28 Apr 2013

Fiqh Siyasah: Hukum Mendirikan Negara



BAB II
PEMBAHASAN


A.           Pengertian Negara
Para ahli tata negara dan hukum internasional telah merumuskan definisi tentang negara, antara lain:[1]
1.    Menurut Dr. Bonar, negara adalah suatu kesatuan hukum yang bersifat langgeng yang di dalamnya mencakup hak institusi sosial yang melaksanakan kekuasaan hukum secara khusus dalam menangani masyarakat yang tinggal di wilayah tertentu, dan negara memiliki hak kedaulatan, baik dengan kehendaknya sendiri maupun dengan jalan penggunaan kekuatan fisik yang dimilikinya.
2.    Wahid Ra’fat, ahli hukum tata negara Mesir, menyebutkan bahwa negara adalah sekumpulan besar masyarakat yang tinggal pada suatu wilayah tertentu yang tunduk kepada suatu pemerintahan yang teratur yang bertanggungjawab memelihara eksistensi masyarakatnya, mengurus kepentingan dan kemaslahatan umum.
3.    Holanda, doktor berkebangsaan Inggris, merumuskan negara sebagai kumpulan dari para individu yang tinggal di suatu wilayah tertentu yang bersedia tunduk pada kekuasaan mayoritas atau kekuasaan golongan dalam masyarakat.
Secara lebih spesifik, Mac Iver merumuskan bahwa suatu negara harus memenuhi tiga unsur pokok, yaitu pemerintahan, komunitas atau rakyat dan wilayah tertentu.[2] Ketiga unsur itu perlu ditunjang dengan unsur-unsur lainnya seperti adanya konstitusi dan pengakuan dunia internasional.



B.            Hukum Mendirikan Negara
Penegakkan institusi imamah atau khilafah, menurut para fuqaha, mempunyai dua fungsi, yaitu menegakkan agama Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya, serta menjalankan politik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan Islam.[3] Agar kepemimpinan Islam (imamah atau khilafah) dapat berlaku secara efektif dalam dunia Islam, maka umat Islam membutuhkan pendirian negara untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam. Islam memandang bahwa negara hanyalah merupakan alat, bukan tujuan itu sendiri. Karena merupakan alat, para ulama berbeda pendapat tentang pendirian negara dalam Islam.
Menurut al-Mawardi, hukum mendirikan negara berdasarkan pada ijma’ ulama, adalah fardhu kifayah. Pandangannya didasarkan pada kenyataan sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun dan khalifah-khalifah setelah mereka. Pandangan ini sejalan dengan kaidah yang menyatakan ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib (suatu kewajiban tidak sempurna kecuali melalui alat atau sarana, maka alat atau sarana itu juga hukumnya wajib). Artinya menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah wajib, sedangkan alat untuk terciptanya kemaslahatan tersebut adalah negara. Maka hukum mendirikan negara juga wajib (fardhu kifayah).
Pada gilirannya Islam kemudian menjadi ideologi politik bagi masyarakat dalam kerangka yang lebih kongkret bahwa Islam memerintahkan kaum muslimin untuk menegakkan negara dan menerapkan aturan berdasarkan hukum-hukum Islam. Masalah politik, ekonomi, sipil-militer, pidana dan perdata diatur jelas oleh Islam. Seluruh aturan itu telah dipraktekkan pada masa Rasulullah, al-Khulafa al-Rasyidun, dan pemerintahan sesudahnya. Hal itu membuktikan bahwa Islam merupakan suatu sistem bagi negara dan pemerintahan serta untuk mengatur masyarakat, umat dan individu-individu.[4]
Keterangan di atas menunjukkan bahwa negara tidak memiliki wewenang untuk memerintah, kecuali sesuai dengan sistem Islam, Islam tidak akan terwujud dalam kehidupan sampai ia ditegakkan dalam suatu negara yang menerapkan hukum-hukumnya. Islam merupakan suatu agama, sedangkan ideologi dan sistem pemerintahan merupakan bagian dari Islam. Tegaknya negara adalah satu-satunya cara yang disyariatkan untuk menerapkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan manusia. Islam tidak dapat terwujud dalam kehidupan kecuali ia memiliki institusi negara yang menerapkan hukum-hukumnya di segala aspek. Negara Islam adalah suatu bentuk institusi politik yang manusiawi, bukan institusi ketuhanan (teokrasi).[5]
Pandangan senada juga diberikan oleh Al-Ghazali. Al-Ghazali melukiskan antara agama dan negara sebagai berikut,
“Sultan (kekuasaan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia, ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama, ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat. Inilah tujuan sebenarnya para rasul. Jadi wajib adanya imam merupakan kewajiban agama yang tidak ada jalan untuk meninggalkannya.”[6]
Berbeda dengan dua pemikir sunni di atas, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa mengatur kehidupan umat memang merupakan bagian kewajiban agama yang terpenting. Namun hal itu bukan berarti bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara.[7] Ibn Taimiyah menolak ijma’ sebagai landasan kewajiban mendirikan negara. Menurutnya, kesejahteraan dan kemaslahatan manusia tidak akan tercipta kecuali hanya dalam suatu tatanan sosial dimana setiap orang saling bergantung pada lainnya. Oleh sebab itu, dibutuhkan negara dan pemimpin yang akan mengatur kehidupan sosial tersebut.[8] Jadi, bagi Ibn Taimiyah, penegakan negara bukanlah salah satu asas atau dasar agama Islam, melainkan hanya kebutuhan praktis saja.

Kelompok Khawarij berpendapat hampir sama dengan Ibn Taimiyah. Pendirian negara menurut mereka, bukanlah didasarkan pada perintah syar’i. pertimbangan mendirikan negara adalah kemaslahatan. Jika menurut kemaslahatan dibutuhkan negara, maka hal tersebut boleh dilakukan. Tapi jika tanpa negara sudah tercipta kemaslahatan, maka negara tidak dibutuhkan. Pendapat ini juga dianut oleh Mu’tazilah. Hanya saja Mu’tazilah menambahkan bahwa akallah yang menetapkan perlu tidaknya negara. Konsekuensinya, jika akal menetapkan perlu membentuk negara, maka umat Islam wajib mematuhinya. Sebab kekuatan hukum akal sama dengan nash.[9] 
Pemikir modern aktivis al-Ikhwan al-Muslimun, ‘Abd al-Qadir ‘Audah, mengemukakan enam argumen tentang wajibnya mendirikan negara ini, yaitu: Pertama, khilafah atau imamah merupakan sunnah fi’liyah Rasulullah Saw. sebagaimana pendirian negara Madinah. Dalam negara ini, beliau menciptakan satu kesatuan politik dan menyatukan umat Islam di bawah kepemimpinannya. Kedua, umat Islam, khususnya para sahabat Nabi, sepakat (ijma’) untuk memilih pemimpin negara setelah wafatnya Rasulullah Saw. seandainya para sahabat ketika itu berbeda pendapat tentang penggantian Rasul, tentu saja pendirian negara juga tidak mereka sepakati. Ketiga, sebagian beasar kewajiban syar’i tergantung pada adanya negara. Kemaslahatan yang hendak diciptakan oleh umat Islam tidak akan terwujud tanpa sarananya. Jadi negara merupakan sarana untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudharatan dalam kehidupan manusia. Keempat, nash-nash Alquran dan hadits Nabi sendiri mengisyaratkan tentang wajibnya mendirikan negara, seperti dalam surat an-Nisa’, 4:59 yang menyatakan “Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, serta uli al-amr di antara kamu.” Juga hadis yang mengatakan bahwa orang muslim yang mati tidak membay’ah imam, maka matinya dalam keadaan jahiliyah. Kelima, sesungguhnya Allah menjadikan umat Islam sebagai satu kesatuan, meskipun berbeda bahasa, suku bangsa dan warna kulitnya. Perbedaan ini tidak boleh menjadikan mereka berpecah dan berselisih paham. Karena itu umat Islam juga merupakan satu kesatuan politik. Keenam, konsekuensi dari kesatuan politik ini adalah bahwa umat Islam harus memilih dan mematuhi satu pemimpin tertinggi.[10]
  Di samping itu, ‘Audah juga mengemukakan argumentasi kewajiban mendirikan negara secara akal. Menurutnya, mewujudkan pemerintahan dalam masyarakat Islam merupakan kebutuhan bagi masyarakat itu sendiri. Sebab manusia secara pribadi tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan hidupnya mencapai kemaslahatan. Mereka membutuhkan negara untuk menciptakan kemaslahatan di antara meraka dan menghilangkan persengketaan sesama mereka.[11]
Para Orientalis juga berpendapat, yang antara lain, C.A. Nolino mengatakan, “Muhammad telah meletakkan dasar agama dan agama pada waktu yang sama.” Mac Donald mengatakan, “Di sana di Madinah, telah terbentuk negara Islam yang pertama, diletakkan pula prinsip-prinsip asasi di dalam aturan-aturan Islam.” H.R. Gibb, menyatakan, “Pada waktu itu jelas bahwa Islam bukanlah semata akidah agama yang individual sifatnya, tetapi juga mewajibkan mendirikan masyarakat yang mempunyai uslub-uslub tertentu di dalam pemerintahan dan mempunyai undang-undang dan aturan-aturan yang khusus.[12]

C.           Tujuan Negara
Tujuan pendirian negara tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh umat Islam, yaitu memperoleh kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Karena tujuan itu tidak mungkin dicapai hanya secara pribadi-pribadi saja, maka Islam menekankan pentingnya pendirian negara sebagai saranan untuk memperoleh tujuan tersebut.
Ibn Abi Rabi’ menjelaskan tujuan negara dengan pandangan sosiologis historis. Menurutnya manusia diciptakan Allah dengan watak dan kecenderungan berkumpul dan bermasyarakat. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa manusia secara pribadi tidak mungkin mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bantuan orang lain. Namun dalam hubungan ini tidak tertutup kemungkinan mereka tergoda oleh pengaruh-pengaru jahat. Menurut Ibn Abi Rabi’, ada tiga kejahatan yang melingkupi manusia, yaitu kejahatan yang bersumber dari diri sendiri, kejahatan yang datang dari sesama mereka dan kejahatan yang datang dari masyarakat lain. Kejahatan yang pertama dapat dihilangkan dengan mengikuti kehidupan yang baik, mengendalikan diri dan menggunakan akal dalam menyelesaikan setiap persoalan. Kejahatan kedua dapat dicegah dengan menegakkan dan mematuhi hukum-hukum Allah. Artinya siapa yang bersalah harus dihukum sesuai ketentuan-Nya. Sedangkan kejahatan ketiga dapat dihindarkan dengan pembentukan negara.[13] Inilah tujuan negara menurut Ibn Abi Rabi’. Dengan pembentukan negara, maka manusia dapat menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh dari sengketa dan dapat mencegah dari intervensi pihak-pihak asing.
Secara umum, al-Mawardi menjelaskan bahwa tujuan pembentukan negara (imamah) adalah mengganti kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur dunia (al-Imamah maudhu’ah likhilafah al-nubuwwah fi hirasah al-din wa al-siyasah al-dunya).[14] Sementara Ibn Khaldun merumuskan tujuan negara adalah untuk mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan akhirat.[15]
Dari pendapat-pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan negara dalam Islam bukan hanya untuk kepentingan duniawi saja, melainkan juga untuk hal-hal yang bersifat ukhrawi.
Secara sederhana Fazlur Rahman merumuskan tujuan negara Islam adalah untuk mempertahankan keselamatan dan integritas negara, memelihara terlaksananya undang-undang dan ketertiban serta membangun negara itu sehingga setiap warga negara mengetahui kemampuan masing-masing dan mau menyumbangkan kemampuannya itu demi terwujudnya kesejahteraan seluruh warga negara.
Penjelasan ini mengisyaratkan bahwa negara merupakan alat untuk menerapkan dan mempertahankan nilai-nilai ajaran Islam agar lebih efektif dalam kehidupan manusia. Di samping itu negara juga didirikan untuk melindungi manusia dari kesewenang-wenangan satu orang atau golongan terhadap orang atau golongan lainnya. Negara mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk memaksa agar peraturan-peraturan yang dibuat dapat dipatuhi sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Namun demikian, negara Islam itu sendiri bukanlah tujuan dalam Islam, melainkan hanyalah merupakan alat atau sarana dalam mencapai tujuan kemaslahatan manusia.[16]



[1] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 131.
[2] Ibid.
[3] Ibid., 130.
[4] Abdul Qadim Zallum, Pemikiran Politik Islam, (Bangil: al-Izzah, 2001), 151-155.
[5] Ibid.,155-156.
[6] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), 88.
[7] Muhammad Iqbal, op.cit., 132.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid., 133.
[11] Ibid.
[12] A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah, (Jakarta: Kencana, 2003), 80.
[13] Muhammad Iqbal, op.cit., 134.
[14] Ibid., 135.
[15] Ibid.
[16] Ibid., 136.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar