2.1 ASI Dalam Al-Quran
Alquran telah
menegaskan keharusan seorang ibu untuk menyusui anaknya. Allah telah berfirman:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ
حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ
نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ
لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن
تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن
تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ
آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka
tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah (2): 233).[1]
Dari ayat di atas dapat dipahami
keharusan seorang ibu menyusui anaknya. Kaum perempuan, baik yang masih
berfungsi sebagai istri maupun yang dalam keadaan tertalak diwajibkan untuk
menyusui anaknya selama dua tahun penuh dan tidak lebih dari itu, tetapi
diperbolehkan kurang dari masa itu apabila kedua orang tua memandang adanya
kemaslahatan.[2]
2.2 Pengertian
Bank ASI
Idealnya
bayi menyusu dari ibunya sendiri, namun tidak semua ibu beruntung bisa
memberikan ASI ekslusifnya pada bayi mereka. Ada beberapa penyebab mengapa ibu
tidak bisa memberikan ASI untuk bayinya sendiri, antara lain:
a.
Kelahiran
prematur, sehingga suplai ASI belum memadai untuk kebutuhan si bayi. Stres ibu
yang melahirkan bayi prematur juga menyebabkan ASI tidak keluar.
b.
Ibu
yang melahirkan bayi kembar dua atau tiga. Suplai ASInya tidak mencukupi
kebutuhan si bayi kembar ini.
c.
Jika
ibu menderita penyakit yang mengharuskan minum obat tertentu dan membahayakan
kesehatan bayi, misalnya obat kemoterapi.
d.
Ibu
menderita penyakit menular seperti Hepatitis atau HIV Aids.
e.
Mungkin
ibu mengalami masalah kesehatan serius yang menyebabkan ASInya sama sekali tak
dapat keluar.[3]
Bank
ASI merupakan tempat penyimpanan dan penyalur ASI dari donor ASI yang kemudian
akan diberikan kepada ibu-ibu yang tidak bisa memberikan ASI sendiri ke
bayinya. Ibu yang sehat dan memiliki kelebihan produksi ASI bisa menjadi
pendonor ASI. ASI biasanya disimpan di dalam plastik atau wadah, yang
didinginkan dalam lemari es agar tidak tercemar oleh bakteri. Kesulitan para
ibu memberikan ASI untuk anaknya menjadi salah satu pertimbangan mengapa bank ASI
perlu didirikan, terutama di saat krisis seperti pada saat bencana yang sering
membuat ibu-ibu menyusui stres dan tidak bisa memberikan ASI pada anaknya.[4]
Semua
ibu donor diskrining dengan hati-hati. Ibu donor harus memenuhi syarat, yaitu
non-perokok, tidak minum obat dan alkohol, dalam kesehatan yang baik dan
memiliki kelebihan ASI. Selain itu, ibu donor harus memiliki tes darah negatif
untuk Hepatitis B dan C, HIV 1 dan 2, serta HTLV 1 dan 2, memiliki kekebalan
terhadap rubella dan sifilis negatif. Juga tidak memiliki riwayat penyakit TBC
aktif, herpes atau kondisi kesehatan kronis lain seperti multiple sclerosis
atau riwayat kanker. Berapa lama ASI dapat bertahan sesuai dengan suhu
ruangannya:
a.
Suhu
19-25 derajat celsius ASI dapat tahan 4-8 jam.
b.
Suhu
0-4 derajat celsius ASI tahan 1-2 hari
Negara-negara yang sudah memiliki Bank ASI: AS,
Australia, Brazil, Bulgaria, The Czech Republic, Denmark, Finland, Kanada,
Prancis, Jerman, Yunani, India, Inggris, Jepang, Norway, Swedia, dan Switzerland.[6]
2.3 Hukum Mendirikan Bank ASI
Para
ulama kontemporer memandang dari beberapa sudut pandang yang berlainan terhadap
adanya Bank Air Susu Ibu, sehingga yang kita temui dari fatwa mereka pun saling
berbeda. Sebagian mendukung adanya bank air susu tapi yang lainnya malah tidak
setuju.
a.
Pendapat
Yang Membolehkan
Ulama besar semacam Dr.
Yusuf Al-Qardhawi tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya semacam "bank
susu." Asalkan bertujuan untuk mewujudkan maslahat syar'iyah yang kuat dan
untuk memenuhi keperluan yang wajib dipenuhi.[7]
Beliau cenderung
mengatakan bahwa bank air susu ibu bertujuan baik dan mulia, didukung oleh
Islam untuk memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab
kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang baru
dilahirkan yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.[8]
Beliau juga mengatakan
bahwa para wanita yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan
anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah, dan terpuji di sisi
manusia. Bahkan sebenarnya wanita itu boleh menjual air susunya, bukan sekedar menyumbangkannya.
Sebab di masa nabi, para wanita yang menyusui bayi melakukannya karena faktor
mata pencaharian. Sehingga hukumnya memang diperbolehkan untuk menjual air
susu.[9]
Bahkan Al-Qardhawi
memandang bahwa institusi yang bergerak dalam bidang pengumpulan ‘air susu’ itu
yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dinikmati oleh bayi-bayi atau
anak-anak patut mendapatkan ucapan terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh
pahala.[10]
Selain Al-Qardhawi, yang
menghalalkan bank susu adalah Al-Ustadz Asy-Syeikh Ahmad Ash-Shirbasi, ulama besar
Al-Azhar Mesir. Beliau menyatakan bahwa hubungan mahram yang diakibatkan karena
penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki
dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki.[11]
Bila tidak ada saksi atas
penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara
ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut.[12]
b.
Pendapat
Yang Menolak
Di antara ulama kontemporer yang tidak membenarkan adanya bank air susu
adalah Dr. Wahbah Az-Zuhayli dan juga Majma' Fiqih Islami. Dalam kitab Fatawa
Mua'sirah, beliau menyebutkan bahwa mewujudkan institusi bank susu tidak
dibolehkan dari segi syariah.[13]
Demikian
juga dengan Majma' Fiqih Al-Islami melalui Badan Muktamar Islam yang diadakan
di Jeddah pada tanggal 22 – 28 Disember 1985/ 10 – 16 Rabiul Akhir 1406. Lembaga
ini dalam keputusannya (qarar) menentang keberadaan bank air susu ibu di
seluruh negara Islam serta mengharamkan pengambilan susu dari bank tersebut.[14]
2.4
Perdebatan Dari Segi Dalil
Ternyata perbedaan pendapat dari dua kelompok ulama ini
terjadi di seputar syarat dari penyusuan yang mengakibatkan kemahraman.
Setidaknya ada dua syarat penyusuan yang diperdebatkan. Pertama, apakah disyaratkan
terjadinya penghisapan atas puting susu ibu?. Kedua, apakah harus ada saksi
penyusuan?.
a. Haruskah
Lewat Menghisap Puting Susu?
Makna
radha’ (penyusuan) yang menjadi acuan syara’ dalam menetapkan
pengharaman (perkawinan), menurut jumhur fuqaha (termasuk tiga orang Imam
mazhab, yakni Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i), ialah segala sesuatu
yang sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya, dengan cara
menghisap atau lainnya, seperti dengan al-wajur, yaitu menuangkan air
susu lewat mulut ke kerongkongan, bahkan mereka juga menyamakan pula dengan as-sa’uth,
yaitu menuangkan air susu ke hidung (lantas ke kerongkongan), dan ada pula
yang berlebihan dengan menyamakannya dengan suntikan sekalipun melalui dubur.[15]
Tetapi
semua itu ditentang oleh Imam al-Laits bin Sa'ad, yang hidup sezaman dengan
Imam Malik dan sebanding (ilmunya) dengan beliau. Begitu pula golongan
Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.[16]
Al-Allamah
Ibnu Qudamah menyebutkan dua riwayat dari Imam Ahmad mengenai al-wajur dan
as-sa’uth.
1) Riwayat
pertama, lebih dikenal sebagai riwayat dari Imam Ahmad dan sesuai dengan jumhur
ulama, bahwa pengharaman itu terjadi melalui keduanya (yakni dengan
memasukkan susu ke dalam perut baik lewat mulut maupun lewat
hidung). Adapun yang melalui mulut (al-wajur), karena hal itu
menumbuhkan daging dan membentuk tulang, maka sama saja dengan menyusu.
Sedangkan yang melalui hidung (as-sa’uth), karena merupakan jalan yang
dapat membatalkan puasa, maka ia juga menjadi jalan terjadinya pengharaman
(perkawinan) karena susuan, sebagaimana halnya melalui mulut.
2) Riwayat
kedua, bahwa hal tersebut tidak menyebabkan haramnya perkawinan, karena kedua
cara ini bukan penyusuan.[17]
Disebutkan di
dalam al-Mughni "Ini
adalah pendapat yang dipilih
Abu Bakar, mazhab
Daud, dan perkataan
Atha' al-Khurasani mengenai sa'uth, karena yang demikian ini
bukan penyusuan, sedangkan Allah
dan Rasul-Nya hanya mengharamkan (perkawinan) karena penyusuan. Karena memasukkan susu
lewat hidung bukan penyusuan (menghisap puting susu), maka ia
sama saja dengan memasukkan susu melalui luka pada tubuh."[18]
Sementara
pengarang kitab Al-Mughni sendiri menguatkan riwayat yang pertama
berdasarkan hadis Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
لاَرَضَاعَ اِلاَّمَاانْشَزَالْعُظْمَ وَانْبَتَ
ا للَّحْمَ
Selanjutnya pengarang
al-Mughni berkata, "Karena dengan cara ini air susu dapat sampai ke
tempat yang sama --jika dilakukan melalui
penyusuan-- serta dapat
mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging sebagaimana melalui
penyusuan, maka hal itu wajib
disamakan dengan penyusuan
dalam mengharamkan (perkawinan). Karena
hal itu juga
merupakan jalan yang membatalkan puasa
bagi orang yang
berpuasa, maka ia juga merupakan jalan
untuk mengharamkan perkawinan
sebagaimana halnya penyusuan dengan mulut."[20]
Bagi
mereka yang mengharamkan bank susu, tidak ada kriteria menyusu harus dengan
proses bayi menghisap puting susu. Justru yang menjadi kriteria adalah meminumnya,
bukan cara meminumnya.
Kalangan
yang membolehkan bank susu mengatakan bahwa bayi yang diberi minum air susu
dari bank susu, tidak akan menjadi mahram bagi para wanita yang air susunya ada
di bank itu. Sebab kalau sekedar hanya minum air susu, tidak terjadi penyusuan.
Sebab yang namanya penyusuan harus lewat penghisapan puting susu ibu.
Mereka
berdalil dengan fatwa Ibnu Hazm, dimana beliau mengatakan bahwa sifat penyusuan
haruslah dengan cara menghisap puting susu wanita yang menyusui dengan mulutnya.
Dalam
fatwanya, Ibnu Hazm mengatakan bahwa bayi yang diberi minum susu seorang wanita
dengan menggunakan botol atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya,
atau dimakan bersama roti atau dicampur dengan makanan lain, dituangkan ke
dalam mulut, hidung, atau telinganya, atau dengan suntikan, maka yang demikian itu
sama sekali tidak mengakibatkan kemahraman.[21]
Menurut
Ibnu Hazm, proses memasukkan puting susu wanita di dalam mulut bayi harus
terjadi sebagai syarat dari penyusuan.[22]
Dr.
Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fatwa-Fatwa Kontemporer berkata, kalau ‘illat-nya
adalah karena mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging dengan cara apapun,
maka wajib kita katakana sekarang bahwa mentranfusikan darah seorang wanita
kepada seorang anak menjadikan wanita tersebut haram kawin dengan anak itu,
sebab tranfusi darah melalui pembuluh darah ini lebih cepat dan lebih kuat
pengaruhnya daripada susu.[23] Menurutnya, Pembuat
Syariat menjadikan asas pengharamannya itu pada “keibuan yang menyusukan”
sebagaimana firman-Nya:
وَأُمَّهَاتُكُمُ
اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu
sepersusuan. (an-Nisa’
(4): 23)
Adapun
“keibuan” yang ditegaskan Alquran itu tidak terbentuk semata-mata diambilkan
air susunya, tetapi karena menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga
melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini
maka muncullah persaudaraan sepersusuan. Jadi keibuan ini merupakan asal
(pokok), sedangkan yang lain itu mengikutinya.[24]
Dengan
demikian, kita wajib berhenti pada lafal-lafal yang dipergunakan Syari' di
sini. Sedangkan lafal-lafal yang dipergunakan-Nya itu seluruhnya membicarakan
irdha' dan radha'ah (penyusuan), dan makna lafal ini menurut bahasa Al-Qur'an
dan As-Sunnah sangat jelas dan terang, yaitu memasukkan tetek ke mulut dan menghisapnya,
bukan sekadar memberi minum susu dengan cara apa pun.[25]
Maka dalam
hal ini Allah dan Rasul-Nya tidak mengharamkan nikah kecuali karena irdha'
(menyusui), kecuali jika wanita itu meletakkan susunya ke dalam mulut yang
menyusu. Dikatakan (dalam qiyas ishtilahi): ardha'athu-turdhi'uhu-irdha'an,
yang berarti menyusui. Tidaklah dinamakan radha'ah dan radha'/ridha (menyusu)
kecuali jika anak yang menyusu itu mengambil tetek wanita yang menyusuinya
dengan mulutnya, lalu menghisapnya. Dikatakan (dalam qiyas ishtilahi, dalam
ilmu sharaf): radha'a - yardha'u/yardhi'u radha'an/ridha'an wa
radha'atan/ridha'atan. Adapun selain cara seperti itu, sebagaimana yang disebutkan di atas, maka sama sekali tidak
dinamakan irdha', radha'ah, dan radha', melainkan hanya air
susu, makanan, minuman, minum, makan, menelan, suntikan, menuangkan ke hidung, dan
meneteskan, sedangkan Allah Azza wa Jalla tidak mengharamkan perkawinan sama
sekali yang disebabkan hal-hal seperti ini.[26]
Abu
Muhammad berkata, Orang-orang berbeda pendapat mengenai hal ini. Abul Laits bin
Sa'ad berkata, 'Memasukkan air susu perempuan melalui hidung tidak menjadikan
haramnya perkawinan (antara perempuan tersebut dengan yang dimasuki air susunya
tadi), dan tidak mengharamkan perkawinan pula jika si anak diberi minum air
susu si perempuan yang dicampur dengan obat, karena yang demikian itu bukan
penyusuan, sebab penyusuan itu ialah yang dihisap melalui tetek. Demikianlah
pendapat al-Laits, dan ini pula pendapat kami dan pendapat Abu Sulaiman yakni Daud,
imam Ahli Zhahir dan sahabat-sahabat kami, yakni Ahli Zhahir.[27]
Lebih
lanjut Yusuf Qardhawi berpendapat, seandainya diterima pendapat jumhur yang
tidak mensyaratkan penyusuan dan pengisapan, niscaya terdapat alasan lain yang
menghalangi pengharaman (perkawinan). Yaitu, kita tidak mengetahui siapakah
wanita yang disusu (air susunya diminum) oleh anak itu? Berapa kadar air
susunya yang diminum oleh anak tersebut? Apakah sebanyak yang dapat
mengenyangkan yaitu lima kali susuan menurut pendapat terpilih yang ditunjuki
oleh hadits dan dikuatkan oleh penalaran bahwa dapat menumbuhkan daging, dan
mengembangkan tulang, sebagaimana pendapat mazhab Syafi'i dan Hambali.[28]
كَانَ فِيمَا
أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ
نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنْ الْقُرْآنِ
"Dahulu dalam Al Qur`an
susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan,
kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu
Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu."
(HR Muslim).
Apakah air
susu yang sudah dicampur dengan bermacam-macam air susu lainnya terhukum sama
dengan air susu murni? Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dikatakan oleh
Abu Yusuf, bahwa air susu seorang perempuan apabila bercampur dengan air susu
perempuan lain, maka hukumnya adalah hukum air susu yang dominan (lebih
banyak), karena pemanfaatan air susu yang tidak dominan tidak tampak bila
dibandingkan dengan yang dominan.[30]
Seperti
yang telah dikenal bahwa penyusuan yang meragukan tidaklah menyebabkan
pengharaman.
Al-Allamah Ibnu Qudamah berkata
dalam al-Mughni:
“Apabila timbul keraguan tentang
adanya penyusuan, atau mengenai jumlah bilangan penyusuan yang mengharamkan, apakah
sempurna ataukah tidak, maka tidak dapat menetapkan pengharaman, karena pada
asalnya tidak ada pengharaman. Kita tidak bisa menghilangkan sesuatu yang
meyakinkan dengan sesuatu yang meragukan, sebagaimana halnya kalau terjadi keraguan
tentang adanya talak dan bilangannya.”[31]
Sedangkan di dalam kitab al-Ikhtiar yang merupakan
salah satu kitab mazhab Hanafi, disebutkan:
“Seorang perempuan yang
memasukkan puting susunya ke dalam mulut seorang anak, sedangkan ia tidak tahu
apakah air susunya masuk ke kerongkongan ataukah tidak, maka yang demikian itu
tidak mengharamkan pernikahan.”[32]
Demikian
pula seorang anak perempuan yang disusui beberapa penduduk kampung, dan tidak
diketahui siapa saja mereka itu, lalu ia dinikahi oleh salah seorang laki-laki
penduduk kampung (desa) tersebut, maka pernikahannya itu diperbolehkan. Karena
kebolehan nikah merupakan hukum asal yang tidak dapat dihapuskan oleh sesuatu
yang meragukan.[33]
Dan bagi kaum wanita, janganlah mereka
menyusui setiap anak kecuali karena darurat. Jika mereka melakukannya, maka
hendaklah mereka mengingatnya atau mencatatnya, sebagai sikap hati-hati. Bahwa apa
yang terjadi dalam persoalan bank susu ini bukanlah penyusuan yang sebenarnya.
Andaikata diterima bahwa yang demikian sebagai penyusuan, maka hal itu adalah
karena darurat, sedangkan mengingatnya dan mencatatnya tidaklah memungkinkan,
karena bukan terhadap seseorang yang tertentu, melainkan telah bercampur dengan
yang lain.[34]
b. Haruskah Ada Saksi?
Hal
lain yang menyebabkan perbedaan pendapat adalah masalah saksi. Sebagian ulama
mengatakan bahwa untuk terjadinya persusuan yang mengakibatkan kemahraman, maka
harus ada saksi. Seperti pendapat Ash-Sharabshi, ulama Azhar. Namun ulama
lainnya mengatakan tidak perlu ada saksi. Cukup keterangan dari wanita yang
menyusui saja.
Bagi
kalangan yang mewajibkan ada saksi, hubungan mahram yang diakibatkan karena
penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki
dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki.
Bila
tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan
hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut. Sehingga
tidak perlu ada yang dikhawatirkan dari bank susu ibu. Karena susu yang diminum
oleh para bayi menjadi tidak jelas susu siapa dari ibu yang mana. Dan ketidak-jelasan
itu malah membuat tidak akan terjadi hubungan kemahraman.
Dalilnya
adalah bahwa sesuatu yang bersifat syak (tidak jelas, ragu-ragu, tidak ada
saksi), maka tidak mungkin ditetapkan di atasnya suatu hukum. Pendeknya, bila
tidak ada saksinya, maka tidak akan mengakibatkan kemahraman.
Sedangkan
menurut ulama lainnnya, tidak perlu ada saksi dalam masalah penyusuan. Yang
penting cukuplah wanita yang menyusui bayi mengatakannya. Maka siapa pun bayi
yang minum susu dari bank susu, maka bayi itu menjadi mahram buat semua wanita
yang menyumbangkan air susunya. Dan ini akan mengacaukan hubungan kemahraman dalam
tingkat yang sangat luas.
2.5 Pengertian
Bank Sperma
Bank sperma adalah pengambilan sperma dari donor sperma
lalu dibekukan dan disimpan ke dalam larutan nitrogen cair untuk mempertahankan
fertilitas sperma. Dalam bahasa medis bisa disebut juga Cryiobanking. Cryiobanking
adalah suatu teknik penyimpanan sel cryopreserved untuk digunakan di
kemudian hari. Pada dasarnya, semua sel dalam tubuh manusia dapat disimpan
dengan menggunakan teknik dan alat tertentu sehingga dapat bertahan hidup untuk
jangka waktu tertentu. [35]
Hal ini dapat dilakukan pada suhu yang relatif rendah.
Teknik yang paling sering digunakan dan terbukti berhasil saat ini adalah
metode Controlled Rate Freezing, dengan menggunakan gliserol dan egg
yolk sebagai cryoprotectant untuk mempertahankan integritas membran sel selama
proses pendinginan dan pencairan. Teknik cryobanking terhadap sperma manusia
telah memungkinkan adanya keberadaan donor semen, terutama untuk
pasangan-pasangan infertil. Tentu saja, semen-semen yang akan didonorkan perlu
menjalani serangkaian pemeriksaan, baik dari segi kualitas sperma maupun dari
segi pendonor seperti adanya kelainan-kelainan genetik.[36]
Dengan adanya cryobanking ini, sperma dapat disimpan
dalam jangka waktu lama, bahkan lebih dari 6 bulan (dengan tes berkala terhadap
HIV dan penyakit menular seksual lainnya selama penyimpanan).[37]
Selain digunakan untuk sperma-sperma yang berasal dari
donor, bank sperma juga dapat dipergunakan oleh para suami yang produksi
spermanya sedikit atau bahkan akan terganggu. Hal ini dimungkinkan karena
derajat cryosurvival dari sperma yang disimpan tidak ditentukan oleh kualitas
sperma melainkan lebih pada proses penyimpanannya.
Telah disebutkan
di atas, bank sperma dapat dipergunakan oleh mereka yang produksi spermanya
akan terganggu. Maksudnya adalah pada mereka yang akan menjalani vasektomi atau
tindakan medis lain yang dapat menurunkan fungsi reproduksi seseorang. Dengan
bank sperma, semen dapat dibekukan dan disimpan sebelum vasektomi untuk
mempertahankan fertilitas sperma.
Latar belakang munculnya bank sperma antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Keinginan
memperoleh atau menolong untuk memperoleh keturunan pada seorang pasangan suami
istri yang tidak mempunyai anak.
2. Memperoleh
generasi jenius atau orang super.
3. Menghindarkan
kepunahan manusia
4. Memilih
suatu jenis kelamin
Adapun tujuan diadakan bank sperma adalah semata-mata
untuk membantu pasangan suami isteri yang sulit memperoleh keturunan dan
menghindarkan dari kepunahan.
Tentang
proses pelaksanaan sperma yang akan diambil atau dibeli dari bank sperma untuk
dimasukkan ke dalam alat kelamin perempun (ovum) agar bisa hamil disebut dengan
inseminasi buatan yaitu suatu cara atau teknik memperoleh kehamilan tanpa
melalui persetubuhan. Pertama setelah sel telur dan sperma di dapat atau telah
dibeli dari bank sperma yang telah dilakukan pencucian sperma dengan tujuan
memisahkan sperma yang motil dengan sperma yang tidak motil/mati. Sesudah itu
antara sel telur dan sperma dipertemukan. Jika dengan teknik in vitro, kedua
calon bibit tersebut dipertemukan dalam cawan petri, tetapi teknik TAGIT sperma
langsung disemprotkan ke dalam rahim. Untuk menghindari kemungkinan kegagalan,
penenaman bibit biasanya lebih dari satu. Embrio yang tersisa kemudian disimpan
beku atau dibuang.[39]
2.6
Hubungan Perkawinan dan Bank Sperma
Perkawinan di dalam Islam merupakan suatu institusi yang
mulia. Ia adalah ikatan yang menghubungkan seorang lelaki dengan seorang
perempuan sebagai suami isteri. Hasil dari akad yang berlaku, kedua suami dan
isteri mempunyai hubungan yang sah dan kemaluan keduanya adalah halal untuk
satu sama lain.[40] Sebab itulah akad
perkawinan ini dikatakan sebagai satu akad untuk menghalalkan persetubuhan di
antara seorang lelaki dengan wanita, yang sebelumnya diharamkan.
Hubungan perkawinan bukanlah semata-mata untuk
mendapatkan kepuasan seks, tetapi merupakan satu kedudukan untuk melestarikan
keturunan manusia secara sah atau sebagai wahana. Karena itulah kehadiran anak
merupakan hal yang didambakan oleh orang tua sebagai generasi penerus dari
keluarganya. Dalam Islam perkawinan merupakan hal yang penting, mengingat dari
perkawinan ini akan menentukan hukum yang lain yang muncul dari sebab nasab,
seperti perwalian, waris dan lain-lain.[41]
Namun
demikian tidak semua pasangan memiliki kemudahan dalam mendapat keturunan,
tetapi ada sebagian mereka yang sulit mendapat keturunan yang disebabkan oleh
kurangnya kesuburan, mengidap suatu penyakit atau alasan lain. Maka mucullah
gagasan mendirikan bank sperma.[42] Kehadiran bank sperma
merupakan peluang bagi pasangan yang sulit untuk mendapatkan keturunan untuk
memiliki keturunan melalui jalan lain, yaitu membeli sperma dan diinseminasikan
ke dalam rahim isteri.
2.7
Hukum Mendirikan Bank Sperma
Hukum dan pendapat inseminasi buatan menurut pendapat
ulama` apabila sperma dari suami sendiri dan ovum dari istri sendiri kemudian
disuntukkan kedalam vagina atau uterus istri, asal keadaan kondisi suami isteri
yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk
memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami isteri tidak
berhasil memperoleh anak. Hal ini sesuai dengan kaidh hukum fiqh Islam:
اَلْحَاجَةُ
تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ وَالضَّرُوْرَةِ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Hajat
(kebutuhan yang sangat penting itu) diperlakukan seperti dalam keadaan terpaksa
(emergency). Padahal keadaan darurat/terpaksa itu membolehkan melakukkan
hal-hal yang terlarang.
Di antara fuqaha yang
memperbolehkan/menghalalkan inseminasi buatan yang bibitnya berasal dari
suami-isteri ialah Syaikh Mahmud Saltut, Syaikh Yusuf al-Qardhawy, Ahmad
al-Ribashy, dan Zakaria Ahmad al-Barry.[43] Secara
organisasi, yang menghalalkan inseminasi buatan jenis ini Majelis Pertimbangan
Kesehatan dan Depertemen Kesehatan RI, Mejelis Ulama` DKI Jakarta, dan lembaga
Islam OKI yang berpusat di Jeddah. Selain kasus di atas (sperma suami ditanam
pada rahim isteri) demi kehati-hatian maka ulama mengharamkannya. Contoh sperma
dari orang lain ditanam pada rahim isteri. Diantara yang mengharamkan adalah
Lembaga fiqih Islam OKI, Majelis Ulama DKI Jakarta, Mahmud Syaltut, Yusuf
al-Qardhawy, al-Ribashy dan zakaria ahmad al-Barry dengan pertimbangan
dikhawatirkan adanya percampuran nasab dan hal-hal yang tidak diinginkan
lainnya.[44] Hal
ini sesuai dengan keputusan Majelis Ulama Indonesia tentang masalah bayi tabung
atau inseminasi buatan
[1]
Ahsin W. Al-Hafidz, Fikih Kesehatan, (Jakarta: Amzah, 2007), 262.
[2]
Ibid.
[4]
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa
Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), 120.
[5]
Ibid.
[6]
http://9monthsmagazine.blogspot.com/2009/02/bank-asi.html. Diakses Kamis,
19/09/2013.
[7]
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/BankSusu1.html. Diakses
Senin, 16/9/2013.
[8]
Ibid.
[9]
Ibid.
[10]
Ibid.
[11]
Ahmad Sarwat, Seri Fikih Kehidupan (13): Kedokteran, (Jakarta Selatan:
DU Publising, 2011), 202.
[12]
Ibid.
[13]
Ibid, 203.
[14]
Ibid.
[15]
Ahsin W. Al-Hafidz, Fikih Kesehatan, (Jakarta: Amzah, 2007), 270-271.
[16]
Ibid.
[18]
Ibid.
[19]
Ibid.
[20]
Ibid.
[21]
Ahmad Sarwat, Seri Fikih Kehidupan (13): Kedokteran, (Jakarta Selatan:
DU Publising, 2011), 203-204.
[22]
Ibid.
[24]
Ibid.
[25]
Ibid.
[27]
Ibid.
[28]
Ibid.
[29]
Abdurrahman Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1998), 75.
[31]
Ibid.
[32]
Ibid.
[33]
Ibid.
[34]
Ibid.
[35]
Abdul Qadim Zallum, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam:
Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh
Buatan, Definisi Hidup dan Mati, (Bangil: Al-Izzah, 1998), 237.
[36]
Ibid.
[37]
Ibid.
[38]
Ibid., 246.
[39]
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al Haditsah: Masalah-masalah Kontemporer Hukum
Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), 164.
[40]
Ibid.
[41]
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa
Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), 142.
[42]
Ibid.
[43]
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al Haditsah: Masalah-masalah Kontemporer Hukum
Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), 165.
[44]
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2000), 282.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar