A.
Matan dan
Sanad Hadis[1]
حَدَّثَنَا
أَبُو ذَرٍّ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
الْحُسَيْنِ بْنِ عَبَّادٍ النَّسَائِىُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ بْنِ
سِنَانٍ حَدَّثَنَا أَبِى عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ,,لَا نِكَاحَ
إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ،، (رواه ألدار قطنى وابن حبان)
B.
Terjemahan
Artinya:
“Abu Dhar Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bercerita kepadaku dari Ahmad bin
Husain bin ’Abbad al-Nasa-i dari Muhammad bin Yazid bin Sinan dari ayahnya dari
Hisyam bin ’Urwah dari ayahnya dari ’Aisyah: ’Aisyah berkata bahwa Rasulullah
SAW bersabda “Tidak ada nikah tanpa wali dan dua saksi yang adil.”(H.R.
Daruquthni dan Ibnu Hibban)
C.
Makna Mufradat
لَا نِكَاحَ: tidak ada
pernikahan.
Bentuk nafy pada kata
لَا نِكَاحَ mendapat
interpretasi beragam dari para ulama. Ada yang menyebut bahwa nafy tersebut
hanya menunjukkan arti ketidaksempurnaan. Dengan demikian, hadis di atas dapat
diartikan “Tidak sempurna pernikahan tanpa wali dan dua saksi yang adil”. Dalam
konteks hukum, tidak sempurna berarti wali dan atau saksi bukan merupakan
syarat sah, sehingga pernikahan yang tidak dihadiri wali dan atau saksi masih
tetap dihukumi sah. Dengan kata lain, wali dan atau saksi hanya sebatas
disunnahkan.[2]
Ada juga ulama yang
menginterpretasikan nafy pada sah dan tidaknya perbuatan. Dengan demikian, لَا
نِكَاحَ berarti tidak sah pernikahan. Dalam konteks hukum, bila nafy diinterpretasikan
sebagai hakikat syari’at, maka pernikahan yang dilaksanakan tanpa wali dan
ataupun saksi maka pernikahan tersebut menjadi tidak sah.
إِلَّا
بِوَلِيٍّ : tanpa wali.
وَشَاهِدَيْ
عَدْلٍ : dan dua saksi yang adil.
D.
Sababul Wurud
Penulis tidak
menemukan sebab Rasulullah bersabda terkait hadis saksi nikah ini.
E. Biografi Perowi
رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (w.11 H)
قال
عَائِشَةَ (w.57
H)
عَنْ
عُرْوَةَ (w.94 H)
عَنْ
هشام
بن عروة (w.145 H)
عَنْ
أبو
فروة يزيد بن سنان (w.155 H)
حَدَّثَنَا
محمد
بن يزيد بْنِ سِنَانٍ (w.220 H)
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ
بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ عَبَّادٍ النَّسَائِىُّ (w...)
حَدَّثَنَا
أَبُو
ذَرٍّ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ (w...)
حَدَّثَنَا
ألدار
قطنى (w.385 H)
1.
’Aisyah
Nama
lengkapnya ialah ’Aisyah binti Abu Bakar al-Shiddiq At-Taimiyyah dan
bergelar umm al-Mu’minin, Rabbaniyah. Dari segi thabaqatnya, ’Aisyah
merupakan golongan sahabat, bahkan ia adalah salah satu istri Rasulullah saw. ’Aisyah
yang berasal dari bani Taimiyah wafat pada tahun 57 H dan dikebumikan di Baqi.[3]
Diantara guru ’Aisyah adalah: Rasulullah saw, Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin
al-Khattab. Sedangkan muridnya antara lain: ’Urwah bin Zubair, Aminah binti
Abdullah dan Hasan Bashri. Aisyah termasuk wanita yang banyak menghafalkan
hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wassalam, sehingga para ahli hadits
menernpatkan dia pada urutan kelima dari para penghafal hadits setelah Abu
Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas. Sebagai golongan sahabat,
kredibiltas ’Aisyah sebagai rawi berdasarkan kesepakatan ulama adalah tsiqah
dan adil.[4]
2. ’Urwah
Rawi yang
memiliki nama lengkap Abu
Muhammad ‘Urwah bin Zubair bin al-’Awwam bin
Khawailid al-Quraisy ini merupakan generasi wustha min al-Tabi’in dan
bergelar Abu al-Madani. Ia lahir pada masa awal kekhalifahan Usman bin ‘Affan
dan wafat pada tahun 94 H. ‘Urwah yang selama hidupnya tingal di Madinah merupakan salah
satu keponakan dari ’Aisyah binti Abu Bakar al-Shiddiq. Di antara guru ’Urwah
ialah: ’Aisyah binti Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Tsabit. Muhammad
bin Sa’ad berkata,” Orang yang paling mengetahui tentang hadits hadits Aisyah
ada 3 orang yaitu : al-Qasim, ‘Urwah dan ‘Amrah”. Sedangkan murid-muridnya
antara lain: Hisyam bin ’Urwah, Abdullah bin Dinar dan Sulaiman bin Yassar. Ia
dikenal orang yang tsiqah dan kuat hapalannya, Ibnu Syihab az-Zuhry berkata, ”Demi
Allah, kami hanya mempelajari 1 suku hadits dari 2000 suku hadits”.[5]
3. Hisyam bin ’Urwah
Putera dari ’Urwah ini memiliki nama lengkap Hisyam bin ’Urwah bin Zubair
bin al-’Awam bin Khualid al-Asadi al-Quraisy dan bergelar Abu al-Mundhir. Ia merupakan golongan sughra min al-tabi’in dan wafat pada tahun
145 H. Semasa hidupnya, ia pernah tinggal di Madinah dan kemudian berpindah ke
Baghdad hingga wafatnya. Guru Hisham antara lain: ’Urwah bin Zubair, Abdullah bin
Zubair dan ’Auf bin al-Harits. Adapun murid-muridnya antara lain: Abdullah bin
Mu’awiyah, Khalid bin Harits dan Ubaidillah bin ’umar. Kredibilitasnya sebagai
rawi adalah tsiqah dan hujjah.[6]
4. Yazid bin Sinan
Nama
lengkapnya ialah Yazid bin Sinan bin Yazid al-Tamimiy al-Jazary dan bergelar
Abu Farwah. Ia termasuk kibar al-Atba’, lahir pada tahun 79 H dan wafat pada
tahun 155 H. Semasa hidupnya ia tinggal di Baghdad. Di antara guru Yazid ialah:
Abu al-Mubarak al-’Ato’ dan Mujahid bin Jabir. Sedangkan muridnya ialah Waki’
bin Jarah dan Muhammad bin Yazid bin Sinan. Sebagai rawi, ia merupakan perawi
yang dhaif.[7]
5. Muhammad bin Yazid
Rawi yang
tak lain putera dari Yazid ini memiliki nama lengkap Muhammad bin Yazid bin
Sinan bin Yazid al-Amawiy dan bergelar al-Rahawi/Abu ’Abdillah, al-Jazari,
al-Tamimi. Dari thabaqatnya ia termasuk sughra min al-Atba’, lahir pada tahun
132 H dan wafat pada tahun 220 H. Guru Muhammad antara lain yaitu: ayahnya (Yazid
bin Sinan), kakeknya (Sinan bin Yazid), al-Tsauri, Ibn Abi Dzi’b, Maqil bin
“Ubaidillah, al-Walid bin ‘Amr bin al-Saj, dan ‘Abdillah bin Hudair. Sedangkan muridnya
ialah anaknya (Abu Farwah Yazid bin Muhammad), Abu Hatim dan lain-lain. Diantara
penilaian terkait kredibilitasnya sebagai rawi hadis yakni Ad-Daruquthni: dha’if;
An-Nasa’i: bukan termasuk rawi yang kuat; Al-Nafi’i: meridhainya; Al-Bukhari:
beliau termasuk ahli hadis; Al-Tirmidzi: beliau dhaif; Al-Hakim dan
al-Musallamah: tsiqah. Sedangkan menurut Abu Hatim yang merupakan salah
satu muridnya mengatakan beliau adalah orang yang shaleh.[8]
6. Ahmad bin al-Husain’Abbad
Penulis
tidak dapat melacak informasi mengenai rawi Ahmad bin al-Husain’Abbad al-Nasa-i
ini. Ia
juga tidak tercatat sebagai murid dari Muhammad bin Yazid. Maka ia disebut
dengan majhul. Oleh karena itu, statusnya sebagai rawi dianggap dhaif.
7. Abu Dharr Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr
Penulis masih belum menemukan informasi mengenai rawi Abu Dharr Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr
ini.
Pada dasarnya para ulama
sepakat bahwa kualitas hadits saksi nikah ini dhaif, namun karena didukung
dengan hadits-hadits lain meskipun hadits yang dhaif serta tidak ada
pertentangan di antaranya, maka kualitas hadits ini dapat naik menjadi hasan
lighairi. Sehingga hadits ini dapat dijadikan hujjah.
F.
Syarah Hadis
Syarih
ramihamullah berkata: hadis-hadis dalam bab ini dijadikan dalil, bahwa adanya
kesaksian dalam nikah adalah sebagai syarat. Menurut Tirmidzi, pendapat ini
bersumber dari kalangan ulama dari sahabat-sahabat Nabi saw dan periode
berikutnya dari para tabi’in dan lain-lain. Mereka berkata: Tidak ada nikah
tanpa adanya saksi. Tidak ada yang berbeda pendapat dalam hal ini melainkan
dari sebagian ulama mutaa’khirin. Adapun perbedaan pandangan mereka dalam
masalah ini ialah apabila saksi itu terdiri dari seorang laki-laki kemudian
menyusul seorang laki-laki lagi sesudahnya. Dalam hal ini sebagian besar ulama
Kufah dan lain-lain berkata: “Tidak sah nikah sehingga disaksikan oleh dua
orang saksi secara bersama-sama pada waktu dilangsungkannya akad nikah;” dan
menurut sebagian ulama Madinah membolehkan saksi seorang kemudian sesudah itu
seorang lagi, apabila diumumkan sebelumnya. Begitu menurut pendapat Imam Malik
dan lain-lain.[9]
Shafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa dua orang yang
menjadi saksi harus laki-laki. Dengan demikian, persaksian seorang laki-laki
dan dua orang wanita tidak dapat diterima dalam pernikahan.[10]
Pendapat ini berdasarkan pada hadits Nabi:
أن لا يجوز شهادة النساء في الحدود, ولا في النكاح, ولا في الطلاق. (رواه أبو
عبيد).
Artinya: “Wanita tidak
boleh menjadi saksi dalam masalah hudud (had), nikah dan thalaq”. (H.R. Abu
Ubaid).
Namun bagi
ulama Hanafiyah saksi itu boleh terdiri dari satu orang laki-laki dan dua orang
perempuan. Pendapat ini berangkat dari persepsi bahwa saksi pernikahan sama
dengan saksi dalam jual beli (harta benda). Oleh karena perempuan dapat
dijadikan saksi dalam masalah harta benda, maka ia juga dapat menjadi saksi
pernikahan.[11] Sedangkan
bagi ulama Zhahiriyah boleh saksi itu terdiri dari empat orang perempuan.
Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua
orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya
sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari. Dalam menempatkan
kedudukan saksi dalam pernikahan jumhur ulama yang terdiri dari ulama
Syafi’iyah, Hanabilah menempatkannya sebagai rukun dalam pernikahan, sedang
ulama Hanafiyah dan Zhahiriyah menempatkannya sebagai syarat.[12]
Demikian pula keadaannya bagi ulama Malikiyah. dimana ulama ini tidak
mengharuskan adanya kehadiran saksi dalam waktu akad pernikahan, yang
diperlukan adalah pengumumannya, namun disyaratkan adanya kesaksian
pengumumannya itu sebelum bergaulnya. Maliki berpendapat bahwa dalil tentang
imperative adanya saksi dalam pernikahan bukan merupakan dalil qath’iy, tapi
hanya dimaksudkan sad al-dzari’ah. Maliki mengatakan: saksi hukumnya tidak wajib
dalam akad, tetapi wajib untuk pencampuran suami terhadap istrinya (dukhul).
Jika akad dilakukan tanpa seorang saksipun, akad itu dipandang sah, tetapi bila
suami bermaksud mencampuri istri, dia harus mendatangkan dua orang saksi.
Apabila dia mencampuri istrinya tanpa ada saksi, akadnya harus dibatalkan
secara paksa, dan pembatalan ini sama kedudukannya dengan talak ba’in.[13]
Selain Imam Malik, ada
juga ulama lain yang memandang sah nikah tanpa saksi. Di antara mereka ialah
Syiah Imamiyah, Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, Ibnu Mundzir, Daud,
Ibnu Umar dan Ibnu Zubair.[14]
Ibnu Taimiyyah berkata di
dalam al-Ikhtiyarat: Dan yang tidak diragukan lagi ialah, bahwasannya nikah
yang diumumkan (dihadiri orang banyak) adalah sah, meskipun secara formal tidak
ada dua orang saksi. Adapun nikah dengan secara sembunyi-sembunyi dengan
dihadiri dua orang saksi, masih dipersoalkan (kedudukan hukumnya), kemudian
apabila disamping diumumkan juga secara formal disaksikan oleh dua orang saksi,
maka tidak diperselisihkan lagi tentang kesahhannya, lalu apabila tanpa saksi dan
tanpa diumumkan, maka jelas pernikahan itu batal menurut sebagian besar ulama.[15]
Imam Abu Hanifah, Syafi’i dan Malik sependapat
bahwa nikah sirri (rahasia) tidak boleh. Kemudian mereka
berselisih pendapat apabila terdapat dua orang saksi yang keduanya diamanati
untuk merahasiakan perkawinan, apakah nikah ini dianggap nikah sirri atau
tidak?
Imam Malik berpendapat bahwa yang demikian itu
adalah nikah sirri dan dibatalkan. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan
Syafi’i berpendapat bahwa hal itu bukan nikah sirri.[16]
Silang pendapat ini disebabkan, apakah
kedudukan saksi merupakan hukum syara’, ataukah dengan saksi itu dimaksudkan
untuk menutup jalan perselisihan dan pengingkaran?
Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa saksi
merupakan hukum syara’, maka mereka mengatakan bahwa saksi merupakan syarat
sahnya pernikahan. Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kedudukan saksi
adalah untuk menguatkan perkawinan, maka mereka menganggap saksi sebagai syarat
kelengkapan.
Dasar persoalan ini adalah apa yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, yaitu:
لَا نِكَاحَ
اِلَّا بِشَاهِدَيْ عَدْلٍ وَوَلِيٍّ مُرْشِدٍ
Artinya: “Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya
dua orang saksi yang adil dan seorang wali yang cerdik.”
Tidak seorangpun di antara sahabat yang
menentang hadis ini. Dan oleh karenanya kebanyakan orang menganggap tiadanya
sikap menentang dari kalangan sahabat sebagai ijma’. Tetapi hadis ini
adalah lemah.
Ad-Daruquthni mengatakan bahwa hadis ini
diriwayatkan dengan marfu’, dan disebutkan pula bahwa dalam sanadnya
terdapat orang-orang yang tidak dikenal.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pernikahan
dapat terjadi (sah) dengan persaksian orang-orang fasik, karena baginya saksi
itu dimaksudkan sebagai pemberitahuan saja. Sedang Imam Syafi’i berpendapat bahwa
persaksian itu memuat dua maksud, yaitu pemberitahuan dan dapat diterimanya
pemberitahuan itu. Oleh karenanya ia mensyaratkan keadilan pada diri saksi.[17]
Imam
Malik berpendapat bahwa persaksian tidak memuat maksud berupa pemberitahuan,
apabila dua orang saksi diwasiati untuk merahasiakan.
Silang pendapat ini disebabkan, apakah perkara
yang menjadi obyek persaksian dapat dikatakan rahasia atau tidak.
Tentang pensyaratan pemberitahuan (i’lan),
maka dasarnya adalah sabda Nabi saw:
اَعْلِنُوْا هَاذَا
النِّكَاحَ وَضْرِبُوْا عَلَيْهِ بِدُّفُوْقِ
Artinya: “Umumkanlah pernikahan ini dan
pukullah rebana karenanya. (HR. Abu Daud)
Dalam kitab Al-Umm, Syafi’i
berpendapat apabila dua orang saksi itu tidak ditolak dari segi adilnya,
merdekanya, dewasanya dan suatu penyakit khusus pada diri kedua saksi tersebut.
Niscaya boleh pengawinannya.[18]
Disyaratkan bagi dua
orang saksi lelaki hendaknya keduanya memenuhi syarat-syarat untuk menjadi
saksi yang persyaratannya yaitu merdeka seutuhnya, laki-laki sejati (bukan
banci), dan adil. Kriteria predikat adil ialah harus Islam,
taklif, mendengar, dapat berbicara dan melihat.[19]
Sehubungan dengan saksi yang tuna netra, masih
ada alasan yang memperkuatnya, karena pada prinsipnya dia masih termasuk orang
yang berhak menjadi saksi. Akan tetapi, pendapat yang lebih shahih mengatakan
tidak sah sekalipun dia mengenal kedua mempelai yang bersangkutan. Disamakan
dengan masalah saksi yang tuna netra ialah saksi yang berada dalam suasana
gelap gulita, sedangkan dia mengenal logat dua orang yang menjalankan akad
nikah tersebut. Disyaratkan pula hendaknya kedua saksi laki-laki itu atau salah
seorangnya bukan termasuk orang yang ditentukan menjadi wali. [20]
Untuk itu tidak sah melakukan akad nikah dihadapan saksi dua orang budak
laki-laki, atau dua orang wanita, atau dua orang fasik, atau dua orang tuli,
atau dua orang bisu, atau dua orang tuna netra, atau di hadapan orang yang
tidak memahami bahasa dua orang yang sedang melakukan akad nikah, atau di
hadapan orang yang ditentukan menjadi wali nikah.
Andaikata seorang ayah atau saudara laki-laki
yang menjadi wali nikah tunggal mewakilkan kepada orang lain, kemudian dia
sendiri ikut hadir sebagai saksi bersama saksi lainnya, maka akad nikah itu
tidak sah, karena dia itu seorang wali akad, sedang wali tidak boleh menjadi
saksi. Karena itu, seandainya ada dua orang bersaudara menjadi saksi terhadap
saudara yang ketiga, lalu saudara yang ketiga melakukan akad nikah tanpa ada
perwakilan lagi terhadap salah seorang diantara keduanya, maka nikahnya sah.
Tetapi jika ada, maka nikah tidak sah. Tidak disyaratkan adanya persaksian
dalam masalah persetujuan dari wanita yang diperlukan persetujuannya, mengingat
persaksian untuk itu bukan merupakan rukun dalam akad, melainkan syarat dalam
akad. Karenanya tidak diwajibkan adanya persaksian dalam pemberian persetujuan,
jika memang yang menjadi wali bukan wali hakim. Tetapi menurut pendapat yang
beralasan kuat, tidak wajib pula sekalipun yang menjadi wali adalah hakim.
G.
Fiqhul Hadis
Dalam
peraturan perundangan yaitu pada KUHAP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang
pengertian saksi yaitu:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar
sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengertahuannya itu”.
Jumhur ulama sepakat
bahwasannya saksi sangat penting keberadaannya dalam pernikahan. Apabila tidak
dihadiri oleh para saksi maka hukum pernikahan menjadi tidak sah.[21]
Bahkan, Imam Syafi’i mengatakan bahwa saksi dalam akad nikah itu termasuk rukun
pernikahan.[22]
Saksi dalam
pernikahan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[23]
- Saksi itu
berjumlah paling kurang dua orang. Inilah pendapat yang dipegang oleh
jumhur ulama. Bagi ulama Hanafiyah saksi itu boleh terdiri dari satu orang
laki-laki dan dua orang perempuan,[24] sedangkan bagi ulama
Zhahiriyah boleh saksi itu terdiri dari empat orang perempuan.
- Kedua
saksi itu mukallaf, yaitu sudah baligh berakal.
- Kedua
saksi itu adalah beragama Islam.
- Kedua
saksi itu adalah orang yang merdeka.
- Kedua
saksi itu adalah laki-laki. Sebagaimana disebutkan dalam syarat ulama
Hanafiyah membolehkan saksi perempuan asalkan di antaranya ada saksi
laki-laki; sedangkan ulama Zhahiriyah membolehkan semuanya perempuan
dengan pertimbangan dua orang perempuan sama kedudukannya dengan seorang
laki-laki.[25]
6.
Kedua saksi itu bersifat adil. Imam
Syafi’i mendeskripsikan adil di sini ialah orang yang menjauhkan dirinya dari
berbuat dosa besar dan tidak terbiasa (berkenalan) berbuat dosa kecil.[26]
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan adil pada saksi pernikahan.[27]
- Kedua saksi itu dapat
mendengar dan melihat.
H.
Saksi Nikah
Menurut Perundang-undangan
Ada 2 (dua)
jenis saksi, yaitu saksi sebagai syarat formil dan sebagai syarat materiil.
Saksi sebagai syarat formil yaitu saksi sebagai pembuktian dalam hukum,
contohnya: buku nikah. Sedangkan saksi sebagai syarat materil yaitu saksi
sebagai penentu sah atau tidaknya pernikahan tersebut.
Aturan perundangan di Indonesia yang digunakan
sebagai pegangan bagi rakyat Indonesia dan Petugas Pencatat Nikah berkaitan
dengan saksi diantaranya dalam KMA No. 298 tahun 2003 tentang Pencatatan Nikah
pada Bab IX Pasal 20 ayat (1) dinyatakan bahwa:
Akad nikah
dilaksanakan di hadapan PPN atau P3N di luar Jawa yang mewilayahi tempat
tinggal calon istri dan dihadiri oleh dua orang saksi.
KMA No. 298 tahun 2003 Pasal 28 ayat (2) menyatakan:
Sesaat setelah
akad nikah dilaksanakan akta nikah ditandatangani oleh PPN, suami, istri, wali
nikah dan saksi-saksi dalan model N jika pelaksanaan akad nikah di balai nikah
dan dalam model NB jika pelaksanakaan akad nikah diluar balai nikah
Masih dalam KMA No. 298 tahun 2003 Pasal 35
juga menyatakan bahwa:
(1)
Saksi-saksi yang hadir pada waktu
pencatatan nikah dan rujuk dipilih oleh yang bersangkutan, beragama Islam,
sudah mencapai umur 19 th dan memenuhi syarat-syarat menurut hukum.
(2)
Keluarga dekat, pegawai KUA
Kecamatan atau P3N dapat diterima menjadi sebagai saksi.
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
disebutkan pula aturan mengenai saksi dalam pernikahan, sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Saksi
dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah
(2) Setiap
pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat
ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil,
akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus
hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta
Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
Dalam pasal 17 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
dinyatakan bahwa :
Sebelum
berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu
persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada pasal 11 ayat (2) telah menyatakan bahwa:
Akta
perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu selanjutnya
ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri
perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam
ditandatangi pula oleh wali Nikah atau yang mewakilinya.
[1]
Maktabah al-Shamilah, Sunan al-Daruquthni no. 3580
[2]
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VII, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1989) hlm.83-84
[3]
Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafi’i Juz 2, (Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2006), hlm.1446.
[4]
Program Biografi ‘Ulama Ahlus Sunnah
v1.00 (sumber: Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu,
Riyadh.)
[5]
Ibid., (sumber: Biografi ‘Urwah bin Zubair dalam dalam Tarikh
al-khulafa, Tahdzibul Asma An-Nawawi, Tahdzib at Tahdzib Ibn Hajar asqalani).
[8]
Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalul Hadis, (Yogyakarta: Madani Pustaka
Hikmah, 2003), hlm.131-137.
[9]
Moh.Zuhri dkk, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, (Semarang: CV. Asy Syifa’,
1992), hlm. 430-432.
[10]
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II (Kairo: Dar al-fatah, 1995), hlm.5.
[12]
Ibnu al-Hummam, Syarh Fath al-Qadir, (Cairo: Musthafa al-Babiy
al-Halaby, 1970), hlm.250.
[13]
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Basrie Press, 1994),
hlm. 19.
[15]
Syekh Faisal bin Abdul Aziz, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis
Hukum Jilid 5, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984), hlm. 2172-2173.
[16]
Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid Jilid II, (Semarang: Asy-Syifa’,
1990), hlm.383.
[17]
Ibid., hlm. 384.
[18]
Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Umm Kitab Induk, (Jakarta Selatan: C.V. Faizan,
1983), hlm.176-177.
[19]
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, Terjemah Fat-Hul Mu’in
Jilid 2, ( Bandung: Sinar baru Algesindo, 1994), hlm. 1209
[20]
Ibid., hlm. 1210
[23]
Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-undang Pernikahan, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.83
[24]
Ibnu al-Hummam, Op.cit., hlm.250.
[25]
Ibid., hlm.199.
[26]
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Edisi Lengkap Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2:
Muamalat, Munakahat, Jinayat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), hlm. 624.
[27]
Ibnu Rusyd, Op.cit., hlm. 384.