9 Mar 2014

Dispensasi Kawin


2.1 Izin Perkawinan
Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, karena ia akan memasuki dunia baru, membentuk keluarga sebagai unit terkecil dari keluarga besar bangsa bangsa Indonesia yang religius dan kekeluargaan. Sehingga dalam implementasinya diperlukan partisipasi keluarga untuk merestui perkawinan itu.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 terkandung beberapa prinsip untuk menjamin cita-cita luhur perkawinan, yaitu: asas sukarela, partisipasi keluarga, poligami yang dibatasi secara ketat, dan kematangan fisik serta mental calon mempelai. Oleh sebab itu, sebagai realisasi dari asas sukarela di atas, maka perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Oleh karena itu, setiap perkawinan harus mendapatkan persetujuan kedua calon mempelai tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Dengan demikian dapat dihindari terjadinya kawin paksa. Untuk itu diisi Surat Persetujuan Mempelai (Model N3).
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, dalam hal calon mempelai belum berusia 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Untuk itu, perlu diisi Surat Izin orang tua dengan formulir N5. Bila salah seorang telah meninggal dunia atau cacat kehendak, maka izin cukup dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendak.[1]
Dari alinea di atas ada 2 (dua) asas hukum yang terkandung, yaitu:
1. Asas suka sama suka, dan
2. Asas partisipasi keluarga
Asas Suka sama Suka mengandung makna bahwa perkawinan hanya dapat dilangsungkan bila kedua calon benar-benar bercita-cita mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, tidak ada paksaan dari pihak manapun baik orang tua, tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat keamanan, dan lain lain.
Asas Partisipasi Keluarga mengandung makna bahwa perkawinan harus seizin orang tua sesuai blanko yang telah disediakan oleh aparat Desa/Kelurahan setempat, setelah blanko tersebut diisi oleh Kepala Desa/Lurah kemudian dibacakan isinya, bila orang tua tersebut setuju dengan isi Pernyataan Memberi Izin kepada anaknya untuk menikah, maka orang tua calon mempelai tersebut membubuhkan tanda tangan pada surat pernyataan tersebut, bukan nikah diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua yang telah mendidik dan membesarkannya. Bila orang tua sudah tidak ada lagi, maka izin dimaksud diperoleh dari wali.[2]
Kata “Wali” bukan yang dimaksud wali nikah tetapi wali pengampu; bila wali tidak ada maka izin dari orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas.
Perkara “Izin Kawin” tidak berkaitan dengan wali nikah, tetapi murni dalam hal penegakan asas partisipasi keluarga tersebut. Pasal 6 ayat (5) menyatakan: “Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut memberi izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.”
Pasal 6 ayat (6) berbunyi: “Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.”
Izin kawin seperti diatur dalam UU murni meniru BW. Contohnya asas suka sama suka adalah mengadopsi Ps 28 KUHPerdata, asas kematangan berumah tangga mengadopsi Ps. 29, asas partisipasi keluarga mengadopsi Ps. 35. Oleh karenanya hakim pada peradilan agama cukup mempedomani ketentuan Ps 6 ayat (6) tersebut di atas, karena pasal tersebut tidak diatur dalam Kitab Munakahat (Hukum Perkawinan Islam).[3]
Berdasarkan aturan perundang-undangan dalam UU No.1 Tahun 1974 dan KHI, maka ketentuan-ketentuan yang berlaku adalah sebagai berikut:[4]
1.      Permohonan izin melangsungkan perkawinan diajukan oleh calon mempelai yang belum berusia 21 tahun dan tidak mendapat izin dari orang tuanya kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum dimana calon mempelai tersebut bertempat tinggal.
2.      Permohonan izin melangsugkan perkawinan yang diajukan oleh calon mempelai pria atau calon mempelai wanita dapat dilakukan secara kumulatif kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum dimana calon mempelai pria dan wanita tersebut bertempat tinggal.
3.      Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah dapat memberikan izin melangsungkan perkawinan setelah mendengar keterangan dari orang tua, keluarga dekat, ataupun walinya.
4.      Permohonan izin melangsungkan perkawinan bersifat voluntair (produknya berbentuk penetapan). Jika pemohon tidak puas dengan penetapan tersebut, maka pemohon dapat mengajukan kasasi.
5.      Terhadap penetapan izin melangsungkan perkawinan yang diajukan oleh calon mempelai pria dan/atau wanita, dapat dilakukan perlawanan oleh orang tua calon mempelai, keluarga dekat, dan/atau orang yang berkepentingan lainnya kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iah mengeluarkan penetapan tersebut.



2.2 Dispensasi Perkawinan
Salah satu asas yang terkandung dalam Undang-undang nomor l tahun 1974 adalah kematangan fisik dan mental calon mempelai. Prinsip kematangan calon mempelai dimaksudkan bahwa calon suami istri harus telah matang jasmani dan rohani untuk melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu harus dicegah adanya perkawinan di bawah umur. Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi.[5] Maka dari itu dalam Pasal 15 KHI serta Pasal 7 ayat (1) UU No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.” Dalam KUHPerdata juga disyaratkan hal yang serupa namun berbeda dengan KHI serta UU No.1 tahun 1974, batas usia minimal seorang lelaki harus genap delapan belas tahun dan bagi perempuan harus genap lima belas tahun.[6] Pembatasan minimum usia perkawinan oleh pembentuk undang-undang dimaksudkan untuk menciptakan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Bahkan perkawinan itu dianjurkan dilakukan pada usia sekitar 25 tahun bagi pria dan 20 tahun wanita.
Namun dalam ketentuan ayat (2) undang-undang No.1 tahun 1974 menyatakan dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
Calon suami isteri yang belum mencapai usia 19 dan 16 tahun yang ingin melangsungkan perkawinan, orang tua yang bersangkutan harus mengajukan permohonan dispensasi kawin kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.[7]
1.    Permohonan dispensasi kawin diajukan oleh calon mempelai pria yang belum berusia 19 tahun, dan calon mempelai wanita yang belum berusia 16 tahun dan/atau orang tua calon mempelai tersebut kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum dimana calon mempelai dan/atau orang tua calon mempelai tersebut bertempat tinggal.
2.    Pertmohonan Dispensasi kawin yang diajukan oleh calon mempelai pria dan/atau calon mempelai wanita dapat dilakukan secara bersama-sama kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum dimana calon mempelai pria dan wanita tersebut bertempat tinggal.
3.    Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah dapat memberikan Dispensasi kawin setelah mendengar keterangan dari orang tua, keluarga dekat atau walinya.
4.    Permohonan Dispensasi kawin bersifat voluntair produknya berbentuk penetapan, Jika pemohon tidak puas dengan penetapan tersebut, maka Pemohon dapat mengajukan upaya kasasi.
Permohonan dispensasi nikah yang telah didaftar sebagai perkara, oleh hakim akan diterima dan diputus dengan membuat penetapan yang mengabulkan atau menolak permohonan tersebut. Hakim dalam hal memberikan izin dispensasi nikah di bawah umur, harus berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum, diantara pertimbangan tersebut adalah, telah memenuhi persyaratan administratif yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama antara lain: tidak ada halangan untuk menikah, dewasa secara fisik, saling mencintai dan tidak ada unsur paksaan, sudah memiliki pekerjaan, dan hamil di luar nikah.[8]
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadinya pernikahan di bawah umur karena beberapa alasan, yaitu sudah tidak sekolah dan telah mendapatkan pekerjaan, dijodohkan, kekhawatiran akan terjadi perzinaan, dan hamil di luar nikah.[9] Namun kebanyakan permohonan dispensasi nikah dikarenakan si anak telah hamil terlebih dahulu, sehingga hakim merasa terpaksa harus memberikan dispensasi menikah.
Namun meski legal, dispensasi usia nikah ini dianggap sebagai kemunduran. Karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Committee on the Elimination of Discrimination against Women/CEDAW) tahun 1084.[10] Ratifikasi itu disahkan dalam UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang pengesahan ratifikasi konvensi tersebut.
"Pasal 2 UU No 7 tahun 1984 menyebutkan negara harus turut menghapus segala kebijakan yang tidak sesuai dengan konvensi CEDAW, pasal dispensasi itu seharusnya sudah dihapus," kata Direktur Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJHAM), Evarisan.
Di sisi lain, pernikahan usia dini rentan terhadap berbagai masalah. Diantaranya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kerawanan penyakit reproduksi terhadap perempuan. Jika itu terjadi, menurut Eva, berarti negara telah ikut andil dalam membiarkan pelanggaran terhadap hak anak dan hak perempuan. "Dispensasi usia nikah ini juga sering dimanfaatkan pihak tertentu. Tak jarang kejahatan trafficking atau perdagangan anak-anak dan anak perempuan terjadi lantaran mudahnya dispensasi dikabulkan," tandasnya.[11]
Dampak menikah usia muda antara lain:[12]
1.    Kehilangan kesempatan pendidikan. Menikahkan usia muda dapat menyebabkan anak kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan, karena anak akan terhambat untuk memperoleh pendidikan.
2.    Kehilangan kesempatan untuk berkembang dan berekspresi. Pernikahan usia muda akan menghalangi anak mengekspresikan dan berpikir sesuai usianya, karena ia akan dituntut dengan tanggungjawab dalam keluarga sebagai suami/istri dan sebagai ayah/ibu.
3.    Kehilangan kesempatan untuk berkreasi, bermain, bergaul dengan teman sebaya, beristirahat dan memanfaatkan waktu luang. Menikah usia muda akan menghalangi anak untuk berkreasi, dia akan kehilangan waktu remajanya, bergaul dengan teman-teman sebayanya, karena dia telah dituntut untuk bertanggungjawab terhadap keluarga. Pada kenyataanya anak yang menikah pada usia muda, belum bisa mengurus keluarga maupun anak-anaknya, bahkan mengurus dirinya sendiri saja kadang belum bisa.
4.    Rentan terhadap gangguan kesehatan reproduksi, seperti kanker serviks dan penyakit seksual menular lainnya. Perempuan yang menikah di bawah usia 20 tahun, 58,5 persen lebih rentan terkena kanker serviks. Organ reproduksi yang belum siap atau matang untuk melakukan fungsi reproduksi, beresiko terhadap bahaya pendarahan dan kerusakan organ yang dapat menyebabkan kematian, cenderung melakukan aborsi yang sering disertai komplikasi dan kematian.
5.    Rentan terhadap masalah kehamilan dan janin. Kurangnya pengetahuan ibu yang menikah di usia muda, tentang gizi bagi ibu hamil sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin. Perempuan yang mengandung, melahirkan dan mengurus anak karena usia mereka yang masih muda, atau belum dewasa ada beban psikologis sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak yang dikandungnya.
6.    Rentan terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Karena keterbatasan dan ketidakmatangan untuk berumah tangga, anak perempuan yang terpaksa menjadi seorang istri di usia yang masih sangat belia itu tidak mempunyai posisi tawar-menawar yang kuat dengan suaminya, sehingga sangat rawan menjadi korban dan sasaran kekerasan dalam rumah tangga. Begitupun anak laki-laki yang menikah di usia muda, karena keterbatasan dan ketidakmatangan emosi untuk berumah tangga akan cenderung menjadi pelaku kekerasan.
7.    Pernikahan usia anak, berinfestasi pada masalah sosial yang lebih kompleks di masa mendatang. Ketidaksiapan mental, sosial dan ekonomi anak untuk berumah tangga dapat mengakibatkan terjadinya masalah kekerasan dalam rumah tangga, banyaknya anak yang terlantar dan terabaikan pengasuhannya, masalah status dan kesehatan ibu dan anak, banyaknya anak lahir menyandang masalah kesehatan, pengangguran, dan lain-lain.



[1] Lihat Pasal 6 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974
[2] Lihat Pasal 6 ayat (4) UU No.1 Tahun 1974.
[3] Habiburrahman, Permasalahan Hukum Perkawinan Dalam Praktek Pengadilan Agama, Rakernas 2011 Mahkamah Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia Jakarta Makalah Peradilan Agama, 18-22 September 2011.
[6] Lihat Pasal 29 KUHPerdata.
[8] Shofiyah Faridatus. 06210074. Fenomena Dispensasi Perkawinan di bawah umur di Pengadilan Agama Blitar (Studi Kasus Tahun 2008-2010). Skripsi. Jurusan: Al-Ahwal al-Syakhshiyah. Fakultas: Syari’ah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang.
[9] Ni’ami, Uswatun. 2011. Dispensasi Nikah di Bawah Umur (Studi Pandangan Masyarakat Kelurahan Buring Kecamatan Kedungkandang Kota Malang). Tesis, Program Studi Al Ahwal Al Syahkhshiyyah, Program Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
[11] Ibid.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar