19 Mar 2014

Hadits Saksi Nikah


A.  Matan dan Sanad Hadis[1]
حَدَّثَنَا أَبُو ذَرٍّ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ عَبَّادٍ النَّسَائِىُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ بْنِ سِنَانٍ حَدَّثَنَا أَبِى عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ,,لَا نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ،، (رواه ألدار قطنى وابن حبان)

B.  Terjemahan
Artinya: “Abu Dhar Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bercerita kepadaku dari Ahmad bin Husain bin ’Abbad al-Nasa-i dari Muhammad bin Yazid bin Sinan dari ayahnya dari Hisyam bin ’Urwah dari ayahnya dari ’Aisyah: ’Aisyah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Tidak ada nikah tanpa wali dan dua saksi yang adil.”(H.R. Daruquthni dan Ibnu Hibban)

C.  Makna Mufradat
لَا نِكَاحَ: tidak ada pernikahan.
Bentuk nafy pada kata لَا نِكَاحَ  mendapat interpretasi beragam dari para ulama. Ada yang menyebut bahwa nafy tersebut hanya menunjukkan arti ketidaksempurnaan. Dengan demikian, hadis di atas dapat diartikan “Tidak sempurna pernikahan tanpa wali dan dua saksi yang adil”. Dalam konteks hukum, tidak sempurna berarti wali dan atau saksi bukan merupakan syarat sah, sehingga pernikahan yang tidak dihadiri wali dan atau saksi masih tetap dihukumi sah. Dengan kata lain, wali dan atau saksi hanya sebatas disunnahkan.[2]
Ada juga ulama yang menginterpretasikan nafy pada sah dan tidaknya perbuatan. Dengan demikian, لَا نِكَاحَ berarti tidak sah pernikahan. Dalam konteks hukum, bila nafy diinterpretasikan sebagai hakikat syari’at, maka pernikahan yang dilaksanakan tanpa wali dan ataupun saksi maka pernikahan tersebut menjadi tidak sah.
إِلَّا بِوَلِيٍّ : tanpa wali.
وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ : dan dua saksi yang adil.

D.  Sababul Wurud
Penulis tidak menemukan sebab Rasulullah bersabda terkait hadis saksi nikah ini.

E. Biografi Perowi

رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (w.11 H)
قال
عَائِشَةَ (w.57 H)
عَنْ
عُرْوَةَ (w.94 H)
عَنْ
هشام بن عروة (w.145 H)
عَنْ
أبو فروة يزيد بن سنان (w.155 H)
حَدَّثَنَا
محمد بن يزيد بْنِ سِنَانٍ (w.220 H)
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ عَبَّادٍ النَّسَائِىُّ (w...)
حَدَّثَنَا
أَبُو ذَرٍّ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ (w...)
حَدَّثَنَا
ألدار قطنى (w.385 H)


1. ’Aisyah
Nama lengkapnya ialah ’Aisyah binti Abu Bakar al-Shiddiq At-Taimiyyah dan bergelar umm al-Mu’minin, Rabbaniyah. Dari segi thabaqatnya, ’Aisyah merupakan golongan sahabat, bahkan ia adalah salah satu istri Rasulullah saw. ’Aisyah yang berasal dari bani Taimiyah wafat pada tahun 57 H dan dikebumikan di Baqi.[3] Diantara guru ’Aisyah adalah: Rasulullah saw, Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin al-Khattab. Sedangkan muridnya antara lain: ’Urwah bin Zubair, Aminah binti Abdullah dan Hasan Bashri. Aisyah termasuk wanita yang banyak menghafalkan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wassalam, sehingga para ahli hadits menernpatkan dia pada urutan kelima dari para penghafal hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas. Sebagai golongan sahabat, kredibiltas ’Aisyah sebagai rawi berdasarkan kesepakatan ulama adalah tsiqah dan adil.[4]
2. ’Urwah
Rawi yang memiliki nama lengkap Abu Muhammad ‘Urwah bin Zubair bin al-’Awwam bin Khawailid al-Quraisy ini merupakan generasi wustha min al-Tabi’in dan bergelar Abu al-Madani. Ia lahir pada masa awal kekhalifahan Usman bin ‘Affan dan wafat pada tahun 94 H. ‘Urwah yang selama hidupnya tingal di Madinah merupakan salah satu keponakan dari ’Aisyah binti Abu Bakar al-Shiddiq. Di antara guru ’Urwah ialah: ’Aisyah binti Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Tsabit. Muhammad bin Sa’ad berkata,” Orang yang paling mengetahui tentang hadits hadits Aisyah ada 3 orang yaitu : al-Qasim, ‘Urwah dan ‘Amrah”. Sedangkan murid-muridnya antara lain: Hisyam bin ’Urwah, Abdullah bin Dinar dan Sulaiman bin Yassar. Ia dikenal orang yang tsiqah dan kuat hapalannya, Ibnu Syihab az-Zuhry berkata, ”Demi Allah, kami hanya mempelajari 1 suku hadits dari 2000 suku hadits”.[5]
3. Hisyam bin ’Urwah
Putera dari ’Urwah ini memiliki nama lengkap Hisyam bin ’Urwah bin Zubair bin al-’Awam bin Khualid al-Asadi al-Quraisy dan bergelar Abu al-Mundhir. Ia merupakan golongan sughra min al-tabi’in dan wafat pada tahun 145 H. Semasa hidupnya, ia pernah tinggal di Madinah dan kemudian berpindah ke Baghdad hingga wafatnya. Guru Hisham antara lain: ’Urwah bin Zubair, Abdullah bin Zubair dan ’Auf bin al-Harits. Adapun murid-muridnya antara lain: Abdullah bin Mu’awiyah, Khalid bin Harits dan Ubaidillah bin ’umar. Kredibilitasnya sebagai rawi adalah tsiqah dan hujjah.[6]
4. Yazid bin Sinan
Nama lengkapnya ialah Yazid bin Sinan bin Yazid al-Tamimiy al-Jazary dan bergelar Abu Farwah. Ia termasuk kibar al-Atba’, lahir pada tahun 79 H dan wafat pada tahun 155 H. Semasa hidupnya ia tinggal di Baghdad. Di antara guru Yazid ialah: Abu al-Mubarak al-’Ato’ dan Mujahid bin Jabir. Sedangkan muridnya ialah Waki’ bin Jarah dan Muhammad bin Yazid bin Sinan. Sebagai rawi, ia merupakan perawi yang dhaif.[7]
5. Muhammad bin Yazid
Rawi yang tak lain putera dari Yazid ini memiliki nama lengkap Muhammad bin Yazid bin Sinan bin Yazid al-Amawiy dan bergelar al-Rahawi/Abu ’Abdillah, al-Jazari, al-Tamimi. Dari thabaqatnya ia termasuk sughra min al-Atba’, lahir pada tahun 132 H dan wafat pada tahun 220 H. Guru Muhammad antara lain yaitu: ayahnya (Yazid bin Sinan), kakeknya (Sinan bin Yazid), al-Tsauri, Ibn Abi Dzi’b, Maqil bin “Ubaidillah, al-Walid bin ‘Amr bin al-Saj, dan ‘Abdillah bin Hudair. Sedangkan muridnya ialah anaknya (Abu Farwah Yazid bin Muhammad), Abu Hatim dan lain-lain. Diantara penilaian terkait kredibilitasnya sebagai rawi hadis yakni Ad-Daruquthni: dha’if; An-Nasa’i: bukan termasuk rawi yang kuat; Al-Nafi’i: meridhainya; Al-Bukhari: beliau termasuk ahli hadis; Al-Tirmidzi: beliau dhaif; Al-Hakim dan al-Musallamah: tsiqah. Sedangkan menurut Abu Hatim yang merupakan salah satu muridnya mengatakan beliau adalah orang yang shaleh.[8]
6. Ahmad bin al-Husain’Abbad
Penulis tidak dapat melacak informasi mengenai rawi Ahmad bin al-Husain’Abbad al-Nasa-i ini. Ia juga tidak tercatat sebagai murid dari Muhammad bin Yazid. Maka ia disebut dengan majhul. Oleh karena itu, statusnya sebagai rawi dianggap dhaif.
7. Abu Dharr Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr
Penulis masih belum menemukan informasi mengenai rawi Abu Dharr Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr ini.
Pada dasarnya para ulama sepakat bahwa kualitas hadits saksi nikah ini dhaif, namun karena didukung dengan hadits-hadits lain meskipun hadits yang dhaif serta tidak ada pertentangan di antaranya, maka kualitas hadits ini dapat naik menjadi hasan lighairi. Sehingga hadits ini dapat dijadikan hujjah. 

F.   Syarah Hadis
Syarih ramihamullah berkata: hadis-hadis dalam bab ini dijadikan dalil, bahwa adanya kesaksian dalam nikah adalah sebagai syarat. Menurut Tirmidzi, pendapat ini bersumber dari kalangan ulama dari sahabat-sahabat Nabi saw dan periode berikutnya dari para tabi’in dan lain-lain. Mereka berkata: Tidak ada nikah tanpa adanya saksi. Tidak ada yang berbeda pendapat dalam hal ini melainkan dari sebagian ulama mutaa’khirin. Adapun perbedaan pandangan mereka dalam masalah ini ialah apabila saksi itu terdiri dari seorang laki-laki kemudian menyusul seorang laki-laki lagi sesudahnya. Dalam hal ini sebagian besar ulama Kufah dan lain-lain berkata: “Tidak sah nikah sehingga disaksikan oleh dua orang saksi secara bersama-sama pada waktu dilangsungkannya akad nikah;” dan menurut sebagian ulama Madinah membolehkan saksi seorang kemudian sesudah itu seorang lagi, apabila diumumkan sebelumnya. Begitu menurut pendapat Imam Malik dan lain-lain.[9]
Shafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa dua orang yang menjadi saksi harus laki-laki. Dengan demikian, persaksian seorang laki-laki dan dua orang wanita tidak dapat diterima dalam pernikahan.[10] Pendapat ini berdasarkan pada hadits Nabi:
أن لا يجوز شهادة النساء في الحدود, ولا في النكاح, ولا في الطلاق. (رواه أبو عبيد).
Artinya: “Wanita tidak boleh menjadi saksi dalam masalah hudud (had), nikah dan thalaq”. (H.R. Abu Ubaid).

Namun bagi ulama Hanafiyah saksi itu boleh terdiri dari satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Pendapat ini berangkat dari persepsi bahwa saksi pernikahan sama dengan saksi dalam jual beli (harta benda). Oleh karena perempuan dapat dijadikan saksi dalam masalah harta benda, maka ia juga dapat menjadi saksi pernikahan.[11] Sedangkan bagi ulama Zhahiriyah boleh saksi itu terdiri dari empat orang perempuan.
Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari. Dalam menempatkan kedudukan saksi dalam pernikahan jumhur ulama yang terdiri dari ulama Syafi’iyah, Hanabilah menempatkannya sebagai rukun dalam pernikahan, sedang ulama Hanafiyah dan Zhahiriyah menempatkannya sebagai syarat.[12] Demikian pula keadaannya bagi ulama Malikiyah. dimana ulama ini tidak mengharuskan adanya kehadiran saksi dalam waktu akad pernikahan, yang diperlukan adalah pengumumannya, namun disyaratkan adanya kesaksian pengumumannya itu sebelum bergaulnya. Maliki berpendapat bahwa dalil tentang imperative adanya saksi dalam pernikahan bukan merupakan dalil qath’iy, tapi hanya dimaksudkan sad al-dzari’ah. Maliki mengatakan: saksi hukumnya tidak wajib dalam akad, tetapi wajib untuk pencampuran suami terhadap istrinya (dukhul). Jika akad dilakukan tanpa seorang saksipun, akad itu dipandang sah, tetapi bila suami bermaksud mencampuri istri, dia harus mendatangkan dua orang saksi. Apabila dia mencampuri istrinya tanpa ada saksi, akadnya harus dibatalkan secara paksa, dan pembatalan ini sama kedudukannya dengan talak ba’in.[13]
Selain Imam Malik, ada juga ulama lain yang memandang sah nikah tanpa saksi. Di antara mereka ialah Syiah Imamiyah, Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, Ibnu Mundzir, Daud, Ibnu Umar dan Ibnu Zubair.[14] 
Ibnu Taimiyyah berkata di dalam al-Ikhtiyarat: Dan yang tidak diragukan lagi ialah, bahwasannya nikah yang diumumkan (dihadiri orang banyak) adalah sah, meskipun secara formal tidak ada dua orang saksi. Adapun nikah dengan secara sembunyi-sembunyi dengan dihadiri dua orang saksi, masih dipersoalkan (kedudukan hukumnya), kemudian apabila disamping diumumkan juga secara formal disaksikan oleh dua orang saksi, maka tidak diperselisihkan lagi tentang kesahhannya, lalu apabila tanpa saksi dan tanpa diumumkan, maka jelas pernikahan itu batal menurut sebagian besar ulama.[15]
Imam Abu Hanifah, Syafi’i dan Malik sependapat bahwa nikah sirri (rahasia) tidak boleh. Kemudian mereka berselisih pendapat apabila terdapat dua orang saksi yang keduanya diamanati untuk merahasiakan perkawinan, apakah nikah ini dianggap nikah sirri atau tidak?
Imam Malik berpendapat bahwa yang demikian itu adalah nikah sirri dan dibatalkan. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa hal itu bukan nikah sirri.[16]
Silang pendapat ini disebabkan, apakah kedudukan saksi merupakan hukum syara’, ataukah dengan saksi itu dimaksudkan untuk menutup jalan perselisihan dan pengingkaran?
Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa saksi merupakan hukum syara’, maka mereka mengatakan bahwa saksi merupakan syarat sahnya pernikahan. Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kedudukan saksi adalah untuk menguatkan perkawinan, maka mereka menganggap saksi sebagai syarat kelengkapan.
Dasar persoalan ini adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, yaitu:
لَا نِكَاحَ اِلَّا بِشَاهِدَيْ عَدْلٍ وَوَلِيٍّ مُرْشِدٍ
Artinya: “Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan seorang wali yang cerdik.”

Tidak seorangpun di antara sahabat yang menentang hadis ini. Dan oleh karenanya kebanyakan orang menganggap tiadanya sikap menentang dari kalangan sahabat sebagai ijma’. Tetapi hadis ini adalah lemah.
Ad-Daruquthni mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan dengan marfu’, dan disebutkan pula bahwa dalam sanadnya terdapat orang-orang yang tidak dikenal.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pernikahan dapat terjadi (sah) dengan persaksian orang-orang fasik, karena baginya saksi itu dimaksudkan sebagai pemberitahuan saja. Sedang Imam Syafi’i berpendapat bahwa persaksian itu memuat dua maksud, yaitu pemberitahuan dan dapat diterimanya pemberitahuan itu. Oleh karenanya ia mensyaratkan keadilan pada diri saksi.[17]
 Imam Malik berpendapat bahwa persaksian tidak memuat maksud berupa pemberitahuan, apabila dua orang saksi diwasiati untuk merahasiakan.
Silang pendapat ini disebabkan, apakah perkara yang menjadi obyek persaksian dapat dikatakan rahasia atau tidak.
Tentang pensyaratan pemberitahuan (i’lan), maka dasarnya adalah sabda Nabi saw:
اَعْلِنُوْا هَاذَا النِّكَاحَ وَضْرِبُوْا عَلَيْهِ بِدُّفُوْقِ
Artinya:Umumkanlah pernikahan ini dan pukullah rebana karenanya. (HR. Abu Daud)

Dalam kitab Al-Umm, Syafi’i berpendapat apabila dua orang saksi itu tidak ditolak dari segi adilnya, merdekanya, dewasanya dan suatu penyakit khusus pada diri kedua saksi tersebut. Niscaya boleh pengawinannya.[18]
Disyaratkan bagi dua orang saksi lelaki hendaknya keduanya memenuhi syarat-syarat untuk menjadi saksi yang persyaratannya yaitu merdeka seutuhnya, laki-laki sejati (bukan banci), dan adil. Kriteria predikat adil ialah harus Islam, taklif, mendengar, dapat berbicara dan melihat.[19]
Sehubungan dengan saksi yang tuna netra, masih ada alasan yang memperkuatnya, karena pada prinsipnya dia masih termasuk orang yang berhak menjadi saksi. Akan tetapi, pendapat yang lebih shahih mengatakan tidak sah sekalipun dia mengenal kedua mempelai yang bersangkutan. Disamakan dengan masalah saksi yang tuna netra ialah saksi yang berada dalam suasana gelap gulita, sedangkan dia mengenal logat dua orang yang menjalankan akad nikah tersebut. Disyaratkan pula hendaknya kedua saksi laki-laki itu atau salah seorangnya bukan termasuk orang yang ditentukan menjadi wali. [20] Untuk itu tidak sah melakukan akad nikah dihadapan saksi dua orang budak laki-laki, atau dua orang wanita, atau dua orang fasik, atau dua orang tuli, atau dua orang bisu, atau dua orang tuna netra, atau di hadapan orang yang tidak memahami bahasa dua orang yang sedang melakukan akad nikah, atau di hadapan orang yang ditentukan menjadi wali nikah.
Andaikata seorang ayah atau saudara laki-laki yang menjadi wali nikah tunggal mewakilkan kepada orang lain, kemudian dia sendiri ikut hadir sebagai saksi bersama saksi lainnya, maka akad nikah itu tidak sah, karena dia itu seorang wali akad, sedang wali tidak boleh menjadi saksi. Karena itu, seandainya ada dua orang bersaudara menjadi saksi terhadap saudara yang ketiga, lalu saudara yang ketiga melakukan akad nikah tanpa ada perwakilan lagi terhadap salah seorang diantara keduanya, maka nikahnya sah. Tetapi jika ada, maka nikah tidak sah. Tidak disyaratkan adanya persaksian dalam masalah persetujuan dari wanita yang diperlukan persetujuannya, mengingat persaksian untuk itu bukan merupakan rukun dalam akad, melainkan syarat dalam akad. Karenanya tidak diwajibkan adanya persaksian dalam pemberian persetujuan, jika memang yang menjadi wali bukan wali hakim. Tetapi menurut pendapat yang beralasan kuat, tidak wajib pula sekalipun yang menjadi wali adalah hakim.

G. Fiqhul Hadis
Dalam peraturan perundangan yaitu pada KUHAP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang pengertian saksi yaitu:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengertahuannya itu”.

Jumhur ulama sepakat bahwasannya saksi sangat penting keberadaannya dalam pernikahan. Apabila tidak dihadiri oleh para saksi maka hukum pernikahan menjadi tidak sah.[21] Bahkan, Imam Syafi’i mengatakan bahwa saksi dalam akad nikah itu termasuk rukun pernikahan.[22]
Saksi dalam pernikahan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[23]
  1. Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang. Inilah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama. Bagi ulama Hanafiyah saksi itu boleh terdiri dari satu orang laki-laki dan dua orang perempuan,[24] sedangkan bagi ulama Zhahiriyah boleh saksi itu terdiri dari empat orang perempuan.
  2. Kedua saksi itu mukallaf, yaitu sudah baligh berakal.
  3. Kedua saksi itu adalah beragama Islam.
  4. Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka.
  5. Kedua saksi itu adalah laki-laki. Sebagaimana disebutkan dalam syarat ulama Hanafiyah membolehkan saksi perempuan asalkan di antaranya ada saksi laki-laki; sedangkan ulama Zhahiriyah membolehkan semuanya perempuan dengan pertimbangan dua orang perempuan sama kedudukannya dengan seorang laki-laki.[25]
6.      Kedua saksi itu bersifat adil. Imam Syafi’i mendeskripsikan adil di sini ialah orang yang menjauhkan dirinya dari berbuat dosa besar dan tidak terbiasa (berkenalan) berbuat dosa kecil.[26] Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan adil pada saksi pernikahan.[27]
  1. Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.

H.  Saksi Nikah Menurut Perundang-undangan
Ada 2 (dua) jenis saksi, yaitu saksi sebagai syarat formil dan sebagai syarat materiil. Saksi sebagai syarat formil yaitu saksi sebagai pembuktian dalam hukum, contohnya: buku nikah. Sedangkan saksi sebagai syarat materil yaitu saksi sebagai penentu sah atau tidaknya pernikahan tersebut.
Aturan perundangan di Indonesia yang digunakan sebagai pegangan bagi rakyat Indonesia dan Petugas Pencatat Nikah berkaitan dengan saksi diantaranya dalam KMA No. 298 tahun 2003 tentang Pencatatan Nikah pada Bab IX Pasal 20 ayat (1) dinyatakan bahwa:
Akad nikah dilaksanakan di hadapan PPN atau P3N di luar Jawa yang mewilayahi tempat tinggal calon istri dan dihadiri oleh dua orang saksi.
KMA No. 298 tahun 2003 Pasal 28 ayat (2) menyatakan:
Sesaat setelah akad nikah dilaksanakan akta nikah ditandatangani oleh PPN, suami, istri, wali nikah dan saksi-saksi dalan model N jika pelaksanaan akad nikah di balai nikah dan dalam model NB jika pelaksanakaan akad nikah diluar balai nikah
Masih dalam KMA No. 298 tahun 2003 Pasal 35 juga menyatakan bahwa:
(1)   Saksi-saksi yang hadir pada waktu pencatatan nikah dan rujuk dipilih oleh yang bersangkutan, beragama Islam, sudah mencapai umur 19 th dan memenuhi syarat-syarat menurut hukum.
(2)   Keluarga dekat, pegawai KUA Kecamatan atau P3N dapat diterima menjadi sebagai saksi.
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan mengenai saksi dalam pernikahan, sebagai berikut:
Pasal 24
(1) Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah
(2) Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
Dalam pasal 17 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa :
Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada pasal 11 ayat (2)  telah menyatakan bahwa:
Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam ditandatangi pula oleh wali Nikah atau yang mewakilinya.


[1] Maktabah al-Shamilah, Sunan al-Daruquthni no. 3580
[2] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VII, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989) hlm.83-84
[3] Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafi’i Juz 2, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2006), hlm.1446.
[4] Program Biografi ‘Ulama Ahlus Sunnah v1.00 (sumber: Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.)
[5] Ibid., (sumber: Biografi ‘Urwah bin Zubair dalam dalam Tarikh al-khulafa, Tahdzibul Asma An-Nawawi, Tahdzib at Tahdzib Ibn Hajar asqalani).
[6] Program hadith Kutub al-Tis’ah, al-Maktabah al-Shamilah dan Mausu’ah Rowa al-Hadith
[7] Ibid.
[8] Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalul Hadis, (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003), hlm.131-137.
[9] Moh.Zuhri dkk, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1992), hlm. 430-432.
[10] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II (Kairo: Dar al-fatah, 1995), hlm.5.
[11] Wahbah al-Zuhaili, Op.Cit., hlm 75
[12] Ibnu al-Hummam, Syarh Fath al-Qadir, (Cairo: Musthafa al-Babiy al-Halaby, 1970), hlm.250.
[13] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Basrie Press, 1994), hlm. 19.
[14] Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fikih, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm.148.
[15] Syekh Faisal bin Abdul Aziz, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis Hukum Jilid 5, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984), hlm. 2172-2173.
[16] Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid Jilid II, (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), hlm.383.
[17] Ibid., hlm. 384.
[18] Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Umm Kitab Induk, (Jakarta Selatan: C.V. Faizan, 1983), hlm.176-177. 
[19] Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, Terjemah Fat-Hul Mu’in Jilid 2, ( Bandung: Sinar baru Algesindo, 1994), hlm. 1209
[20] Ibid., hlm. 1210
[21] Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al Fikr, 1989), hlm.25.
[22] Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Al-Umm, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hlm.18.
[23] Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Pernikahan, (Jakarta: Kencana, 2006),  hlm.83
[24] Ibnu al-Hummam, Op.cit., hlm.250.
[25] Ibid., hlm.199.
[26] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Edisi Lengkap Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), hlm. 624.
[27] Ibnu Rusyd, Op.cit., hlm. 384.