7 Mar 2016

Penegakan Hukum Yang Profesional dan Bermartabat

2.1 Penegakan Hukum
Soerjono Soekanto mendefinisikan penegakan hukum sebagai kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup.[1]
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. membagi pengertian penegakan hukum dalam dua tinjauan.  Pertama, ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegak hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.[2]
Kedua, pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.[3]
Dalam menegakkan hukum ini ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.[4] Oleh karena itu Satjipto Rahardjo dalam bukunya “Masalah Penegakkan Hukum”, menyatakan bahwa penegakkan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakekat dari penegakkan hukum.[5]
Penegakan hukum harus memperhatikan kemanfaatan atau kegunaannya bagi masyarakat. Karenanya pelaksanaan dan penegakkan hukum harus memberi manfaat bagi masyarakat. Dan jangan sampai terjadi pelaksanaan dan penegakkan hukum merugikan masyarakat, yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan.
Penegakan hukum juga harus mencapai keadilan. Peraturan hukum tidak identik dengan keadilan. Karenanya peraturan hukum yang bersifat umum dan mengikat setiap orang, penerapannya harus mempertimbangkan berbagai fakta dan keadaan yang terdapat dalam setiap kasus. Dimana fakta-fakta tersebut harus dipertimbangkan oleh aparat negara penegak hukum, terutama oleh hakim yang menjatuhkan putusan. Jadi keadilan itu sifatnya kasuistis.
Satjipto Rahardjo menyatakan penegakan hukum sebagai proses sosial, yang bukan merupakan proses tertutup, melainkan proses yang melibatkan lingkungannya. Oleh karena itu, penegakan hukum akan bertukar aksi dengan lingkungannya, yang bisa disebut sebagai pertukaran aksi dengan unsur manusia, sosial, budaya, politik, dan sebagainya.[6]
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum sangat tergantung pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya, yaitu:
a.       Faktor hukumnya sendiri
b.      Faktor penegak hukum, pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum
c.       Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
d.      Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
e.       Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup[7]
Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegakan hukum.[8]

2.2 Penegak Hukum Yang Profesional dan Bermartabat
Aparat penegak hukum dalam pengertian luas merupakan institusi penegak hukum, sedangkan dalam arti sempit, aparat penegak hukum adalah polisi, jaksa, dan hakim. Dalam penyelenggaraan sistem peradilan diperlukan jajaran aparatur penegak hukum yang profesional, cakap, jujur, dan bijaksana. Para penegak hukum memiliki tanggung jawab menegakkan wibawa hukum dan menegakkan keadilan. Profesionalisme penegak hukum dapat dilihat dari tingkat penguasan ilmu hukum, keterampilan dan kepribadian para penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam bekerja.
Penegak hukum disebut profesional karena kemampuan berpikir dan bertindak melampaui hukum tertulis tanpa menciderai nilai keadilan. Dalam menegakkan keadilan, dituntut kemampuan penegak hukum mengkritisi hukum dan praktik hukum demi menemukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang profesional. Keahlian saja tidak cukup. Diperlukan keutamaan bersikap profesional: berani menegakkan keadilan. Konsistensi bertindak adil menciptakan kebiasaan bersikap adil. Keutamaan bersikap adil menjadi nyata tidak saja melalui perlakuan fair terhadap kepentingan masyarakat, tetapi juga lewat keberanian menjadi whistleblower saat terjadi salah praktik profesi. Seorang profesional seharusnya tidak mendiamkan tindakan tidak etis rekan seprofesi. Ini bagian dari pelaksanaan tugas yang tidak mudah, namun harus dilakukan karena kemampuan bersikap adil menuntut keberanian mempraktikkan, bukan sekadar mengetahui keadilan.[9]
Namun dalam praktiknya, masih banyak penegak hukum yang tidak profesional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Untuk dapat menjaga moralitas dan keprofesionalan kinerja dalam menegakkan hukum, para penegak hukum wajib mentaati kaidah-kaidah dan norma-norma yang ada.
Menurut O. Notohadimidjodjo, ada empat norma yang penting dalam penegakan hukum, yaitu:[10]
a. Kemanusiaan
Norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penegakan hukum, manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia, sebab ia memiliki keluhuran pribadi.
b. Keadilan
Keadilan adalah kehendak yang ajeg dan kekal untuk memberikan kepada orang lain apa saja yang menjadi haknya.
c. Kepatutan
Kepatutan atau equity adalah hal yang wajib dipelihara dalam pemberlakuan undang-undang dengan maksud untuk menghilangkan ketajamannya. Kepatutan ini perlu diperhatikan terutama dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat.
d. Kejujuran
Pemelihara hukum atau penegak hukum harus bersikap jujur dalam mengurus atau menangani hukum, serta dalam melayani justitiable yang berupaya untuk mencari hukum dan keadilan. Atau dengan kata lain, setiap ahli hukum diharapkan sedapat mungkin memelihara kejujuran dalam dirinya dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang curang dalam mengurus perkara.
Penegak hukum dalam kedudukannya sebagai profesi luhur, menuntut kejelasan dan kekuatan moral yang tinggi. Franz Magnis-Suseno dkk., menunjukkan ada tiga ciri kepribadian moral yang dituntut dari para penyandang atau pemegang profesi luhur ini, yaitu:[11]
a.    Berani berbuat dengan tekad untuk memenuhi tuntutan profesi.
b.    Sadar akan kewajiban yang harus dipenuhi selama menjalankan tugas profesionalnya.
c.    Memiliki idealisme sebagai perwujudan makna ‘mission statement’ masing-masing organisasi profesionalnya.
Artinya, setiap penegak hukum dalam kedudukan dan fungsinya masing-masing dituntut untuk bertindak dengan tekad dan semangat yang sesuai dengan cita-cita dan tuntutan profesinya. Integritas dan profesionalisme tidak dilahirkan secara instan, melainkan terbentuk dalam proses menjalankan tugas dan kewajibannya dalam sistem yang baik.
Profesional dengan martabat sangat erat sekali hubungannya, karena suatu martabat mengandung sifat dan karakter kemuliaan. Seorang profesional yang bermartabat adalah orang merasa mulia dan bangga dengan pekerjaan atau jabatannya. Atas dasar rasa mulia dan bangga tersebut, yang bersangkutan akan senantiasa menjaga dan menjunjung tinggi kehormatan pekerjaan atau jabatannya.[12]

2.3 Kode Etik Profesi Penegak Hukum
Profesionalisme aparat penegak hukum yang dipertanyakan sekarang ini disebabkan karena lunturnya makna sebuah kode etik profesi hukum yang seharusnya menjadi pedoman dalam berprofesi. Oleh kebanyakan penegak hukum, profesi penegak hukum direduksi menjadi sekadar pekerjaan guna mendapat materi. Pemahaman seperti itu mengabaikan dimensi pelayanan sebagai unsur esensial profesi itu. Para profesional penegak hukum lupa, profesi adalah peran sosial yang eksistensi dan fungsinya tergantung pelayanan yang fair atas kepentingan masyarakat.[13] Kode etik profesi memunculkan kesetiaan dan pengabdian pada pekerjaan dari profesi yang dijalani, berkaitan dengan profesionalitas dan kehormatan dirinya.
Pedoman perilaku yang bagi pemegang profesi terangkum dalam Kode Etika yang di dalamnya mengandung muatan etika, baik etika deskriptif, normatif, dan meta-etika.[14] Jadi kode etik berkaitan dengan profesi tertentu sehingga setiap profesi memiliki kode etiknya sendiri-sendiri tentang apa yang disepakati bersama seperti bagaimana harus bersikap dalam hal-hal tertentu dan hubungan dengan rekan sejawat.
Aparat penegak hukum memiliki kode etik dalam menjalankan profesinya. Hakim, Jaksa, dan Polisi tidak dapat seenaknya menjalankan tugas dan wewenang tanpa pedoman perilaku dalam berprofesi. Jika diamati, ketentuan dalam Kode Etik Profesi masing-masing aparat penegak hukum mewajibkan agar setiap tugas dan wewenang dijalankan sesuai dengan jalur hukum dan tidak ada penyalahgunaan wewenang.
Dalam mengemban tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban nasional, tiap-tiap anggota Polri harus menjalankannya dengan berlandas pada ketentuan berperilaku petugas penegak hukum (code of conduct) dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Standar-standar dalam code of conduct dapat dijadikan sarana untuk menentukan apakah telah terjadi malpraktik profesional atau tidak. Dapat dikatakan telah terjadi malpraktik apabila seorang profesional dalam menjalankan tugas dan kewajibannya telah melakukan tindakan yang tidak profesional di bawah standar atau sub-standar profesinya, menimbulkan kerugian (damage) terhadap orang lain sebagai akibat perbuatannya.[15] Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ditegaskan bahwa:
“Pembinaan kemampuan profesi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilaksanakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalaman penugasan secara berjenjang, berlanjut, dan terpadu.”
“Peningkatan dan pengembangan pengetahuan dapat dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan, baik di dalam maupun di luar lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, di lembaga pendidikan di dalam atau di luar negeri, serta berbagai bentuk pelatihan lainnya sepanjang untuk meningkatkan profesionalisme”
Kemudian dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan bahwa:
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.”
Di bagian penjelasan umum juga disebutkan bahwa untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh berbagai jenjang pendidikan dan pengalaman dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang. Sudah jelas amanah dari Undang-Undang ini terhadap profesi jaksa dalam penegakan hukum di Indonesia.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa:
Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.”
Semua aturan tersebut menegaskan bahwa masing-masing aparat penegak hukum harus mengemban tugas dan wewenang dengan penuh tanggung jawab dan berintegritas tinggi.
Advokat di dalam melaksanakan tugasnya perlu adanya integrasi, karakteristik yang kuat dan tentunya berkualitas serta berintelektual yang tinggi. Sebagaimana dikatakan oleh Robert F. Kennedy: ourage in the most important atribute of a lawyer. Litis more important than important competence or vision. It can never be the limited, dated or ourwom and it should pervade the hearth, the halls of justice, and the camber of the mind.” (Keteguhan hati adalah atribut yang teramat sangat penting bagi seorang Advokat . Ia adalah lebih penting ketimbang kecakapan atau visi. ia tidak dapat dibatasi, tidak dapat untuk tidak diberlakukan, atau tidak dapat usang, dan ia akan merembesi jantung dan merembesi lorong-lorong keadilan dan ruang-ruang keadilan).[16]
Dalam membela kliennya, advokat harus tetap menghormati hukum. Jadi advokat tidak boleh melanggar hukum, sehingga apabila kliennya menawarkan menggunakan keterangan atau kesaksian palsu dalam rangka pembelaan, advokat harus menolaknya.



[1] Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 1983), 3.
[2] Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum.
[3] Ibid.
[4] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1986), 130.
[5] Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakkan Hukum, (Bandung: Sinar Baru, tt), 15.
[6] Ibid., 14.
[7] Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), 5.
[8] Ibid., 5-6.
[9] Andre Ata Ujan, "Quo Vadis" Profesionalisme Hukum? Artikel Kompas, 12 Agustus 2005.
[10] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum (Norma-Norma Bagi Penegak Hukum), (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 115.
[11] Ibid., 165.
[13] Frans H. Winarta, Membangun Profesionalisme Aparat Penegak Hukum, Jakarta, 28 Mei 2012.
[14] K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 11-15.
[15] Mardjono Reksodiputro, “Reformasi Hukum di Indonesia”, Seminar Hukum Nasional Ke VII, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, 1999, hal. 73-87.
[16] Fauzie Yusuf Hasibuan, Hukum dan Dunia Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Fauzie & Partners, 2007), 39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar