9 Mar 2014

Konstitusi Sebagai Objek Kajian HTN


2.1 Pengertian
            Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.[1] Sehingga konstitusi mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai suatu negara, dengan demikian suatu konstitusi memuat suatu peraturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar yaitu negara.[2]
            Bertolak dari konsepsi tersebut, maka secara umum istilah konsitusi menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur, atau memerintah negara. Peraturan-peraturan tersebut ada yang tertulis dan yang tidak tertulis.[3]
            Pengertian konstitusi, dalam prakteknya dapat berarti lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian Undang-Undang Dasar.
            L.J. Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas di antara keduanya, kalau gronwet (Undang-undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M, dalam disertasinya mengartikan konstitusi sama dengan Undang-undang Dasar.[4] Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara di dunia termasuk di Indonesia.
            Herman Heller membagi pengertian konstitusi menjadi 3 yaitu:[5]
1.      Die Politische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit. Konstitusi adalah mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai kenyataan. Jadi mengandung pengertian politis dan sosiologis.
2.      Die Verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat. Jadi mengandung pengertian yuridis.
3.      Die geshereiben verfassung. Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.
Dari pendapat Herman Heller tersebut dapatlah kita simpulkan bahwa jika Undang-Undang Dasar dihubungkan dengan konstitusi, maka Undang-Undang Dasar itu baru merupakan sebagian dari pengertian konstitusi  yang tertulis saja. Disamping itu konstitusi itu tidak hanya bersifat yuridis semata, tetapi mengandung pengertian sosiologis dan politis
            Istilah konstitusi dalam perkembangannya mempunyai dua pengertian:
1.      Dalam pengertian yang luas, konstitusi berarti keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar (droit constitutionelle), baik yang tertulis ataupun tidak tertulis ataupun campuran keduanya;
2.      Dalam pengertian sempit (terbatas), konstitusi berarti piagam dasar atau Undang-undang Dasar (loi constitutionelle), ialah suatu dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara. Misalnya UUD RI 1945, Konstitusi USA 1787.

2.2 Pembagian dan Klasifikasi Konstitusi
            Carl Schmitt dan K.C wheare dalam bukunya “Verfassungslehre” membagi konstitusi dalam empat bagian antara lain:[6]
1.      Konstitusi absolut (absolut begriff der verfassung)
2.      Konstitusi relatif (relative begriff der verfassung)
3.      Konstitusi positif (positive begriff der verfassung)
4.      Konstitusi ideal (ideal begriff der verfassung)
a)      Konstitusi Absolut
1)      Konstitusi sebagai kesatuan organisasi.
Dalam hal ini Kesatuan Organisasi ini menjangkau semua perangkat hukum yang ada kaitannya dengan kenegaraan serta semua organisasi yang ada dalam negara.
2)      Konstitusi sebagai pembentuk negara.
Bahwa dengan diberlakukannya konstitusi, dapat segera ditunjukkan kelengkapan bentuk dari negara tersebut, apakah bentuknya itu demokrasi ataukah monarki. Mengenai sendi demokrasi itu (secara langsung atau tidak langsung) telah mengemukakan suatu identitas bahwa dalam hal ini kepentingan konstitusi tertuju kepada rakyat, perjuangannya jalan pencapai tujuannya guna mebncapai tujuan/cita-cita dengan penuh keberhasilan. Sedangkan sendi yang berkaitan dengan monarki menunjukkan suatu representasi, yaitu adanya raja sebagai kepala negara yang berlaku secra turun temurun sebagai suatu lambang dari bentuk negara, tetapi dalam hal kekuasaannya tetap, pada dasarnya berada pada rakyat.
3)      Konstitusi sebagai faktor pengimbang pelancar (integrasi).
Demi kepentingan hubungan dalam percaturan hidup di dunia sangat diperlukan lambang dari ciri-ciri yang menunjukkan adanya negara yang teratur. Lambang dan ciri-ciri ini akan memperlancar, lebih memantapkan dan lebih menjamin keteraturannya itu, seperti: adanya lagu kebangsaan, bahasa nasional, bendera, dan lambang kenegaraan. Selain itu (dalam hal integrasi yang bersifat abstrak), konstitusi dapat menciptakan integrasi yang bersifat fungsional seperti halnya memantapkan persatuan dan perkembangan bangsa dengan jaminan pemilihan umum, referendum, pembentukan parlemen, kabinet, dan lain sebagainya.
4)      Konstitusi sebagai norma-norma hukum tertinggi yang menjadi dasar dari segala-galanya, atau menjadi sumber bagi segala peraturan hidup yang diberlakukan dalam negara tersebut.
b)      Konstitusi Relatif
Dalam hal pengertian konstitusi yang relatif ini penjelasan yang dikemukakan adalah sekitar konstitusi dalam arti formal atau yang tertulis.
Konstitusi formal dapat diberlakukan untuk jangka waktu panjang, sampai puluhan atau ratusan tahun, tergantung dari arti materiilnya atau isinya. Jadi kalau segi materiilnya memang fleksibel, mantap bagi kehidupan dan perkembangan negara dan bangsa, tentulah konstitusi demikian akan dipertahankan. Jaminan dari segi materiil ini adalah tergantung dari segi perancanagan, pembuatan atau prosedur-prosedur dalam penciptaan atau penyusunannya. Tentunya prosedur yang paling baik ialah yang melibatkan banyak pihak, yang lazimnya dapat menunjukkan demokrasi. Isi dari kesepakatan dalam penyusunan selanjutnya diwujudkan sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang tertulis. Segi relatifnya terletak pada perubahan-perubahan, penambahan, perbaikan, yaitu jika dipandang perlu sehubungan dengan diperolehnya perbaikan yang memantapkan konstitusi tersebut.
c)      Konstitusi Positif
Konstitusi dalam arti positif mengandung pengertian sebagai keputusan politik tertinggi, yang menentukan nasib seluruh rakyat dimana konstitusi itu diberlakukan. Adapun keputusan politik tertingi lazimnya menunjukkan perubahan-perubahan yang menuju perbaikan, atau perkembangan negara dan bangsa, misalnya memberikan garis-garis besar bagi pengaturan kehidupan bangsa dan negara setelah perolehan kemerdekaan, perebutan kemerdekaan, dan lain sebagainya. Garis-garis besar peraturan ini mutlak harus dijalankan dan ditaati sebagai hal-hal yang teruji kepositifannya. 
d)     Konstitusi Ideal
Jika melihat dari segi demokrasi atau kepentingan rakyat, maka konstitusi yang ideal dengan sendirinya yang dapat memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi, cita-cita yang timbul lainnya dengan melalui konstitusi agar pemerasan, perbuatan sewenang-wenang terhadap rakyat dapat dihilangkan, dan sebagi gantinya rakyat diberikan hak-hak kebebasan dan persamaan hak.

2.3  Nilai Konstitusi
Karl Loewenstein mengadakan suatu penyelidikan mengenai apa arti dari suatu konstitusi tertulis (UUD) dalam suatu lingkungan nasional, terutama bagi rakyat biasa sehingga membawanya kepada tiga jenis penilaian konstitusi sebagai berikut:[7]
1.      Nilai Normatif
Nilai ini diperoleh apabila penerimaan segenap rakyat dari suatu negara terhadap konstitusinya benar-benar secara murni dan konsekuen, konstitusi itu ditaati dan dijunjung tinggi tanpa adanya penyelewengan sedikitpun.
2.      Nilai Nominal
Konstitusi yang mempunyai nilai nominal berarti secara hukum konstitusi itu berlaku, tetapi kenyataannyakurang sempurna. Sebab-sebab pasal-pasal tertentu dari konstitusi tersebut dalam kenyataannya tidak berlaku.
3.      Nilai Semantik
Suatu konstitusi bernilai semantik jika konstitusi tersebut secara hukum berlaku namun dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberikan bentuk dari tempat yang telah ada, dan dipergunakan untuk melaksanakan kekuasaan politik. Jadi konstitusi tersebut hanyalah sekedar suatu istilah belaka, sedang dalam pelaksanannya hanyalah dimaksudkan untuk kepentingan pihak penguasa.





2.4  Sifat Konstitusi
1.      Bersifat Luwes/Fleksibel
Konstitusi yang bersifat luwes atau fleksibel adalah konstitusi yang baik, karenanya dapat dengan mudah menerima perubahan apabila diperlukan sekali, serta dengan mudah pula dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.
2.      Tertulis dan Tidak Tertulis
1.      Bersifat tidak tertulis:
Suatu konstitusi yang tidak dituangkan dalam suatu dokumen formal,. Seperti konstitusi yang berlaku di Inggris, Israel, dan New Zaeland.
2.      Bersifat tertulis:
Konstitusi yang dituangkan dalam sebuah dokumen atau beberapa dokumen formal.

2.5  Materi Muatan Konstitusi
Menurut A.A.H. Struycken, Undang-Undang Dasar (Groundwet) sebagai kontitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:[8]
1.      Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau;
2.      Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
3.      Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan dating;
4.      Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin .
Apabila masing-masing muatan kita kaji, dapat kita tarik kesimpulan bahwa selain sebagai dokumen nasional dan tanda kedewasaan dari kemerdekaan sebagi bangsa, konstitusi juga sebagai alat berisi sistem politik dan sisitem hukum yang hendak diwujudkan.
Menurut Mr.J.G. Steenbeek menjabarkan, bahwa pada umumnya suatu konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu:[9]
1.      Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negaranya;
2.      Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental;
3.      Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
Sedang menurut Miriam Budiarjo, setiap Undang-Undang Dasar memuat ketentuan –ketentuan mengenai:[10]
1.      Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
2.      Hak-hak asasi manusia
3.      Prosedur mengubah Undang-Undang Dasar.
4.      Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang-Undang Dasar.
Apabila kita bandingkan pendapat Steenbeek dengan pendapat Miriam Budiarjo, maka pendapat Miriam ini lebih luas cakupannya, yakni menyangkut perubahan Undang-Undang Dasar.

2.6  Perubahan Konstitusi
 Secara garis besar konstitusi dapat berubah atau diubah melalui dua jalan, yakni melalui cara berikut:
1.      Jalan yuridis formal.
Jalan pertama, dilakukan sesuai dengan ketentuan formal mengenai perubahan konstitusi yang terdapat di dalam konstitusi itu sendiri dan mungkin diatur dalam peraturan perundangan lain.
2.      Jalan non yuridis formal atau jalan politis.[11]
Perubahan konstitusi tersebut biasanya terjadi Karena sebab tertentu atau keadaan khusus yang mendorong terjadinya perubahan konstitusi. Perubahan demikian dapat berupa perubahan total atau sebagian ketentuan saja sesuai kebutuhan. Perubahan konstitusi secara politis ini kalau berjalan dan dapat diterima oleh segala lapisan masyarakat, maka perubahan demikian secara yuridis adalah sah. Atau dengan kata lain, perubahan konstitusi secara de facto yang kemudian dapat diterima oleh  seluruh rakyatnya, maka konvensi statusnya berubah menjadi de jure.
            Perubahan konstitusi di atas sesuai dengan George Jellinek, yang membedakan dua cara perubahan konstitusi, yaitu melalui cara berikut:
1.      Yang disebut “verfassungs-anderug”, yakni cara perubahan konstitusi yang dilakukan dengan sengaja dengan cara yang ditentukan konstitusi.[12]
2.      Melalui prosedur yang disebut “verfassung-wandelung”,yakni perubahan konstitusi yang dilakukan tidak berdasarkan cara formal yang ditentukan dalam konstitusi sendiri, melainkan melalui jalur istimewa, seperti revolusi, kudeta, dan konvensi.[13]
Dua cara tersebut dapat dikembangkan lagi menjadi empat macam cara, sebagaimana yang dikemukakan oleh K.C. Wheare, yaitu melalui cara berikut:[14]
1.      Perubahan konstitusi yang terjadi akibat kekuatan-kekuatan yang bersifat primer (some primary forces), seperti dorongan faktor politik.
2.      Perubahan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam konstitusi (formal amandement).
3.      Perubahan konstitusi melalui penafsiran hakim atau pengadilan (judicial interpretation).
4.      Perubahan konstitusi oleh suatu kebiasaan dan konvensi yang lahir apabila ada kesepakatan rakyat (usage and convention).
Berdasarkan pendapat di atas dapat kita simpulkan terdapat dua macam perubahan konstitusi, pertama perubahan secara formal yakni formal amandement, dan kedua perubahan di luar cara formal yakni some primary force, judicial interpretation, dan usage and convention.


[1] Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1989, hlm.10.
[2] Lihat Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, hlm. 37. Lihat juga M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, hlm.30.
[3] Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006, hlm.44.
[4] Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Disertasi, Alumni, Bandung, 1987, hlm.1.
[5] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN fakultas Hukum UI, Jakarta, 1998, hlm.65.
[6] R.G. Kartasapoetra, S.H., Sistematika Hukum Tata Negara, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm.18.
[7] H. Dahlan Thaib, dkk, Teori Hukum Dan Konstitusi, Jakarta: PT RajaGrafindo, 1999, hlm.41.
[8] Sri Soemantri M., Prosedur dan Perubahan Konstitusi, op.cit., hlm.2.
[9] Sri Soemantri M., Prosedur dan Perubahan Konstitusi, op.cit., hlm.51.
[10] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia,1991, hlm.101.
[11] Djokosutono, Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hlm.47.
[12] Djokosutono, Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hlm.105.
[13] Ranggawijaya, Wewenang Menafsirkan UUD, Bandung: Cita Bakti Akademika, 1996, hlm.52.
[14] Sri Soemantri M., Prosedur dan Perubahan Konstitusi, op.cit., hlm.218.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar