2.1 Penegakan Hukum
Soerjono Soekanto mendefinisikan
penegakan hukum sebagai kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan
mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangkaian penjabaran nilai
tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup.[1]
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.
membagi pengertian penegakan hukum dalam dua tinjauan. Pertama, ditinjau dari sudut
subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat
pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang
terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua
subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif
atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada
norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan
hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya
diartikan sebagai upaya aparatur penegak hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam
memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.[2]
Kedua, pengertian penegakan hukum
itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam
hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti
luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di
dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan
peraturan yang formal dan tertulis saja.[3]
Dalam menegakkan hukum ini ada tiga
hal yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.[4]
Oleh karena itu Satjipto Rahardjo dalam bukunya “Masalah Penegakkan Hukum”,
menyatakan bahwa penegakkan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan
ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi
kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakekat dari
penegakkan hukum.[5]
Penegakan hukum harus memperhatikan
kemanfaatan atau kegunaannya bagi masyarakat. Karenanya pelaksanaan dan
penegakkan hukum harus memberi manfaat bagi masyarakat. Dan jangan sampai
terjadi pelaksanaan dan penegakkan hukum merugikan masyarakat, yang pada
akhirnya akan menimbulkan keresahan.
Penegakan hukum juga harus mencapai
keadilan. Peraturan hukum tidak identik dengan keadilan. Karenanya peraturan
hukum yang bersifat umum dan mengikat setiap orang, penerapannya harus
mempertimbangkan berbagai fakta dan keadaan yang terdapat dalam setiap kasus.
Dimana fakta-fakta tersebut harus dipertimbangkan oleh aparat negara penegak
hukum, terutama oleh hakim yang menjatuhkan putusan. Jadi keadilan itu sifatnya
kasuistis.
Satjipto Rahardjo menyatakan
penegakan hukum sebagai proses sosial, yang bukan merupakan proses tertutup,
melainkan proses yang melibatkan lingkungannya. Oleh karena itu, penegakan
hukum akan bertukar aksi dengan lingkungannya, yang bisa disebut sebagai
pertukaran aksi dengan unsur manusia, sosial, budaya, politik, dan sebagainya.[6]
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan
hukum sangat tergantung pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya, yaitu:
a.
Faktor hukumnya sendiri
b.
Faktor penegak hukum, pihak-pihak
yang membentuk maupun menerapkan hukum
c.
Faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum
d.
Faktor masyarakat, yakni lingkungan
di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
e.
Faktor kebudayaan, yakni hasil
karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan
hidup[7]
Kelima faktor
tersebut di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi
dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegakan
hukum.[8]
2.2 Penegak
Hukum Yang Profesional dan Bermartabat
Aparat penegak hukum dalam
pengertian luas merupakan institusi penegak hukum, sedangkan dalam arti sempit,
aparat penegak hukum adalah polisi, jaksa, dan hakim. Dalam penyelenggaraan
sistem peradilan diperlukan jajaran aparatur penegak hukum yang profesional,
cakap, jujur, dan bijaksana. Para penegak hukum memiliki tanggung jawab menegakkan
wibawa hukum dan menegakkan keadilan. Profesionalisme penegak hukum dapat dilihat
dari tingkat penguasan ilmu hukum, keterampilan dan kepribadian para penegak
hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam bekerja.
Penegak hukum disebut profesional
karena kemampuan berpikir dan bertindak melampaui hukum tertulis tanpa
menciderai nilai keadilan. Dalam menegakkan keadilan, dituntut kemampuan
penegak hukum mengkritisi hukum dan praktik hukum demi menemukan apa yang seharusnya
dilakukan sebagai seorang profesional. Keahlian saja tidak cukup. Diperlukan
keutamaan bersikap profesional: berani menegakkan keadilan. Konsistensi
bertindak adil menciptakan kebiasaan bersikap adil. Keutamaan bersikap adil
menjadi nyata tidak saja melalui perlakuan fair terhadap kepentingan
masyarakat, tetapi juga lewat keberanian menjadi whistleblower saat
terjadi salah praktik profesi. Seorang profesional seharusnya tidak mendiamkan
tindakan tidak etis rekan seprofesi. Ini bagian dari pelaksanaan tugas yang
tidak mudah, namun harus dilakukan karena kemampuan bersikap adil menuntut
keberanian mempraktikkan, bukan sekadar mengetahui keadilan.[9]
Namun dalam praktiknya, masih
banyak penegak hukum yang tidak profesional dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya. Untuk dapat menjaga moralitas dan keprofesionalan kinerja dalam menegakkan
hukum, para penegak hukum wajib mentaati kaidah-kaidah dan norma-norma yang ada.
Menurut O.
Notohadimidjodjo, ada empat norma yang penting dalam penegakan hukum, yaitu:[10]
a. Kemanusiaan
Norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penegakan hukum, manusia senantiasa
diperlakukan sebagai manusia, sebab ia memiliki keluhuran pribadi.
b. Keadilan
Keadilan adalah kehendak yang ajeg dan kekal untuk memberikan
kepada orang lain apa saja yang menjadi haknya.
c. Kepatutan
Kepatutan atau equity adalah hal yang wajib dipelihara dalam
pemberlakuan undang-undang dengan maksud untuk menghilangkan ketajamannya.
Kepatutan ini perlu diperhatikan terutama dalam pergaulan hidup manusia dalam
masyarakat.
d. Kejujuran
Pemelihara hukum atau penegak hukum harus bersikap jujur dalam
mengurus atau menangani hukum, serta dalam melayani justitiable yang berupaya
untuk mencari hukum dan keadilan. Atau dengan kata lain, setiap ahli hukum
diharapkan sedapat mungkin memelihara kejujuran dalam dirinya dan menjauhkan
diri dari perbuatan-perbuatan yang curang dalam mengurus perkara.
Penegak hukum
dalam kedudukannya sebagai profesi luhur, menuntut kejelasan dan kekuatan moral
yang tinggi. Franz Magnis-Suseno dkk., menunjukkan ada tiga ciri kepribadian
moral yang dituntut dari para penyandang atau pemegang profesi luhur ini, yaitu:[11]
a.
Berani berbuat dengan tekad untuk
memenuhi tuntutan profesi.
b.
Sadar akan kewajiban yang harus
dipenuhi selama menjalankan tugas profesionalnya.
c.
Memiliki idealisme sebagai
perwujudan makna ‘mission statement’ masing-masing organisasi
profesionalnya.
Artinya,
setiap penegak hukum dalam kedudukan dan fungsinya masing-masing dituntut untuk
bertindak dengan tekad dan semangat yang sesuai dengan cita-cita dan tuntutan
profesinya. Integritas dan profesionalisme tidak dilahirkan secara instan,
melainkan terbentuk dalam proses menjalankan tugas dan kewajibannya dalam
sistem yang baik.
Profesional dengan martabat sangat
erat sekali hubungannya, karena suatu martabat mengandung sifat dan karakter
kemuliaan. Seorang profesional yang bermartabat adalah orang merasa mulia dan
bangga dengan pekerjaan atau jabatannya. Atas dasar rasa mulia dan bangga
tersebut, yang bersangkutan akan senantiasa menjaga dan menjunjung tinggi
kehormatan pekerjaan atau jabatannya.[12]
2.3 Kode Etik
Profesi Penegak Hukum
Profesionalisme aparat penegak
hukum yang dipertanyakan sekarang ini disebabkan karena lunturnya makna sebuah
kode etik profesi hukum yang seharusnya menjadi pedoman dalam berprofesi. Oleh
kebanyakan penegak hukum, profesi penegak hukum direduksi menjadi sekadar
pekerjaan guna mendapat materi. Pemahaman seperti itu mengabaikan dimensi
pelayanan sebagai unsur esensial profesi itu. Para profesional penegak hukum
lupa, profesi adalah peran sosial yang eksistensi dan fungsinya tergantung
pelayanan yang fair atas kepentingan masyarakat.[13]
Kode etik profesi memunculkan kesetiaan dan pengabdian pada pekerjaan dari
profesi yang dijalani, berkaitan dengan profesionalitas dan kehormatan dirinya.
Pedoman perilaku yang bagi pemegang
profesi terangkum dalam Kode Etika yang di dalamnya mengandung muatan etika,
baik etika deskriptif, normatif, dan meta-etika.[14]
Jadi kode etik berkaitan dengan profesi tertentu sehingga setiap profesi
memiliki kode etiknya sendiri-sendiri tentang apa yang disepakati bersama
seperti bagaimana harus bersikap dalam hal-hal tertentu dan hubungan dengan
rekan sejawat.
Aparat penegak hukum memiliki kode
etik dalam menjalankan profesinya. Hakim, Jaksa, dan Polisi tidak dapat
seenaknya menjalankan tugas dan wewenang tanpa pedoman perilaku dalam berprofesi.
Jika diamati, ketentuan dalam Kode Etik Profesi masing-masing aparat penegak
hukum mewajibkan agar setiap tugas dan wewenang dijalankan sesuai dengan jalur
hukum dan tidak ada penyalahgunaan wewenang.
Dalam mengemban tugas pemeliharaan
keamanan dan ketertiban nasional, tiap-tiap anggota Polri harus menjalankannya
dengan berlandas pada ketentuan berperilaku petugas penegak hukum (code of
conduct) dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Standar-standar dalam
code of conduct dapat dijadikan sarana untuk menentukan apakah telah terjadi
malpraktik profesional atau tidak. Dapat dikatakan telah terjadi malpraktik
apabila seorang profesional dalam menjalankan tugas dan kewajibannya telah
melakukan tindakan yang tidak profesional di bawah standar atau sub-standar
profesinya, menimbulkan kerugian (damage) terhadap orang lain sebagai
akibat perbuatannya.[15]
Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia ditegaskan bahwa:
“Pembinaan
kemampuan profesi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilaksanakan
melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalaman
penugasan secara berjenjang, berlanjut, dan terpadu.”
“Peningkatan
dan pengembangan pengetahuan dapat dilaksanakan melalui pendidikan dan
pelatihan, baik di dalam maupun di luar lingkungan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, di lembaga pendidikan di dalam atau di luar negeri, serta berbagai
bentuk pelatihan lainnya sepanjang untuk meningkatkan profesionalisme”
Kemudian dalam Pasal 8 ayat (4)
Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan
bahwa:
“Dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan
norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta
senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.”
Di bagian penjelasan umum juga
disebutkan bahwa untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh berbagai
jenjang pendidikan dan pengalaman dalam menjalankan fungsi, tugas, dan
wewenang. Sudah jelas amanah dari Undang-Undang ini terhadap profesi jaksa
dalam penegakan hukum di Indonesia.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No.
48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa:
“Hakim dan
hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.”
Semua aturan tersebut menegaskan
bahwa masing-masing aparat penegak hukum harus mengemban tugas dan wewenang
dengan penuh tanggung jawab dan berintegritas tinggi.
Advokat di dalam melaksanakan
tugasnya perlu adanya integrasi, karakteristik yang kuat dan tentunya berkualitas
serta berintelektual yang tinggi. Sebagaimana dikatakan oleh Robert F. Kennedy:
ourage in the most important atribute of a lawyer. Litis more important than
important competence or vision. It can never be the limited, dated or ourwom
and it should pervade the hearth, the halls of justice, and the camber of the
mind.” (Keteguhan hati adalah atribut yang teramat sangat penting bagi
seorang Advokat . Ia adalah lebih penting ketimbang kecakapan atau visi. ia
tidak dapat dibatasi, tidak dapat untuk tidak diberlakukan, atau tidak dapat
usang, dan ia akan merembesi jantung dan merembesi lorong-lorong keadilan dan
ruang-ruang keadilan).[16]
Dalam membela kliennya, advokat
harus tetap menghormati hukum. Jadi advokat tidak boleh melanggar hukum,
sehingga apabila kliennya menawarkan menggunakan keterangan atau kesaksian
palsu dalam rangka pembelaan, advokat harus menolaknya.
[1]
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di
Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 1983), 3.
[2]
Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum.
[3]
Ibid.
[4]
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1986), 130.
[5]
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakkan Hukum, (Bandung: Sinar Baru, tt),
15.
[6]
Ibid., 14.
[7]
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), 5.
[8]
Ibid., 5-6.
[9]
Andre Ata Ujan, "Quo Vadis" Profesionalisme Hukum? Artikel
Kompas, 12 Agustus 2005.
[10]
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum (Norma-Norma Bagi Penegak Hukum),
(Yogyakarta: Kanisius, 1995), 115.
[11]
Ibid., 165.
[13]
Frans H. Winarta, Membangun Profesionalisme Aparat Penegak Hukum, Jakarta,
28 Mei 2012.
[14]
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 11-15.
[15]
Mardjono Reksodiputro, “Reformasi Hukum di Indonesia”, Seminar Hukum
Nasional Ke VII, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM, 1999, hal. 73-87.
[16]
Fauzie Yusuf Hasibuan, Hukum dan Dunia Peradilan di Indonesia, (Jakarta:
Fauzie & Partners, 2007), 39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar