9 Mar 2014

Hubungan Hukum dan Moral


A.  Moral
Moral berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores) yang berarti juga kebiasaan, adat dan berasal dari bahasa Belanda moural, yang berarti kesusilaan, budi pekerti.[1] Menurut W.J.S. Poerwadarminta, moral berarti “ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan.”[2] Dalam Islam moral dikenal dengan istilah “akhlak”, berasal dari kata “khuluqun”, artinya budi pekerti, perangai, tingkah laku, tabiat.
Raghib Al-Isfahani, seorang filsuf muslim klasik Islam memaknai akhlak sebagai upaya manusia untuk melahirkan perbuatan yang bajik dan baik. Alasannya, kata akhlak merupakan plural dari khuluq yang berasal dari kata khalaqa. Menurutnya, ini ditujukan kepada ciptaan Tuhan yang brmuatan daya yang dapat disempurnakan oleh upaya manusia.[3]
Menurut Ibnu Maskawih dalam bukunya Tahdzibul akhlaq wa that-hirul-a’raq, seperti dikutip oleh Rahmat Djatnika, menyebut akhlaq sebagai perangai, yang maksudnya adalah keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran.
Menurut al-Ghazali: “akhlak merupakan tabiat jiwa, yang dapat dengan mudah melahirkan perbuatan-perbuatan dengan perwatakan tertentu secara serta merta tanpa pemikiran dan pertimbangan. Apabila tabiat tersebut melahirkan perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan agama, tabiat tersebut dinamakan akhlak yang baik. Apabila melahirkan perbuatan-perbuatan yang jelek, maka tabiat tersebut dinamakan akhlak yang jelek.”[4]
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi mudah tanpa memerlukan pikiran lagi.
Ukuran perseorangan bagi baik dan buruk, bagus dan jelek berbeda menurut perbedaan persepsi seseorang, perbedaan masa, dan perubahan keadaan dan tempat. Namun demikian, dalam setiap masyarakat dalam suatu masa ada ukuran umum, artinya ukuran yang diakui oleh seluruh atau sebagian besar dari anggota-anggotanya. Ukuran umum itu mungkin berbeda dari suatu masyarakat dengan masyarakat lain, akan tetapi ada pokok-pokok tertentu yang ada persamannya antara semua manusia dalam menilai baik dan buruk.[5] Bagi umat Islam pendasaran baik dan buruk bagi perbuatan adalah kepada kitab pedomannya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah.

B.  Hukum dan Moral
Pada masyarakat yang masih sederhana, norma susila atau moral telah memadai untuk menciptakan ketertiban dan mengarahkan arah tingkah laku masyarakat, dan menegakkan kesejahteraan dalam masyarakat. Kesusilaan memberikan peraturan-peraturan kepada seseorang supaya menjadi manusia yang sempurna. Hasil dari perintah dan larangan yang timbul dari norma kesusilaan itu bersandar pada kebebasan pribadi seseorang. Hati nuraninya akan menyatakan perbuatan mana yang jahat serta akan menentukan apakah ia akan melakukan sesuatu perbuatan.[6] Akan tetapi pada masyarakat yang sudah maju kaidah adat tersebut tidak lagi mencukupi. Hal ini dilatarbelakangi oleh karena persandaran moral adalah kebebasan pribadi. Untuk mengatur segalanya diperlukan antara lain yang tidak disandarkan pada kebebasan pribadi, tetapi juga mengekang kebebasan pribadi dalam bentuk paksaan, ancaman dan sanksi. Aturan itulah yang disebut dengan hukum.[7]
Jika dalam kesusilaan yang dimuat adalah anjuran yang berupa pujian dan celaan, maka dalam kaidah hukum yang dimuat adalah perintah dan larangan yang diperkuat dengan ancaman, paksaan atau sanksi bagi orang yang mengabaikan. Meskipun coraknya berbeda, namun bentuk-bentuk yang dipuji dan dicela dalam kesusilaan, sehingga pada hakikatnya patokan hukum tersebut berurat pada kesusilaan.
Pembahasan tentang hubungan antara hukum dengan moral adalah salah satu topik penting dalam kajian filsafat hukum. Dalam kajian hukum Barat, antara hukum dan moral memang mempunyai kaitan erat, tetapi hukum tidak sama dengan moralitas. Hukum mengikat semua orang sebagai warga negara, tetapi moralitas hanya mengikat orang sebagai individu.[8] Dikatakan dalam teori pemisahan antara hukum dan moralitas bahwa hukum adalah suatu hal dan moralitas adalah hal lain, atau dengan kata lain: “hukum dan moralitas tidak selalu sisi lain dari mata uang yang sama”. Ini tidak berarti bahwa hakim atau jaksa hanya memberikan perhatian terhadap hukum dan tidak memberikan perhatian terhadap moralitas. Sebenarnya hukum yang baik berasal dari moralitas yang baik, dan moralitas yang baik melahirkan hukum yang baik pula.[9]
1.    Moral Sebagai Landasan Tujuan Hukum
Dalam banyak literatur dikemukakan bahwa tujuan hukum atau cita hukum tidak lain daripada keadilan. Gustav Radbruch, di antaranya menyatakan bahwa cita hukum tidak lain daripada keadilan.[10] Selanjutnya ia menyatakan “Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus”, yang diterjemahkan: “Akan tetapi hukum berasal dari keadilan seperti lahir dari kandungan ibunya, oleh karena itu keadilan telah ada sebelum adanya hukum.” Menurut Ulpianus, Justitia est perpetua et constans voluntas jus suum cuique tribuendi, yang diterjemahkan secara bebas, keadilan adalah suatu keinginan yang terus-menerus dan tetap untuk memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya.
Esensi keadilan berpangkal pada moral manusia yang diwujudkan dalam rasa cinta kasih dan sikap kebersamaan.[11] Yang pertama kali mengemukakan moral sebagai dasar aturan adalah Thomas Aquinas.[12] Thomas Aquinas menyatakan manusia tidak dapat mengingkari keberadaan tubuhnya. Tubuh inilah yang memicu adanya tindakan, keinginan dan hawa nafsu.
Menurut Thomas Aquinas, manusia melalui kekuatan kemauan dan pikiran yang dimilikinya dapat melepaskan diri dari kendali-kendali tersebut. Daya intelektual manusia dapat memberikan peringkat terhadap makna mengenai apa yang dimiliki manusia. Kekayaan, kesenangan, kekuasaan, dan pengetahuan merupakan objek keinginan yang dapat dimiliki oleh manusia. Akan tetapi semua itu tidak dapat menghasilkan kebahagian manusia yang terdalam. Hal-hal itu tidak memiliki karakter kebaikan yang bersifat universal yang dicari oleh manusia. Aquianas percaya bahwa kebaikan yang universal itu tidak dapat diketemukan pada ciptaan, melainkan pada Allah Sang Pencipta.[13]
Menurut Thomas Aquianas, hukum terutama berkaitan dengan kewajiban yang diletakkan oleh nalar. Hukum meliputi kekuasaan, dan kekuasaan inilah yang memberikan kewajiban. Akan tetapi di belakang kekuasaan inilah berdiri nalar. Penguasa melalui hukum positif dapat memberi perintah yang bukan-bukan atau memaksa orang melakukan perbuatan yang tidak benar, tetapi hukum positif  tersebut bekerja tidak sesuai dengan hakikat alamiah hukum. Hukum alam ditentukan oleh nalar manusia. Mengingat Allah menciptakan segala sesuatu, hakikat alamiah manusia dan hukum alam paling tepat dipahami sebagai produk kebijaksanaan atau pikiran Allah.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas adalah pandangan Lon L. Fuller. Oleh Fuller dikatakan bahwa masalah moralitas merupakan bagian dari hukum alam.[14] Hanya saja aturan-aturan itu tetap membumi. Memang kata moral sering dikaitkan dengan keadaan batin seseorang, seperti budi pekerta luhur, keramahtamahan, atau ketaatan dalam menjalankan kewajiban agama dan semu sikap yang mempunyai kemaslahatan semua orang dan diri sendiri. Tidak berzina, tidak suka memfitnah, tidak berkata-kata dusta, suka memberi, bermurah hati dan suka menolong dalam kesesakan adalah tindakan-tindakan moral. Akan tetapi sikap semacam itu adalah ideal. Hukum tidak mampu menjangkau hal-hal semacam itu. Hukum bukan suatu lembaga untuk membuat seseorang menjadi bersifat malaikat. Namun hukum dapat menjaga kehidupan masyarakat dari gangguan tindakan manusia yang berhati setan.[15] Hukum diciptakan untuk menjaga fungsi eksistensial kehidupan bermasyarakat dari tindakan manusia atau sekelompok manusia lain yang berusaha merusak eksistensi itu. Oleh karena itulah moral dalam hal ini merupakan sesuatu yang bersifat operasional.
2.    Hukum Bersatu dengan Moral
Prof. Dr. Hazairin dalam buku Demokrasi Pancasila menyatakan bahwa hukum tanpa moral adalah kezaliman. Moral tanpa hukum adalah anarki dan utopia yang menjurus kepada peri-kebinatangan. Hanya hukum yang dipeluk oleh kesusilaan dan berakar pada kesusilaan yang dapat mendirikan kesusilaan.[16] Lebih lanjut Dr. Muslehuddin menerangkan bahwa hukum tanpa keadilan dan moralitas bukanlah hukum dan tidak bisa bertahan lama. Sistem hukum yang tidak memiliki akar substansial pada keadilan dan moralitas pada akhirnya akan terpental.[17] Menurut Prof. Dr. H. M. Rasjidi, hukum dan moral harus berdampingan, karena moral adalah pokok dari hukum.[18] Menurut Kant, hukum moral adalah hukum dalam arti sebenarnya. Menurut Friedmann, tidak ada dan tidak pernah ada pemisahan total hukum dari moralitas. Oleh karenanya hukum yang dipisahkan dari keadilan dan moralitas bukanlah hukum.[19]

C.  Perbedaan Serta Hubungan Hukum dan Moral
Pada umumnya, perbedaan dan hubungan antara hukum dan moral dapat dijelaskan sebagai berikut:[20]
1.      Hukum membutuhkan moral. Quid leges sine moribus? (Apa artinya UU tanpa moralitas?). Kualitas hukum juga diukur dari mutu moralnya. Sebaliknya, moral juga membutuhkan hukum[21], agar “semakin terwujud secara lebih pasti dalam perilaku konkret”. Menghormati hak milik orang lain misalnya, adalah sebuah prinsip moral. Prinsip ini diperkuat dalam hukum yang melindungi hak milik.
2.      Hukum itu lebih dikodifikasikan dan dengan demikian lebih pasti dan objektif daripada moralitas yang tidak tertulis.
3.      Hukum mengatur perbuatan lahiriah (legalitas), sementara moral lebih menyangkut sikap batin manusia.
4.      Moralitas adalah “isi minimum dari hukum”. Hukum dan moralitas hanya berbeda dari sisi formal, tetapi tidak ada perbedaan mendasar dari segi substansi. Baik norma hukum maupun norma moral, kedua sama-sama mengatur perilaku manusia.[22]
5.      Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan, pelanggar akan terkena hukuman. Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi di bidang moralitas hanya hati yang tidak tenang.
6.      Tujuan hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bernegara, sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia.
7.      Immanuel Kant berpendapat bahwa hukum termasuk dalam tatanan normatif lahiriah manusia, di luar motivasi batin. Moralitas hanya berkaitan dengan suara hati atau sikap batin manusia. Hukum mengikat secara moral kalau diyakini dalam hati.
Uraian Kant ini dapat dilengkapi dengan uraian A. Reinach (1883-1917) sebagai berikut:[23]
1.      Norma moral mengenai suara hati pribadi manusia, norma yuridis berlaku atas dasar suatu perjanjian.
2.      Hak-hak moral tidak pernah hilang dan tidak dapat pindah kepada orang lain, sedangkan hak yuridis dapat hilang dan berpindah (sesuai dengan perjanjian).
3.      Norma moral mengatur baik batin maupun hidup lahir, sedangkan norma hukum hanya mengatur kehidupan lahiriah saja (de internis praetor non iudicat).

D.  Urgensi Moral dan Hukum Dalam Islam
Di dalam Islam, moralitas yang berasal dari agama adalah bagian integral dari manusia. Manusia mungkin dapat menetapkan moralitasnya sendiri tanpa agama, tetapi dengan mudah ia akan menggunakannya untuk kepentingannya sendiri sehingga ukuran moral dapat berubah-ubah. Moralitas agama tidak demikian, ia berasal dari Tuhan, berhubungan dengan akal sehat, hati nurani dan keyakinan kepada Allah. Karena itu, integritas yang baik tidak mungkin diharapkan di luar agama.[24]
Ruang lingkup hukum Islam mencakup semua bentuk hubungan, baik kepada Tuhan maupun kepada manusia. Karena sumber, sifat dan tujuannya, hukum Islam secara ketat diikat oleh etika agama. Berdasarkan fungsi utama, hukum Islam mengklasifikasikan tindakan yang berkenaan dengan standar mutlak baik dan buruk yang tidak dapat ditentukan secara rasional, karena Tuhan sendirilah yang mengetahui apa yang benar-benar baik dan buruk.[25]
Dalam masyarakat Islam, hukum bukan hanya faktor utama tapi juga faktor pokok yang memberikannya bentuk. Masyarakat Islam secara ideal harus sesuai dengan kitab hukum, sehingga tidak ada perubahan sosial yang mengacaukan atau menimbulkan karakter tak bermoral dalam masyarakat. Hukum Islam harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip moralitas seperti yang dinyatakan oleh Islam. Hukum Islam memberikan ketentuan bahwa kaidah kesusilaan tidak boleh bertentangan dengan syarat-syarat yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dengan ini nyatalah bahwa hukum Islam menuju kepada kesusilaan yang lebih pasti isinya dan lebih tetap mutu dan haluannya, karena Islam tidak membiarkan semuanya hanya tergantung pada masyarakat dan manusia saja.[26]
Syariah Islam adalah kode hukum dan kode moral sekaligus. Ia merupakan pola yang luas tentang tingkah laku manusia yang berasal dari otoritas kehendak Allah yang tertinggi; sehingga garis pemisah antara hukum dan moralitas sama sekali tidak bisa ditarik secara jelas. Itulah sebabnya mengapa, misalnya, kepentingan dan signifikansi semacam itu melekat pada keputusan ulama.[27]
Contoh hukum Islam lain yang sangat mengutamakan moralitas adalah dalam hukum pidana Islam. Dalam hukum pidana Islam, terdapat ketentuan bahwa orang yang melakukan zina (hubungan seksual di luar nikah) diancam dengan dengan pidana cambuk seratus kali di depan umum (QS. 24:2). Zina menurut ajaran Islam dinilai sebagai perbuatan keji dan merupakan jalan terburuk yang ditempuh manusia beradab (QS.17:32). Makan riba dilarang karena merupakan kezaliman terhadap kaum lemah (QS.2:278-279). Kreditur supaya memberi kelonggaran waktu (tanpa memungut bunga) kepada debitur yang mengalami kesulitan untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang dijanjikan. Jika debitur sungguh-sungguh tidak mampu lagi untuk melunasi hutangnya, kreditur supaya menyedekahkannya (QS.2:280).[28] Hukum Islam melarang pedagang mengurangi hak pembeli, baik dalam takaran, timbangan maupun ukuran (QS:11:85). Hadis Nabi mengajarkan bahwa memperlambat membayar utang setelah jatuh tempo bagi debitur yang telah kuasa (mampu) merupakan kezaliman (HR. Bukhari-Muslim).[29]
Semua ketentuan dari al-Qur’an maupun hadis tersebut secara serta merta masuk menjadi materi dalam fiqh, yang juga sering disebut sebagai hukum Islam. Proses masuk itu berjalan dengan tanpa pertentangan di kalangan kaum muslimin, bahwa materi-materi moralitas memang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hukum Islam.
Tradisi pemikiran hukum dalam Islam selalu memandang hukum dalam cara pandang religius, yaitu bahwa hukum dipandang sebagai aspek integral dari agama. Bagi Muslim, agama adalah hukum Tuhan yang mengandung prinsip-prinsip moral yang universal. Agama ini juga mengandung detail tentang cara hidup manusia, bagaimana ia berhubungan dengan tetangga, bagaimana ia berhubungan denganTuhan, bagaimana ia makan, mengembangkan keturunan dan tidur. Juga bagaimana ia melakukan jual beli di pasar dan bagaimana pula ia melakukan peribadatan kepada Tuhannya. Hukum ini mengandung semua aspek kehidupan manusia dan terkandung di dalamnya bimbingan bagi Muslim untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dengan menunjukkan dari sudut pandang religius tindakan dan barangmana yang harus dilakukan (wajib), mana yang dianjurkan (mandub), mana yang terlarang (haram), mana yang kurang baik (makruh) dan mana yang tidak terlarang dan tidak dianjurkan (mubah).[30]
Dengan meletakkan norma-norma moralitas khusus, hukum Allah meletakkan aturan-aturan universal bagi perbuatan manusia. Karena ada ukuran yang asli pada moral Islam itulah, maka pergeseran dalam moral masyarakat Islam mempunyai lapangan yang sempit. Artinya, pertumbuhan yang menyimpangdari alur-alur yang semula dikira baik atau jelek kemudian melenceng sedemikian rupa sedikit sekali kemungkinannya.[31]


[1] Muchsin, Menggagas Etika & Moral di Tengah Modernitas, (Surabaya: CV. Adis, 2002), hlm.10.
[2] Ahmad Manshur Noor, Peranan Moral Dalam Membina Kesadaran Hukum, (Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam Depag RI, 1985), hlm.7.
[3] Amril M, Etika Islam Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan LSFK2P, 2002), hlm.83.
[4] Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Vol. III, (Kairo: Dar al Hadith, 1994), hlm. 86.
[5] Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Tintamas, 1974), hlm.80-81.
[6] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Jilid I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm.56.
[7] Satjipto Rahadjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 27-28. Lihat pula Ahmad Manshur Noor, Op.Cit., hlm.18.
[8] Rifyal Ka’bah, Menegakkan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), hlm.142.
[9] Ibid., hlm.143-144.
[10] Kurt Wilk, The Legal Philosophies of Lask, Radbruch,and Dabin, (Cambridge: Harvard University, 1950), hlm.73.
[11] Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.44.
[12] Ibid., hlm.139.
[13] Wayne Morrison, Jurisprudence: From The Greeks to Post-Modernisme, (London: Cavendish, 1998), hlm.67.
[14] Lon L. Fuller, The Morality of Law, (New Haven: Yale University Press, 1975), hlm.96.
[15] Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm.143.
[16] Ahmad Manshur Noor, Op.Cit., hlm.31.
[17] M. Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalists, (Lahore: Islamic Publication Ltd, 1980), hlm. 270.48.
[18] H.M Rasjidi, Keutamaan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm.18.
[19] M. Muslehuddin, Op.Cit., hlm.91.
[20] Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum Edisi Lengkap (Dari Klasik Ke Posmodernisme), (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011), hlm.271.
[21] K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia, 2000),  hlm.41.
[22] Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum, (Jakarta: Kanisius, 2009), hlm.153.
[23] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm.231-234.
[24] Rifyal Ka’bah, Op.Cit., hlm.146.
[25] Noel J. Coulson, Conflics and Tensions in Islamic Jurisprudence, (Chicago & London: The Universty of Chicago Press, 1969), hlm.81.
[26] Hazairin, Op.Cit., hlm.87. Lihat pula M. Muslehuddin, Op.Cit., hlm.71.
[27] Ibid, hlm.179-180.
[28] Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 137-138.
[29] Ismail Muhammad Syah, dkk., Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara dan DEPAG, 1992), hlm.163.
[30] Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (London: George Allen & Unwin Ltd., 1975), hlm.95-96.
[31] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.156.

3 komentar: