2.1 Izin Perkawinan
Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, karena ia akan memasuki dunia baru, membentuk keluarga
sebagai unit terkecil dari keluarga besar bangsa bangsa Indonesia yang religius
dan kekeluargaan. Sehingga dalam implementasinya diperlukan partisipasi
keluarga untuk merestui perkawinan itu.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
terkandung beberapa prinsip untuk menjamin cita-cita luhur perkawinan, yaitu:
asas sukarela, partisipasi keluarga, poligami yang dibatasi secara ketat, dan
kematangan fisik serta mental calon mempelai. Oleh sebab itu, sebagai realisasi
dari asas sukarela di atas, maka perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan
kedua calon mempelai. Oleh karena itu, setiap perkawinan harus mendapatkan
persetujuan kedua calon mempelai tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
Dengan demikian dapat dihindari terjadinya kawin paksa. Untuk itu diisi Surat
Persetujuan Mempelai (Model N3).
Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai, dalam hal calon mempelai belum berusia 21
tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Untuk itu,
perlu diisi Surat Izin orang tua dengan formulir N5. Bila salah seorang telah meninggal dunia atau cacat kehendak, maka izin
cukup dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan
kehendak.[1]
Dari alinea di atas ada 2 (dua) asas hukum
yang terkandung, yaitu:
1. Asas suka sama suka, dan
2. Asas partisipasi keluarga
Asas Suka sama Suka mengandung makna bahwa
perkawinan hanya dapat dilangsungkan bila kedua calon benar-benar bercita-cita
mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, tidak ada paksaan
dari pihak manapun baik orang tua, tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat
keamanan, dan lain lain.
Asas Partisipasi Keluarga mengandung makna
bahwa perkawinan harus seizin orang tua sesuai blanko yang telah disediakan
oleh aparat Desa/Kelurahan setempat, setelah blanko tersebut diisi oleh Kepala
Desa/Lurah kemudian dibacakan isinya, bila orang tua tersebut setuju dengan isi
Pernyataan Memberi Izin kepada anaknya untuk menikah, maka orang tua calon
mempelai tersebut membubuhkan tanda tangan pada surat pernyataan tersebut,
bukan nikah diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua yang telah mendidik dan
membesarkannya. Bila orang tua sudah tidak ada lagi, maka izin dimaksud
diperoleh dari wali.[2]
Kata “Wali” bukan yang dimaksud wali nikah
tetapi wali pengampu; bila wali tidak ada maka izin dari orang yang memelihara
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas.
Perkara “Izin Kawin” tidak berkaitan dengan
wali nikah, tetapi murni dalam hal penegakan asas partisipasi keluarga
tersebut. Pasal 6 ayat (5) menyatakan: “Dalam hal ada perbedaan pendapat antara
orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang
atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam
daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut memberi izin setelah lebih dahulu mendengar
orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.”
Pasal 6 ayat (6) berbunyi: “Ketentuan
tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.”
Izin kawin seperti diatur dalam UU murni
meniru BW. Contohnya asas suka sama suka adalah mengadopsi Ps 28 KUHPerdata,
asas kematangan berumah tangga mengadopsi Ps. 29, asas partisipasi keluarga
mengadopsi Ps. 35. Oleh karenanya hakim pada peradilan agama cukup mempedomani ketentuan
Ps 6 ayat (6) tersebut di atas, karena pasal tersebut tidak diatur dalam Kitab
Munakahat (Hukum Perkawinan Islam).[3]
Berdasarkan aturan perundang-undangan dalam UU
No.1 Tahun 1974 dan KHI, maka ketentuan-ketentuan yang berlaku adalah sebagai
berikut:[4]
1.
Permohonan
izin melangsungkan perkawinan diajukan oleh calon mempelai yang belum berusia
21 tahun dan tidak mendapat izin dari orang tuanya kepada Pengadilan Agama atau
Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum dimana calon mempelai tersebut bertempat
tinggal.
2.
Permohonan
izin melangsugkan perkawinan yang diajukan oleh calon mempelai pria atau calon
mempelai wanita dapat dilakukan secara kumulatif kepada Pengadilan Agama atau
Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum dimana calon mempelai pria dan wanita
tersebut bertempat tinggal.
3.
Pengadilan
Agama atau Mahkamah Syar’iyah dapat memberikan izin melangsungkan perkawinan
setelah mendengar keterangan dari orang tua, keluarga dekat, ataupun walinya.
4.
Permohonan
izin melangsungkan perkawinan bersifat voluntair (produknya berbentuk
penetapan). Jika pemohon tidak puas dengan penetapan tersebut, maka pemohon
dapat mengajukan kasasi.
5.
Terhadap
penetapan izin melangsungkan perkawinan yang diajukan oleh calon mempelai pria
dan/atau wanita, dapat dilakukan perlawanan oleh orang tua calon mempelai,
keluarga dekat, dan/atau orang yang berkepentingan lainnya kepada Pengadilan
Agama atau Mahkamah Syar’iah mengeluarkan penetapan tersebut.
2.2 Dispensasi
Perkawinan
Salah satu asas yang terkandung dalam Undang-undang nomor l tahun
1974 adalah kematangan fisik dan mental calon mempelai.
Prinsip kematangan calon mempelai dimaksudkan bahwa calon suami istri harus
telah matang jasmani dan rohani untuk melangsungkan perkawinan, agar supaya
dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat keturunan yang baik
dan sehat. Oleh karena itu harus dicegah adanya perkawinan di bawah umur. Di
samping itu perkawinan mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan.
Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi wanita untuk kawin
mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi.[5] Maka
dari itu dalam Pasal 15 KHI serta Pasal 7 ayat (1) UU No.1 tahun 1974
menyatakan bahwa “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai
usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam
belas) tahun.” Dalam KUHPerdata juga
disyaratkan hal yang serupa namun berbeda dengan KHI serta UU No.1 tahun 1974,
batas usia minimal seorang lelaki harus genap delapan belas tahun dan bagi
perempuan harus genap lima belas tahun.[6]
Pembatasan
minimum usia perkawinan oleh
pembentuk undang-undang dimaksudkan untuk menciptakan
kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Bahkan perkawinan itu dianjurkan dilakukan pada usia sekitar 25 tahun
bagi pria dan 20 tahun wanita.
Namun dalam ketentuan
ayat (2) undang-undang No.1 tahun 1974 menyatakan dalam hal penyimpangan
terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
Calon suami
isteri yang belum mencapai usia 19 dan 16 tahun yang ingin melangsungkan
perkawinan, orang tua yang bersangkutan harus mengajukan permohonan dispensasi
kawin kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.[7]
1. Permohonan dispensasi kawin diajukan oleh calon mempelai pria yang belum
berusia 19 tahun, dan calon mempelai wanita yang belum berusia 16 tahun
dan/atau orang tua calon mempelai tersebut kepada Pengadilan Agama atau
Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum dimana calon mempelai dan/atau orang tua
calon mempelai tersebut bertempat tinggal.
2. Pertmohonan Dispensasi kawin yang diajukan oleh calon mempelai pria
dan/atau calon mempelai wanita dapat dilakukan secara bersama-sama kepada
Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum dimana calon
mempelai pria dan wanita tersebut bertempat tinggal.
3. Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah dapat memberikan Dispensasi
kawin setelah mendengar keterangan dari orang tua, keluarga dekat atau walinya.
4. Permohonan Dispensasi kawin bersifat voluntair produknya berbentuk
penetapan, Jika pemohon tidak puas dengan penetapan tersebut, maka Pemohon
dapat mengajukan upaya kasasi.
Permohonan dispensasi nikah yang telah didaftar
sebagai perkara, oleh hakim akan diterima dan diputus dengan membuat penetapan
yang mengabulkan atau menolak permohonan tersebut. Hakim dalam hal memberikan
izin dispensasi nikah di bawah umur, harus berdasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan hukum, diantara pertimbangan tersebut adalah, telah
memenuhi persyaratan administratif yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama antara
lain: tidak ada halangan untuk menikah, dewasa secara fisik, saling mencintai
dan tidak ada unsur paksaan, sudah memiliki pekerjaan, dan hamil di luar nikah.[8]
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadinya
pernikahan di bawah umur karena beberapa alasan, yaitu sudah tidak sekolah dan
telah mendapatkan pekerjaan, dijodohkan, kekhawatiran akan terjadi perzinaan,
dan hamil di luar nikah.[9]
Namun kebanyakan permohonan dispensasi nikah dikarenakan si anak telah hamil
terlebih dahulu, sehingga hakim merasa terpaksa harus memberikan dispensasi
menikah.
Namun meski legal,
dispensasi usia nikah ini dianggap sebagai kemunduran. Karena Indonesia telah
meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(Committee on the Elimination of Discrimination against Women/CEDAW) tahun 1084.[10]
Ratifikasi itu disahkan dalam UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang pengesahan
ratifikasi konvensi tersebut.
"Pasal 2 UU No
7 tahun 1984 menyebutkan negara harus turut menghapus segala kebijakan yang
tidak sesuai dengan konvensi CEDAW, pasal
dispensasi itu seharusnya sudah dihapus," kata Direktur Legal Resources
Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJHAM), Evarisan.
Di sisi lain,
pernikahan usia dini rentan terhadap berbagai masalah. Diantaranya kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) dan kerawanan penyakit reproduksi terhadap perempuan.
Jika itu terjadi, menurut Eva, berarti negara telah ikut andil dalam membiarkan
pelanggaran terhadap hak anak dan hak perempuan. "Dispensasi usia nikah
ini juga sering dimanfaatkan pihak tertentu. Tak jarang kejahatan trafficking
atau perdagangan anak-anak dan anak perempuan terjadi lantaran mudahnya
dispensasi dikabulkan," tandasnya.[11]
Dampak menikah usia muda antara lain:[12]
1.
Kehilangan kesempatan pendidikan. Menikahkan usia muda dapat menyebabkan
anak kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan, karena anak akan terhambat
untuk memperoleh pendidikan.
2.
Kehilangan kesempatan untuk berkembang dan berekspresi. Pernikahan usia
muda akan menghalangi anak mengekspresikan dan berpikir sesuai usianya, karena
ia akan dituntut dengan tanggungjawab dalam keluarga sebagai suami/istri dan
sebagai ayah/ibu.
3.
Kehilangan kesempatan untuk berkreasi, bermain, bergaul dengan teman
sebaya, beristirahat dan memanfaatkan waktu luang. Menikah usia muda akan
menghalangi anak untuk berkreasi, dia akan kehilangan waktu remajanya, bergaul
dengan teman-teman sebayanya, karena dia telah dituntut untuk bertanggungjawab
terhadap keluarga. Pada kenyataanya anak yang menikah pada usia muda, belum
bisa mengurus keluarga maupun anak-anaknya, bahkan mengurus dirinya sendiri
saja kadang belum bisa.
4.
Rentan terhadap gangguan kesehatan reproduksi, seperti kanker serviks dan
penyakit seksual menular lainnya. Perempuan yang menikah di bawah usia 20
tahun, 58,5 persen lebih rentan terkena kanker serviks. Organ reproduksi yang
belum siap atau matang untuk melakukan fungsi reproduksi, beresiko terhadap
bahaya pendarahan dan kerusakan organ yang dapat menyebabkan kematian,
cenderung melakukan aborsi yang sering disertai komplikasi dan kematian.
5.
Rentan terhadap masalah kehamilan dan janin. Kurangnya pengetahuan ibu
yang menikah di usia muda, tentang gizi bagi ibu hamil sehingga dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin. Perempuan yang mengandung,
melahirkan dan mengurus anak karena usia mereka yang masih muda, atau belum
dewasa ada beban psikologis sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan jiwa anak yang dikandungnya.
6.
Rentan terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Karena keterbatasan dan
ketidakmatangan untuk berumah tangga, anak perempuan yang terpaksa menjadi
seorang istri di usia yang masih sangat belia itu tidak mempunyai posisi
tawar-menawar yang kuat dengan suaminya, sehingga sangat rawan menjadi korban
dan sasaran kekerasan dalam rumah tangga. Begitupun anak laki-laki yang menikah
di usia muda, karena keterbatasan dan ketidakmatangan emosi untuk berumah
tangga akan cenderung menjadi pelaku kekerasan.
7.
Pernikahan usia anak, berinfestasi pada masalah sosial yang lebih
kompleks di masa mendatang. Ketidaksiapan mental, sosial dan ekonomi anak untuk
berumah tangga dapat mengakibatkan terjadinya masalah kekerasan dalam rumah
tangga, banyaknya anak yang terlantar dan terabaikan pengasuhannya, masalah
status dan kesehatan ibu dan anak, banyaknya anak lahir menyandang masalah
kesehatan, pengangguran, dan lain-lain.
[3] Habiburrahman, Permasalahan
Hukum Perkawinan Dalam Praktek Pengadilan Agama, Rakernas 2011 Mahkamah
Agung dengan Pengadilan Seluruh Indonesia Jakarta Makalah Peradilan Agama,
18-22 September 2011.
[4] http://hukumnkeluarga.blogspot.com/2011/06/izin-kawin-dispensasi-kawin-dan-wali.html., Sabtu, 14 April 2012.
[5] http://kuapageruyung.blogspot.com/2009/12/persetujuan-izin-dan-dispensasi.html., Sabtu, 14 April 2012.
[7] http://hukumnkeluarga.blogspot.com/2011/06/izin-kawin-dispensasi-kawin-dan-wali.html., Sabtu, 14 April 2012.
[8] Shofiyah Faridatus. 06210074. Fenomena Dispensasi Perkawinan di
bawah umur di Pengadilan Agama Blitar (Studi Kasus Tahun 2008-2010). Skripsi. Jurusan: Al-Ahwal al-Syakhshiyah. Fakultas: Syari’ah,
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang.
[9] Ni’ami, Uswatun. 2011. Dispensasi Nikah di Bawah Umur (Studi
Pandangan Masyarakat Kelurahan Buring Kecamatan Kedungkandang Kota Malang).
Tesis, Program Studi Al Ahwal Al Syahkhshiyyah, Program Pascasarjana,
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar