2.1.1 Pengertian Masalah
Masalah
penelitian adalah bagian pertama dari suatu kegiatan yang harus ditemukan
sebelum penelitian itu diteruskan. Oleh karena itu masalah penelitian memiliki
kedudukan yang sentral. Masalah (problem) berasal dari bahasa yunani yaitu “proballein”
yang artinya “maju ke depan”. Masalah penelitian adalah pertanyaan yang muncul
dalam pikiran peneliti tentang sesuatu gejala atau bagian dari gejala yang
belum diketahui jawabannya. Dalam penelitian, kata “masalah” tidak berarti
sesuatu yang harus dipecahkan, tetapi adalah suatu pertanyaan yang ingin
diketahui jawabannya. Oleh karena itu, penelitian terbatas pada usaha untuk
menemukan jawaban. Sedangkan usaha untuk memecahkan atau menyelesaikan masalah
itu, termasuk “implikasi” dari penelitian.[1]
Masalah adalah
kesenjangan (gap) antara das sollen dan das sein; ada perbedaan
antara apa yang seharusnya dengan apa yang ada dalam kenyataan, antara apa yang
diperlukan dan apa yang tersedia, antara harapan dan kenyataan.kesenjangan
(gap) antara harapan (das Sollen) dengan kenyataan (das Sein),
antara kebutuhan dengan yang tersedia, antara yang seharusnya dengan yang ada.
Penelitian diharapkan dapat memecahkan masalah atau setidak-tidaknya
memperkecil kesenjangan.[2]
Kesenjangan itulah yang menjadi inti masalah.
Masalah bisa bersifat konseptual-teoritis, maupun yang bersifat praktis
yaitu masalah-masalah yang ditemui dalam kegiatan manusia sehari-hari.
2.1.2 Menemukan Masalah Penelitian
Menemukan
masalah penelitian adalah suatu langkah awal dari suatu kegiatan penelitian.
Bagi orang-orang yang belum berpengalaman meneliti, menemukan masalah bukanlah
pekerjaan yang mudah dan bahkan boleh dikatakan sulit. Kemampuan menemukan
masalah ditentukan antara lain oleh kepekaan dan kesediaan menyeleksi dan
merasakan sesuatu yang dapat dimasukkan sebagai permasalahan dalam realitas
sehari-hari. Kepekaan dalam melihat masalah dan mampu mengembangkannya
merupakan syarat mutlak dalam penelitian. Seorang peneliti dapat menemukan
masalah penelitian yang berarti dan bermakna, sangat ditentukan oleh tingkat
kepekaan dalam menemukan dan memilih masalah. Kemampuan menyeleksi dan
merasakan sesuatu yang dapat dimasukkan sebagai permasalahan serta fenomena
alam yang ada juga sangat menentukan keberartian dan kebermaknaan dalam menemukan
dan memilih masalah.
Untuk dapat
menemukan permasalahan dengan cepat diperlukan persyaratan sebagai berikut:
1)
Peka, yaitu dapat menangkap
fenomena yang problematis. Kepekaan ini dipengaruhi oleh minat dan pengetahuan
atau keahlian. Minat dan pengetahuan atau keahlian itu dipengaruhi oleh
berbagai faktor, antara lain:
a)
Profesi. Profesi atau bidang
pekerjaan seseorang dapat menjadi sumber minat untuk melakukan penelitian.
Semakin sering seseorang terpapar dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan
profesinya, akan semakin mendorong orang tersebut berminat untuk
menyelesaikannya.
b)
Spesialisasi. Keahlian khusus
seseorang akan menyebabkan orang tersebut lebih peka tehadap masalah yang
berkaitan dengan keahliannya. Misalnya, seorang perawat spesialis jiwa, akan
lebih peka terhadap masalah-masalah kesehatan jiwa pasien yang dirawatnya.
c)
Akademis. Seseorang yang telah
mengalami program pendidikan yang lebih tinggi, biasanya telah mendalami
tentang salah satu disiplin ilmu pengetahuan. Dengan penguasaan ilmu ini, orang
tersebut cenderung lebih peka mengenali masalah dalam bidang keahliannya.
2)
Siap, yaitu tahu teori dan hasil
penelitian terdahulu.
3)
Tekun, yaitu mengikuti perkembangan
ilmu yang terkait.
2.1.3 Sumber-Sumber Menemukan Masalah Penelitian.
Untuk
menemukan suatu masalah tentu perlu mengenal dan mengetahui sumber-sumber
masalah agar secara cermat mendapatkan suatu masalah. Terdapat banyak sumber
menemukan masalah yang dapat dipilih menjadi tema kegiatan penelitian.
Sumber-sumber masalah penelitian diantaranya sebagai berikut:
1)
Pengamatan sekeliling, peristiwa
atau gejala sekeliling baik mengenai sumber daya alam maupun mengenai sumber
daya manusianya (masyarakatnya) merupakan masalah-masalah aktual yang sering
dan selalu muncul sebagai hasil interaksi hubungan manusia dengan manusia yang
lain atau antara manusia dengan alam sekitarnya.
2)
Hasil membaca, salah satu cara
mengenal masalah penelitian adalah melalui bahan bacaan. Oleh karena itu
peneliti perlu akrab dengan bahan-bahan bacaan.
3)
Mengikuti seminar, diskusi,
pertemuan ilmiah, pada setiap kegiatan seminar, diskusi, dan pertemuan ilmiah
akan diperoleh wawasan maupun gambaran peristiwa dan atau gejala dan sangat
mungkin akan memperoleh data yang mungkin menarik untuk diuji atau diteliti
secara lebih mendalam.
4)
Pemegang otoritas,
pernyataan-pernyataan (statement) para pemegang otoritas, sering menjadi
sumber masalah. Yang dimaksud dengan pemegang otoritas adalah orang atau
institusi yang secara umum diakui dan dipercaya masyarakat, memiliki kewenangan
atau kompetensi mengeluarkan suatu statement.
5)
Pengalaman orang lain, sering
mendengar cerita orang lain, baik melalui ceramah, dalam kursus, dalam kuliah,
diskusi dikelas, melalui media cetak, atau visual dapat pula merupakan narasumber
masalah penelitian.[3]
6)
Pengalaman pribadi, pengalaman
pribadi dapat memunculkan masalah yang memerlukan jawaban empiris untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam.[4]
7)
Perasaan intuitif, perasaan
intuitif dapat menjadi sumber masalah. Misalnya, masalah muncul ketika pagi
hari setelah bangun tidur atau habis istirahat. Selama tidur atau istirahat
terjadi konsolidasi atau pengendapan berbagai informasi berkaitan dengan
masalah.[5]
8)
Dedukasi dari suatu teori. Suatu
teori juga merupakan sumber masalah penelitian yang sangat baik dan menarik.
Dalam hubungan ini, bukan teori itu sendiri yang dimasalahkan dan diteliti,
melainkan masalah baru yang dimunculkan dari hasil dedukasi suatu teori, suatu
masalah baru yang dimunculkan sebagai konsekuensi logis atau kesimpulan
deduktif dari suatu teori.
9)
Laporan penelitian. Laporan
penelitian juga merupakan sumber berharga untuk menemukan masalah penelitian.
Dalam laporan suatu penelitian, setelah data dianalisis dan diinterprestasikan,
lazimnya diajukan persoalan-persoalan baru yang membutuhkan penelitian lebih
lanjut. Persoalan yang diajukan itu tentunya dapat dipilih sebagai masalah
penelitian. Disamping itu, dengan mendalami secara cermat laporan penelitian,
akan diketahui masalah yang diteliti beserta metodologi penelitian yang
digunakannya, dan sangat mungkin memberikan inspirasi lahirnya masalah-masalah
baru.
10)
Rujukan kebijakan, kebijakan
pemerintah, lembaga, atau organisasi, juga merupakan sumber penting untuk
menemukan masalah
penelitian.
11)
Sumber non ilmiah. Masalah juga
dapat ditemukan dari sumber-sumber non ilmiah, seperti radio, televisi.
Meskipun
masalah penelitian bisa diambil dari begitu banyak sumber, masalah tidak akan
dapat diperoleh tanpa kepekaan peneliti dalam mengidentifikasi masalah.
2.1.4
Identifikasi
Masalah
Identifikasi
masalah artinya suatu proses mencari dan menemukan masalah. Identifikasi
masalah merupakan tahap permulaan untuk menguasai masalah di mana suatu objek
dalam suatu jalinan situasi tertentu dapat dikenali sebagai suatu masalah.
Identifikasi masalah sering dilakukan dengan mengajukan sebuah pernyataan, yang
sifatnya membatasi ruang lingkup masalah.[6]
Dalam
penelitian hukum bahkan penelitian pada umumnya berlaku asas: “Bukan kuantitas
jawaban yang menentukan mutu penelitian, melainkan kualitas jawabannya.” Dengan
demikian, pembatasan masalah menjadi penting dalam penelitian, yaitu dengan
mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang termasuk ruang lingkup masalah.
Dalam pembatasan masalah ini perlu juga ditentukan di mana dan kapan penelitian
dilakukan.
Berikut ini contoh dalam bidang hukum keluarga (perceraian) bagaimana
cara mengidentifikasi masalah pembagian harta perkawinan akibat perceraian di
daerah Lampung, sehingga fokus masalah dan ruang lingkupnya menjadi jelas,
lokasi penelitian juga ditentukan.[7]
1)
Masih banyak terjadi perceraian di
daerah Lampung karena kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis, yang
menyebabkan pembagian harta bersama suami istri.
2)
Rendahnya tingkat pemahaman suami
istri terhadap ketentuan Undang-Undang Perkawinan dapat menimbulkan dampak
negatif dalam penguasaan, pemilikan, dan pembagian harta bersama akibat
perceraian.
3)
Kenyataan dalam masyarakat
menunjukkan bahwa yang paling dominan menguasai harta dalam perkawinan adalah
suami karena suami adalah kepala keluarga, yang akan berpengaruh terhadap
pembagian harta bersama dalam hal terjadi perceraian.
4)
Asas hukum agama yang menjadi dasar
Undang-Undang Perkawinan akan menimbulkan kecenderungan pada suami untuk
berpegang pada asas hukum agama daripada asas kesamaan hak (emansipasi) dalam
pembagian harta bersama akibat perceraian.
5)
Keadaan yang masih berpengaruh
dalam masyarakat mengenai pembagian harta bersama akibat perceraian adalah
sistem pembagian berdasarkan kesamaan hak dan ketidaksamaan hak akibat
berlakunya sistem hukum perkawinan yang berbeda dalam masyarakat, yaitu menurut
BW, hukum Islam, dan hukum adat.
2.1.5
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah dapat diartikan
sebagai suatu pernyataan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah
yang akan diteliti berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah.[8]
Sederhana tetapi cukup jelas, demikian idealnya suatu perumusan masalah,
sehingga mudah dimengerti dan tidak bertele-tele ataupun berlebihan. Perumusan
masalah sebaiknya disusun dengan kalimat tanya. Sebagai syarat lain, hendaknya
perumusan masalah dibuat sekhusus mungkin, dengan syarat masih tetap mencerminkan
adanya hubungan antara berbagai variabel. Dengan perumusan masalah yang jelas
akan didapat kesimpulan hasil penelitian yang baik dan tidak mengambang.[9]
Rumusan masalah yang jelas:
1)
Akan menghindari pengumpulan data
yang tidak perlu.
2)
Dapat menghemat biaya, waktu, dan
tenaga penelitian.
3)
Penelitian akan lebih terarah pada
tujuan yang ingin dicapai.[10]
Para ilmuan mengatakan:
“Masalah yang dirumuskan dengan baik dan jelas berarti setengah dari kegiatan
penelitian sudah selesai.”
Berdasarkan
pernyataan-pernyataan identifikasi sebelumnya, dapat dirumuskan masalah hukum
yang diteliti, yaitu: “Sistem pembagian manakah yang dianggap sesuai untuk
dijadikan dasar pembagian harta bersama akibat perceraian suami istri di daerah
Lampung?” Dalam rumusan masalah tersebut terdapat beberapa unsur yang termasuk
dalam lingkup masalah, yaitu:
1)
Perceraian suami istri (sebab)
2)
Pembagian harta bersama (akibat)
3)
Sistem pembagian yang dianggap
sesuai (instrumen)
4)
Daerah Lampung (lokasi penelitian).
2.2.1 Pengertian Hipotesa
Hipotesa
berasal dari dua kata yaitu hypo (belum tentu benar) dan tesis
(kesimpulan). Menurut Sekaran (2005), mendefinisikan hipotesis sebagai hubungan yang
diperkirakan secara logis di antara dua atau lebih variabel yang diungkap dalam
bentuk pernyataan yang dapat diuji. Hipotesis merupakan jawaban sementara atas pernyataan
penelitian. Dengan demikian, ada keterkaitan antara perumusan masalah dengan
hipotesis, karena perumusan masalah merupakan pertanyaan penelitian. Pertanyaan
ini harus dijawab pada hipotesis. Jawaban pada hipotesis ini didasarkan pada
teori dan empiris, yang telah dikaji pada kajian teori sebelumnya.
Kajian teori yang digunakan sebagai dasar penyusunan hipotesis dapat diukur
dan diamati dalam dunia maya. Maka, teori tersebut harus dijabarkan ke dalam bentuk yang dapat diamati
dan diukur melalui operasionalisasi, yaitu mengubah keabstrakan suatu teori
menjadi fenomena empiris atau berbentuk proposisi yang dapat diamati dan
diukur. Proposisi yang dapat diukur atau diamati adalah proposisi yang
menyatakan hubungan antar variabel. Proposisi seperti inilah yang disebut
sebagai hipotesis.
Jika teori merupakan pernyataan yang menunjukkan hubungan antar konsep
(pada tingkat abstrak atau teoritis), Hipotesis merupakan pernyataan yang
menunjukkan hubungan antar variabel
(dalam tingkat konkret atau empiris). Hipotesis menghubungkan teori dengan realitas
sehingga melalui hipotesis dimungkinkan dilakukan pengujian atas teori dan
bahkan membantu pelaksanaan pengumpulan data yang diperlukan untuk menjawab
permasalahan penelitian. Oleh sebab itu, hipotesis sering disebut juga sebagai
pernyataan tentang teori dalam bentuk yang dapat diuji (statement of theory
in testable form), atau kadang-kadang hipotesis didefinisikan sebagai
pernyataan tentatif tentang realitas (tentative statemaents about reality).[11]
2.2.2 Jenis Hipotesis
1. Hipotesis deskriptif.
Adalah
hipotesis yang hanya sekedar menggambarkan terjadinya suatu peristiwa.
2. Hipotesis argumentatif.
Adalah
hipotesis yang disusun untuk menjelaskan secara detail mengenai sebab-sebab
utama terjadinya suatu peristiwa.
3. Hipotesis kerja.
Adalah
hipotesis yang digunakan untuk menerka atau meramalkan akibat-akibat yang akan
terjadi bila variabel yang satu berubah.
4. Hipotesis nihil dan
hipotesis alternatif.
Adalah
hipotesis yang disusun untuk membuktikan benar tidaknya anggapan dasar melalui
statistik dan matematik, hipotesis nihil (Ho) digunakan untuk menyatakan
ketidak benaran atau tidak ada hubungan antara satu variabel dengan variabel
yang lain. Hipotesis adalah dugaan sementara, artinya dapat benar dan dapat
pula salah. Jika hipotesis terbukti benar maka harus diterima, tetapi jika
salah satu harus ditolak.[12]
2.2.3 Perumusan Hipotesa
Menemukan
suatu hipotesa memerlukan kemampuan si peneliti dalam mengaitkan
masalah-masalah dengan variabel-variabel yang dapat diukur dengan menggunakan
suatu kerangka analisa yang dibentuknya.
Ada beberapa
hal yang harus diperhatikan oleh si peneliti untuk menggali hipotesa:
1. Mempunyai banyak
informasi tentang masalah yang ingin dipecahkan dengan jalan banyak membaca
literatur-literatur yang ada hubungannya dengan penelitian yang sedang
dilaksanakan.
2. Mempunyai kemampuan untuk
memeriksa keterangan tempat-tempat, obyek-obyek serta hal-hal yang berhubungan
antara satu sama lain dalam fenomena yang sedang diselidiki.
3. Mempunyai kemampuan untuk
menghubungkan dengan suatu keadaan dengan keadaan yang lain yang sesuai dengan
keadaan teori ilmu dan bidang yang bersangkutan.
Perumusan
hipotesa dimulai dengan pembentukan kerangka analisa, dan kerangka analisa
biasa dinyatakan dengan model matematika, kemudian diuji dengan data empirik.
Dalam
memformulasikan atau merumuskan hipotesa, hubungan-hubungan berikut dapat
dijadikan model untuk memudahkan rumusan. Suatu hipotesa dapat menegaskan suatu
keadaan, dimana suatu obyek tertentu, seseorang, situasi, atau kejadian yang
memiliki ciri tertentu.[13]
Dalam
merumuskan hipotesa dari rumusan masalah yang diatas adalah:
Hipotesa
Sistem Pembagian
harta bersama (gono gini) yang dapat dilakukan oleh masyarakat daerah lampung yang diakibatkan perceraian yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, maka pembagian harta kekayaan di daerah
lampung yang diperoleh
baik dari pihak suami atau isteri menjadi hak bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan dan jika perkawinan putus, masing masing berhak
1/2 (seperdua) dari harta tersebut, karena selama perkawinan terdapat adanya
harta bersama.
2.2.4. Menguji Hipotesa
Untuk menguji
hipotesa diperlukan data atau fakta-fakta. Kerangka pengujian harus ditetapkan lebih dahulu sebelum peneliti
mengumpulkan data. Pengujian hipotesa memerlukan pengetahuan yang luas mengenai
teori, kerangka teori, penguasaan menggunakan teori secara logis, statistik dan
teknik-teknik pengujian. Cara pengujian hipotesa bergantung dri metode dan
desain penelitian yang digunakan.
Hal yang penting adalah hipotesa harus diuji, dan dievaluasikan. Apakah
hipotesa tersebut cocok dengan fakta atau dengan logika. Ilmuwan tidak akan
mengakui validitas ilmu pengetahuan jiwa validitas tidak diuji secara
menyeluruh. Satu kesalahan besar dilakukan apabila hipotesa dikatakan benar,
walaupun baik dalam memformulasikan hipotesa tersebut.
Secara umum hipotesa dapat diuji dengan dua cara yaitu: dengan cara
mencocokkan dengan fakta, atau dengan mempelajari konsistensi logis. Dalam
memenguji hipotesa dengan mencocokkan fakta maka diperlukan percobaan-percobaan
untuk memperoleh data. Data tersebut kemudian kita nilai untuk mengetahui
apakah hipotesa tersebut cocok dengan tersebut atau tidak. Dapat dikerjakan
dengan menggunakan desain percobaan.
Jika hipotesa diuji dengan konstensi logis, maka si peneliti memilih suatu
desain dimana logika dapat digunakan untuk menerima atau menolak hipotesa. Cara ini sering digunakan dalam menguji
hipotesa pada penelitian yang menggunakan metode non eksperimental seperti;
metode deskriptif, metode sejarah, dan sebagainya.[14]
[1]
Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 60.
[2]
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1998), 60-61.
[3]
Supardi, Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis, (Yogyakarta: UII
Pers, 2005), 49-53.
[4]
Purwanto, Metodologi Penelitian Kuantitatif (Untuk Psikologi Dan Pendidikan),
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 112.
[5]
Sumadi Suryabrata, op.cit., 63.
[6]
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2004), 61.
[7]
Ibid., 61-62.
[8]
Ibid, 62.
[9]
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,
1996), 26.
[10]
Abdulkadir Muhammad, op.cit., 62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar