja, Op.Cit., hlm.190.
[9] Ibid., hlm.147.
[10] Ibid., hlm.67-69.
[11] Tutik Triwulan Tutik dan Ismu Gunadi Widodo, Op.Cit., hlm.540.
[12] HAW. Widjaja, Op. Cit., hlm.110.
[13] Tutik Triwulan Tutik dan Ismu Gunadi Widodo, Op. Cit., hlm.544.
[14] HAW. Widjaja, Op.Cit., hlm.174.
[15] Ibid., hlm.148.
[16] Tutik Triwulan Tutik dan Ismu Gunadi Widodo, Op. Cit., hlm.552-553.