2.1 Pengertian
Istilah
konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian
istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun
dan menyatakan suatu negara.[1] Sehingga
konstitusi mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai suatu negara,
dengan demikian suatu konstitusi memuat suatu peraturan pokok (fundamental)
mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar yaitu negara.[2]
Bertolak
dari konsepsi tersebut, maka secara umum istilah konsitusi menggambarkan
keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa kumpulan peraturan
yang membentuk, mengatur, atau memerintah negara. Peraturan-peraturan tersebut
ada yang tertulis dan yang tidak tertulis.[3]
Pengertian
konstitusi, dalam prakteknya dapat berarti lebih luas daripada pengertian
Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian
Undang-Undang Dasar.
L.J.
Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas di antara keduanya, kalau gronwet
(Undang-undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution
(konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis.
Sementara Sri Soemantri M, dalam disertasinya mengartikan konstitusi sama dengan
Undang-undang Dasar.[4]
Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di
sebagian besar negara-negara di dunia termasuk di Indonesia.
Herman
Heller membagi pengertian konstitusi menjadi 3 yaitu:[5]
1.
Die
Politische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit.
Konstitusi adalah mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai
kenyataan. Jadi mengandung pengertian politis dan sosiologis.
2.
Die
Verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi merupakan
suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat. Jadi mengandung pengertian
yuridis.
3.
Die
geshereiben verfassung. Konstitusi yang ditulis dalam
suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu
negara.
Dari
pendapat Herman Heller tersebut dapatlah kita simpulkan bahwa jika
Undang-Undang Dasar dihubungkan dengan konstitusi, maka Undang-Undang Dasar itu
baru merupakan sebagian dari pengertian konstitusi yang tertulis saja. Disamping itu konstitusi
itu tidak hanya bersifat yuridis semata, tetapi mengandung pengertian
sosiologis dan politis
Istilah
konstitusi dalam perkembangannya mempunyai dua pengertian:
1. Dalam
pengertian yang luas, konstitusi berarti keseluruhan dari ketentuan-ketentuan
dasar atau hukum dasar (droit constitutionelle), baik yang tertulis ataupun
tidak tertulis ataupun campuran keduanya;
2. Dalam
pengertian sempit (terbatas), konstitusi berarti piagam dasar atau
Undang-undang Dasar (loi constitutionelle), ialah suatu dokumen lengkap
mengenai peraturan-peraturan dasar negara. Misalnya UUD RI 1945, Konstitusi USA
1787.
2.2 Pembagian
dan Klasifikasi Konstitusi
Carl
Schmitt dan K.C wheare dalam bukunya “Verfassungslehre”
membagi konstitusi dalam empat bagian antara lain:[6]
1. Konstitusi absolut (absolut begriff der verfassung)
2. Konstitusi relatif (relative begriff der verfassung)
3. Konstitusi positif (positive begriff der verfassung)
4. Konstitusi ideal (ideal begriff der verfassung)
a) Konstitusi Absolut
1) Konstitusi sebagai kesatuan
organisasi.
Dalam
hal ini Kesatuan Organisasi ini menjangkau semua perangkat hukum yang ada
kaitannya dengan kenegaraan serta semua organisasi yang ada dalam negara.
2) Konstitusi sebagai pembentuk negara.
Bahwa
dengan diberlakukannya konstitusi, dapat segera ditunjukkan kelengkapan bentuk
dari negara tersebut, apakah bentuknya itu demokrasi ataukah monarki. Mengenai
sendi demokrasi itu (secara langsung atau tidak langsung) telah mengemukakan
suatu identitas bahwa dalam hal ini kepentingan konstitusi tertuju kepada
rakyat, perjuangannya jalan pencapai tujuannya guna mebncapai tujuan/cita-cita
dengan penuh keberhasilan. Sedangkan sendi yang berkaitan dengan monarki
menunjukkan suatu representasi, yaitu adanya raja sebagai kepala negara yang
berlaku secra turun temurun sebagai suatu lambang dari bentuk negara, tetapi
dalam hal kekuasaannya tetap, pada dasarnya berada pada rakyat.
3) Konstitusi sebagai faktor pengimbang
pelancar (integrasi).
Demi
kepentingan hubungan dalam percaturan hidup di dunia sangat diperlukan lambang
dari ciri-ciri yang menunjukkan adanya negara yang teratur. Lambang dan
ciri-ciri ini akan memperlancar, lebih memantapkan dan lebih menjamin
keteraturannya itu, seperti: adanya lagu kebangsaan, bahasa nasional, bendera,
dan lambang kenegaraan. Selain itu (dalam hal integrasi yang bersifat abstrak),
konstitusi dapat menciptakan integrasi yang bersifat fungsional seperti halnya
memantapkan persatuan dan perkembangan bangsa dengan jaminan pemilihan umum,
referendum, pembentukan parlemen, kabinet, dan lain sebagainya.
4) Konstitusi sebagai norma-norma hukum
tertinggi yang menjadi dasar dari segala-galanya, atau menjadi sumber bagi
segala peraturan hidup yang diberlakukan dalam negara tersebut.
b)
Konstitusi Relatif
Dalam hal
pengertian konstitusi yang relatif ini penjelasan yang dikemukakan adalah
sekitar konstitusi dalam arti formal atau yang tertulis.
Konstitusi
formal dapat diberlakukan untuk jangka waktu panjang, sampai puluhan atau
ratusan tahun, tergantung dari arti materiilnya atau isinya. Jadi kalau segi
materiilnya memang fleksibel, mantap bagi kehidupan dan perkembangan negara dan
bangsa, tentulah konstitusi demikian akan dipertahankan. Jaminan dari segi
materiil ini adalah tergantung dari segi perancanagan, pembuatan atau
prosedur-prosedur dalam penciptaan atau penyusunannya. Tentunya prosedur yang
paling baik ialah yang melibatkan banyak pihak, yang lazimnya dapat menunjukkan
demokrasi. Isi dari kesepakatan dalam penyusunan selanjutnya diwujudkan sebagai
konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang tertulis. Segi relatifnya terletak
pada perubahan-perubahan, penambahan, perbaikan, yaitu jika dipandang perlu
sehubungan dengan diperolehnya perbaikan yang memantapkan konstitusi tersebut.
c) Konstitusi Positif
Konstitusi
dalam arti positif mengandung pengertian sebagai keputusan politik tertinggi,
yang menentukan nasib seluruh rakyat dimana konstitusi itu diberlakukan. Adapun
keputusan politik tertingi lazimnya menunjukkan perubahan-perubahan yang menuju
perbaikan, atau perkembangan negara dan bangsa, misalnya memberikan garis-garis
besar bagi pengaturan kehidupan bangsa dan negara setelah perolehan
kemerdekaan, perebutan kemerdekaan, dan lain sebagainya. Garis-garis besar
peraturan ini mutlak harus dijalankan dan ditaati sebagai hal-hal yang teruji
kepositifannya.
d) Konstitusi Ideal
Jika melihat dari segi demokrasi
atau kepentingan rakyat, maka konstitusi yang ideal dengan sendirinya yang
dapat memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi, cita-cita yang
timbul lainnya dengan melalui konstitusi agar pemerasan, perbuatan
sewenang-wenang terhadap rakyat dapat dihilangkan, dan sebagi gantinya rakyat
diberikan hak-hak kebebasan dan persamaan hak.
2.3 Nilai Konstitusi
Karl Loewenstein
mengadakan suatu penyelidikan mengenai apa arti dari suatu konstitusi tertulis
(UUD) dalam suatu lingkungan nasional, terutama bagi rakyat biasa sehingga
membawanya kepada tiga jenis penilaian konstitusi sebagai berikut:[7]
1.
Nilai Normatif
Nilai ini diperoleh
apabila penerimaan segenap rakyat dari suatu negara terhadap konstitusinya
benar-benar secara murni dan konsekuen, konstitusi itu ditaati dan dijunjung
tinggi tanpa adanya penyelewengan sedikitpun.
2.
Nilai Nominal
Konstitusi yang mempunyai
nilai nominal berarti secara hukum konstitusi itu berlaku, tetapi
kenyataannyakurang sempurna. Sebab-sebab pasal-pasal tertentu dari konstitusi
tersebut dalam kenyataannya tidak berlaku.
3.
Nilai Semantik
Suatu konstitusi bernilai semantik jika konstitusi
tersebut secara hukum berlaku namun dalam kenyataannya hanya sekedar untuk
memberikan bentuk dari tempat yang telah ada, dan dipergunakan untuk melaksanakan
kekuasaan politik. Jadi konstitusi tersebut hanyalah sekedar suatu istilah
belaka, sedang dalam pelaksanannya hanyalah dimaksudkan untuk kepentingan pihak
penguasa.
2.4 Sifat Konstitusi
1.
Bersifat
Luwes/Fleksibel
Konstitusi
yang bersifat luwes atau fleksibel adalah konstitusi yang baik, karenanya dapat
dengan mudah menerima perubahan apabila diperlukan sekali, serta dengan mudah
pula dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.
2.
Tertulis dan
Tidak Tertulis
1. Bersifat
tidak tertulis:
Suatu
konstitusi yang tidak dituangkan dalam suatu dokumen formal,. Seperti
konstitusi yang berlaku di Inggris, Israel, dan New Zaeland.
2. Bersifat
tertulis:
Konstitusi
yang dituangkan dalam sebuah dokumen atau beberapa dokumen formal.
2.5 Materi Muatan
Konstitusi
Menurut A.A.H. Struycken, Undang-Undang Dasar
(Groundwet) sebagai kontitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang
berisi:[8]
1. Hasil
perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau;
2. Tingkat-tingkat
tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
3. Pandangan
tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk
masa yang akan dating;
4. Suatu
keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak
dipimpin .
Apabila masing-masing muatan kita kaji, dapat kita
tarik kesimpulan bahwa selain sebagai dokumen nasional dan tanda kedewasaan
dari kemerdekaan sebagi bangsa, konstitusi juga sebagai alat berisi sistem
politik dan sisitem hukum yang hendak diwujudkan.
Menurut Mr.J.G. Steenbeek menjabarkan, bahwa pada
umumnya suatu konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu:[9]
1. Adanya
jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negaranya;
2. Ditetapkannya
susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental;
3. Adanya
pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
Sedang menurut Miriam Budiarjo, setiap Undang-Undang
Dasar memuat ketentuan –ketentuan mengenai:[10]
1. Organisasi
negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif.
2. Hak-hak
asasi manusia
3. Prosedur
mengubah Undang-Undang Dasar.
4. Adakalanya
memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang-Undang Dasar.
Apabila
kita bandingkan pendapat Steenbeek dengan pendapat Miriam Budiarjo, maka
pendapat Miriam ini lebih luas cakupannya, yakni menyangkut perubahan
Undang-Undang Dasar.
2.6 Perubahan
Konstitusi
Secara garis besar
konstitusi dapat berubah atau diubah melalui dua jalan, yakni melalui cara
berikut:
1. Jalan
yuridis formal.
Jalan pertama, dilakukan sesuai
dengan ketentuan formal mengenai perubahan konstitusi yang terdapat di dalam
konstitusi itu sendiri dan mungkin diatur dalam peraturan perundangan lain.
2. Jalan
non yuridis formal atau jalan politis.[11]
Perubahan
konstitusi tersebut biasanya terjadi Karena sebab tertentu atau keadaan khusus
yang mendorong terjadinya perubahan konstitusi. Perubahan demikian dapat berupa
perubahan total atau sebagian ketentuan saja sesuai kebutuhan. Perubahan
konstitusi secara politis ini kalau berjalan dan dapat diterima oleh segala
lapisan masyarakat, maka perubahan demikian secara yuridis adalah sah. Atau
dengan kata lain, perubahan konstitusi secara de facto yang kemudian dapat
diterima oleh seluruh rakyatnya, maka
konvensi statusnya berubah menjadi de jure.
Perubahan konstitusi di atas sesuai
dengan George Jellinek, yang membedakan dua cara perubahan konstitusi, yaitu
melalui cara berikut:
1. Yang
disebut “verfassungs-anderug”, yakni
cara perubahan konstitusi yang dilakukan dengan sengaja dengan cara yang
ditentukan konstitusi.[12]
2. Melalui
prosedur yang disebut “verfassung-wandelung”,yakni
perubahan konstitusi yang dilakukan tidak berdasarkan cara formal yang
ditentukan dalam konstitusi sendiri, melainkan melalui jalur istimewa, seperti
revolusi, kudeta, dan konvensi.[13]
Dua
cara tersebut dapat dikembangkan lagi menjadi empat macam cara, sebagaimana
yang dikemukakan oleh K.C. Wheare, yaitu melalui cara berikut:[14]
1. Perubahan
konstitusi yang terjadi akibat kekuatan-kekuatan yang bersifat primer (some primary forces), seperti dorongan
faktor politik.
2. Perubahan
yang dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam konstitusi (formal amandement).
3. Perubahan
konstitusi melalui penafsiran hakim atau pengadilan (judicial interpretation).
4. Perubahan
konstitusi oleh suatu kebiasaan dan konvensi yang lahir apabila ada kesepakatan
rakyat (usage and convention).
Berdasarkan
pendapat di atas dapat kita simpulkan terdapat dua macam perubahan konstitusi,
pertama perubahan secara formal yakni formal
amandement, dan kedua perubahan di luar cara formal yakni some primary force, judicial interpretation,
dan usage and convention.
[1]
Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Tata
Negara di Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1989, hlm.10.
[2]
Lihat Dasril Radjab, Hukum Tata Negara
Indonesia, hlm. 37. Lihat juga M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, hlm.30.
[3]
Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum
Tata Negara, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006, hlm.44.
[4]
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Disertasi,
Alumni, Bandung, 1987, hlm.1.
[5]
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN fakultas Hukum UI, Jakarta,
1998, hlm.65.
[6]
R.G. Kartasapoetra, S.H., Sistematika
Hukum Tata Negara, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm.18.
[7]
H. Dahlan Thaib, dkk, Teori Hukum Dan
Konstitusi, Jakarta: PT RajaGrafindo, 1999, hlm.41.
[8]
Sri Soemantri M., Prosedur dan Perubahan
Konstitusi, op.cit., hlm.2.
[9]
Sri Soemantri M., Prosedur dan Perubahan
Konstitusi, op.cit., hlm.51.
[10]
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu
Politik, Jakarta: Gramedia,1991, hlm.101.
[11]
Djokosutono, Hukum Tata Negara,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hlm.47.
[12]
Djokosutono, Hukum Tata Negara,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hlm.105.
[13]
Ranggawijaya, Wewenang Menafsirkan UUD, Bandung:
Cita Bakti Akademika, 1996, hlm.52.
[14]
Sri Soemantri M., Prosedur dan Perubahan
Konstitusi, op.cit., hlm.218.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar