7 Mar 2016

Pendirian Bank ASI dan Bank Sperma

2.1 ASI Dalam Al-Quran
Alquran telah menegaskan keharusan seorang ibu untuk menyusui anaknya. Allah telah berfirman:
 وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah (2): 233).[1]
Dari ayat di atas dapat dipahami keharusan seorang ibu menyusui anaknya. Kaum perempuan, baik yang masih berfungsi sebagai istri maupun yang dalam keadaan tertalak diwajibkan untuk menyusui anaknya selama dua tahun penuh dan tidak lebih dari itu, tetapi diperbolehkan kurang dari masa itu apabila kedua orang tua memandang adanya kemaslahatan.[2]
2.2 Pengertian Bank ASI
Idealnya bayi menyusu dari ibunya sendiri, namun tidak semua ibu beruntung bisa memberikan ASI ekslusifnya pada bayi mereka. Ada beberapa penyebab mengapa ibu tidak bisa memberikan ASI untuk bayinya sendiri, antara lain:
a.    Kelahiran prematur, sehingga suplai ASI belum memadai untuk kebutuhan si bayi. Stres ibu yang melahirkan bayi prematur juga menyebabkan ASI tidak keluar.
b.    Ibu yang melahirkan bayi kembar dua atau tiga. Suplai ASInya tidak mencukupi kebutuhan si bayi kembar ini.
c.    Jika ibu menderita penyakit yang mengharuskan minum obat tertentu dan membahayakan kesehatan bayi, misalnya obat kemoterapi.
d.   Ibu menderita penyakit menular seperti Hepatitis atau HIV Aids.
e.    Mungkin ibu mengalami masalah kesehatan serius yang menyebabkan ASInya sama sekali tak dapat keluar.[3]
Bank ASI merupakan tempat penyimpanan dan penyalur ASI dari donor ASI yang kemudian akan diberikan kepada ibu-ibu yang tidak bisa memberikan ASI sendiri ke bayinya. Ibu yang sehat dan memiliki kelebihan produksi ASI bisa menjadi pendonor ASI. ASI biasanya disimpan di dalam plastik atau wadah, yang didinginkan dalam lemari es agar tidak tercemar oleh bakteri. Kesulitan para ibu memberikan ASI untuk anaknya menjadi salah satu pertimbangan mengapa bank ASI perlu didirikan, terutama di saat krisis seperti pada saat bencana yang sering membuat ibu-ibu menyusui stres dan tidak bisa memberikan ASI pada anaknya.[4]
Semua ibu donor diskrining dengan hati-hati. Ibu donor harus memenuhi syarat, yaitu non-perokok, tidak minum obat dan alkohol, dalam kesehatan yang baik dan memiliki kelebihan ASI. Selain itu, ibu donor harus memiliki tes darah negatif untuk Hepatitis B dan C, HIV 1 dan 2, serta HTLV 1 dan 2, memiliki kekebalan terhadap rubella dan sifilis negatif. Juga tidak memiliki riwayat penyakit TBC aktif, herpes atau kondisi kesehatan kronis lain seperti multiple sclerosis atau riwayat kanker. Berapa lama ASI dapat bertahan sesuai dengan suhu ruangannya:
a.    Suhu 19-25 derajat celsius ASI dapat tahan 4-8 jam.
b.    Suhu 0-4 derajat celsius ASI tahan 1-2 hari
c.    Suhu dalam freezer khusus bisa tahan 3-4 bulan.[5]
Negara-negara yang sudah memiliki Bank ASI: AS, Australia, Brazil, Bulgaria, The Czech Republic, Denmark, Finland, Kanada, Prancis, Jerman, Yunani, India, Inggris, Jepang, Norway, Swedia, dan Switzerland.[6]
2.3 Hukum Mendirikan Bank ASI
Para ulama kontemporer memandang dari beberapa sudut pandang yang berlainan terhadap adanya Bank Air Susu Ibu, sehingga yang kita temui dari fatwa mereka pun saling berbeda. Sebagian mendukung adanya bank air susu tapi yang lainnya malah tidak setuju.
a.    Pendapat Yang Membolehkan
Ulama besar semacam Dr. Yusuf Al-Qardhawi tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya semacam "bank susu." Asalkan bertujuan untuk mewujudkan maslahat syar'iyah yang kuat dan untuk memenuhi keperluan yang wajib dipenuhi.[7]
Beliau cenderung mengatakan bahwa bank air susu ibu bertujuan baik dan mulia, didukung oleh Islam untuk memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang baru dilahirkan yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.[8]
Beliau juga mengatakan bahwa para wanita yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan sebenarnya wanita itu boleh menjual air susunya, bukan sekedar menyumbangkannya. Sebab di masa nabi, para wanita yang menyusui bayi melakukannya karena faktor mata pencaharian. Sehingga hukumnya memang diperbolehkan untuk menjual air susu.[9]
Bahkan Al-Qardhawi memandang bahwa institusi yang bergerak dalam bidang pengumpulan ‘air susu’ itu yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dinikmati oleh bayi-bayi atau anak-anak patut mendapatkan ucapan terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh pahala.[10]
Selain Al-Qardhawi, yang menghalalkan bank susu adalah Al-Ustadz Asy-Syeikh Ahmad Ash-Shirbasi, ulama besar Al-Azhar Mesir. Beliau menyatakan bahwa hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki.[11]
Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut.[12]
b.    Pendapat Yang Menolak
Di antara ulama kontemporer yang tidak membenarkan adanya bank air susu adalah Dr. Wahbah Az-Zuhayli dan juga Majma' Fiqih Islami. Dalam kitab Fatawa Mua'sirah, beliau menyebutkan bahwa mewujudkan institusi bank susu tidak dibolehkan dari segi syariah.[13]
Demikian juga dengan Majma' Fiqih Al-Islami melalui Badan Muktamar Islam yang diadakan di Jeddah pada tanggal 22 – 28 Disember 1985/ 10 – 16 Rabiul Akhir 1406. Lembaga ini dalam keputusannya (qarar) menentang keberadaan bank air susu ibu di seluruh negara Islam serta mengharamkan pengambilan susu dari bank tersebut.[14]
2.4 Perdebatan Dari Segi Dalil
Ternyata perbedaan pendapat dari dua kelompok ulama ini terjadi di seputar syarat dari penyusuan yang mengakibatkan kemahraman. Setidaknya ada dua syarat penyusuan yang diperdebatkan. Pertama, apakah disyaratkan terjadinya penghisapan atas puting susu ibu?. Kedua, apakah harus ada saksi penyusuan?.
a.    Haruskah Lewat Menghisap Puting Susu?
Makna radha’ (penyusuan) yang menjadi acuan syara’ dalam menetapkan pengharaman (perkawinan), menurut jumhur fuqaha (termasuk tiga orang Imam mazhab, yakni Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i), ialah segala sesuatu yang sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya, dengan cara menghisap atau lainnya, seperti dengan al-wajur, yaitu menuangkan air susu lewat mulut ke kerongkongan, bahkan mereka juga menyamakan pula dengan as-sa’uth, yaitu menuangkan air susu ke hidung (lantas ke kerongkongan), dan ada pula yang berlebihan dengan menyamakannya dengan suntikan sekalipun melalui dubur.[15]
Tetapi semua itu ditentang oleh Imam al-Laits bin Sa'ad, yang hidup sezaman dengan Imam Malik dan sebanding (ilmunya) dengan beliau. Begitu pula golongan Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.[16]
Al-Allamah Ibnu Qudamah menyebutkan dua riwayat dari Imam Ahmad mengenai al-wajur dan as-sa’uth.
1)   Riwayat pertama, lebih dikenal sebagai riwayat dari Imam Ahmad dan sesuai dengan jumhur ulama, bahwa pengharaman itu terjadi melalui keduanya (yakni  dengan  memasukkan  susu  ke dalam perut baik lewat mulut maupun lewat hidung). Adapun yang melalui mulut (al-wajur), karena hal itu menumbuhkan daging dan membentuk tulang, maka sama saja dengan menyusu. Sedangkan yang melalui hidung (as-sa’uth), karena merupakan jalan yang dapat membatalkan puasa, maka ia juga menjadi jalan terjadinya pengharaman (perkawinan) karena susuan, sebagaimana halnya melalui mulut.
2)   Riwayat kedua, bahwa hal tersebut tidak menyebabkan haramnya perkawinan, karena kedua cara ini bukan penyusuan.[17]
Disebutkan  di  dalam  al-Mughni  "Ini  adalah  pendapat  yang dipilih   Abu   Bakar,   mazhab   Daud,  dan  perkataan  Atha' al-Khurasani mengenai sa'uth, karena yang demikian  ini  bukan penyusuan,  sedangkan  Allah  dan Rasul-Nya hanya mengharamkan (perkawinan) karena penyusuan. Karena memasukkan  susu  lewat hidung  bukan  penyusuan (menghisap puting susu), maka ia sama saja dengan memasukkan susu melalui luka pada tubuh."[18]
Sementara pengarang kitab Al-Mughni sendiri menguatkan riwayat yang pertama berdasarkan hadis Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
لاَرَضَاعَ اِلاَّمَاانْشَزَالْعُظْمَ وَانْبَتَ ا للَّحْمَ
Tidak ada penyusuan kecuali yang membesarkan tulang dan menumbuhkan daging. (HR. Abu Dawud).[19]
Selanjutnya  pengarang  al-Mughni berkata, "Karena dengan cara ini air susu dapat sampai ke tempat yang sama --jika dilakukan melalui  penyusuan--  serta  dapat  mengembangkan  tulang  dan menumbuhkan daging sebagaimana melalui penyusuan, maka hal itu wajib    disamakan   dengan   penyusuan   dalam   mengharamkan (perkawinan).  Karena  hal  itu  juga  merupakan  jalan   yang membatalkan  puasa  bagi  orang  yang  berpuasa,  maka ia juga merupakan  jalan  untuk  mengharamkan  perkawinan  sebagaimana halnya penyusuan dengan mulut."[20]
Bagi mereka yang mengharamkan bank susu, tidak ada kriteria menyusu harus dengan proses bayi menghisap puting susu. Justru yang menjadi kriteria adalah meminumnya, bukan cara meminumnya.
Kalangan yang membolehkan bank susu mengatakan bahwa bayi yang diberi minum air susu dari bank susu, tidak akan menjadi mahram bagi para wanita yang air susunya ada di bank itu. Sebab kalau sekedar hanya minum air susu, tidak terjadi penyusuan. Sebab yang namanya penyusuan harus lewat penghisapan puting susu ibu.
Mereka berdalil dengan fatwa Ibnu Hazm, dimana beliau mengatakan bahwa sifat penyusuan haruslah dengan cara menghisap puting susu wanita yang menyusui dengan mulutnya.
Dalam fatwanya, Ibnu Hazm mengatakan bahwa bayi yang diberi minum susu seorang wanita dengan menggunakan botol atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya, atau dimakan bersama roti atau dicampur dengan makanan lain, dituangkan ke dalam mulut, hidung, atau telinganya, atau dengan suntikan, maka yang demikian itu sama sekali tidak mengakibatkan kemahraman.[21]
Menurut Ibnu Hazm, proses memasukkan puting susu wanita di dalam mulut bayi harus terjadi sebagai syarat dari penyusuan.[22]
Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fatwa-Fatwa Kontemporer berkata, kalau ‘illat-nya adalah karena mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging dengan cara apapun, maka wajib kita katakana sekarang bahwa mentranfusikan darah seorang wanita kepada seorang anak menjadikan wanita tersebut haram kawin dengan anak itu, sebab tranfusi darah melalui pembuluh darah ini lebih cepat dan lebih kuat pengaruhnya daripada susu.[23] Menurutnya, Pembuat Syariat menjadikan asas pengharamannya itu pada “keibuan yang menyusukan” sebagaimana firman-Nya:
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan. (an-Nisa’ (4): 23)
Adapun “keibuan” yang ditegaskan Alquran itu tidak terbentuk semata-mata diambilkan air susunya, tetapi karena menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah persaudaraan sepersusuan. Jadi keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain itu mengikutinya.[24]
Dengan demikian, kita wajib berhenti pada lafal-lafal yang dipergunakan Syari' di sini. Sedangkan lafal-lafal yang dipergunakan-Nya itu seluruhnya membicarakan irdha' dan radha'ah (penyusuan), dan makna lafal ini menurut bahasa Al-Qur'an dan As-Sunnah sangat jelas dan terang, yaitu memasukkan tetek ke mulut dan menghisapnya, bukan sekadar memberi minum susu dengan cara apa pun.[25]
Maka dalam hal ini Allah dan Rasul-Nya tidak mengharamkan nikah kecuali karena irdha' (menyusui), kecuali jika wanita itu meletakkan susunya ke dalam mulut yang menyusu. Dikatakan (dalam qiyas ishtilahi): ardha'athu-turdhi'uhu-irdha'an, yang berarti menyusui. Tidaklah dinamakan radha'ah dan radha'/ridha (menyusu) kecuali jika anak yang menyusu itu mengambil tetek wanita yang menyusuinya dengan mulutnya, lalu menghisapnya. Dikatakan (dalam qiyas ishtilahi, dalam ilmu sharaf): radha'a - yardha'u/yardhi'u radha'an/ridha'an wa radha'atan/ridha'atan. Adapun selain cara seperti itu, sebagaimana yang  disebutkan di atas, maka sama sekali tidak dinamakan  irdha',  radha'ah, dan radha', melainkan hanya air susu, makanan, minuman, minum, makan, menelan, suntikan, menuangkan ke hidung, dan meneteskan, sedangkan Allah Azza wa Jalla tidak mengharamkan perkawinan sama sekali yang disebabkan hal-hal seperti ini.[26]
Abu Muhammad berkata, Orang-orang berbeda pendapat mengenai hal ini. Abul Laits bin Sa'ad berkata, 'Memasukkan air susu perempuan melalui hidung tidak menjadikan haramnya perkawinan (antara perempuan tersebut dengan yang dimasuki air susunya tadi), dan tidak mengharamkan perkawinan pula jika si anak diberi minum air susu si perempuan yang dicampur dengan obat, karena yang demikian itu bukan penyusuan, sebab penyusuan itu ialah yang dihisap melalui tetek. Demikianlah pendapat al-Laits, dan ini pula pendapat kami dan pendapat Abu Sulaiman yakni Daud, imam Ahli Zhahir dan sahabat-sahabat kami, yakni Ahli Zhahir.[27]
Lebih lanjut Yusuf Qardhawi berpendapat, seandainya diterima pendapat jumhur yang tidak mensyaratkan penyusuan dan pengisapan, niscaya terdapat alasan lain yang menghalangi pengharaman (perkawinan). Yaitu, kita tidak mengetahui siapakah wanita yang disusu (air susunya diminum) oleh anak itu? Berapa kadar air susunya yang diminum oleh anak tersebut? Apakah sebanyak yang dapat mengenyangkan yaitu lima kali susuan menurut pendapat terpilih yang ditunjuki oleh hadits dan dikuatkan oleh penalaran bahwa dapat menumbuhkan daging, dan mengembangkan tulang, sebagaimana pendapat mazhab Syafi'i dan Hambali.[28]
Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra, bahwasanya beliau berkata:[29]
كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنْ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنْ الْقُرْآنِ
"Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu." (HR Muslim).
Apakah air susu yang sudah dicampur dengan bermacam-macam air susu lainnya terhukum sama dengan air susu murni? Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Yusuf, bahwa air susu seorang perempuan apabila bercampur dengan air susu perempuan lain, maka hukumnya adalah hukum air susu yang dominan (lebih banyak), karena pemanfaatan air susu yang tidak dominan tidak tampak bila dibandingkan dengan yang dominan.[30]
Seperti yang telah dikenal bahwa penyusuan yang meragukan tidaklah menyebabkan pengharaman.
Al-Allamah Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni:
Apabila timbul keraguan tentang adanya penyusuan, atau mengenai jumlah bilangan penyusuan yang mengharamkan, apakah sempurna ataukah tidak, maka tidak dapat menetapkan pengharaman, karena pada asalnya tidak ada pengharaman. Kita tidak bisa menghilangkan sesuatu yang meyakinkan dengan sesuatu yang meragukan, sebagaimana halnya kalau terjadi keraguan tentang adanya talak dan bilangannya.”[31]
Sedangkan  di dalam kitab al-Ikhtiar yang merupakan salah satu kitab mazhab Hanafi, disebutkan:
Seorang perempuan yang memasukkan puting susunya ke dalam mulut seorang anak, sedangkan ia tidak tahu apakah air susunya masuk ke kerongkongan ataukah tidak, maka yang demikian itu tidak mengharamkan pernikahan.”[32]
Demikian pula seorang anak perempuan yang disusui beberapa penduduk kampung, dan tidak diketahui siapa saja mereka itu, lalu ia dinikahi oleh salah seorang laki-laki penduduk kampung (desa) tersebut, maka pernikahannya itu diperbolehkan. Karena kebolehan nikah merupakan hukum asal yang tidak dapat dihapuskan oleh sesuatu yang meragukan.[33]
 Dan bagi kaum wanita, janganlah mereka menyusui setiap anak kecuali karena darurat. Jika mereka melakukannya, maka hendaklah mereka mengingatnya atau mencatatnya, sebagai sikap hati-hati. Bahwa apa yang terjadi dalam persoalan bank susu ini bukanlah penyusuan yang sebenarnya. Andaikata diterima bahwa yang demikian sebagai penyusuan, maka hal itu adalah karena darurat, sedangkan mengingatnya dan mencatatnya tidaklah memungkinkan, karena bukan terhadap seseorang yang tertentu, melainkan telah bercampur dengan yang lain.[34]
b.    Haruskah Ada Saksi?
Hal lain yang menyebabkan perbedaan pendapat adalah masalah saksi. Sebagian ulama mengatakan bahwa untuk terjadinya persusuan yang mengakibatkan kemahraman, maka harus ada saksi. Seperti pendapat Ash-Sharabshi, ulama Azhar. Namun ulama lainnya mengatakan tidak perlu ada saksi. Cukup keterangan dari wanita yang menyusui saja.
Bagi kalangan yang mewajibkan ada saksi, hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki.
Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut. Sehingga tidak perlu ada yang dikhawatirkan dari bank susu ibu. Karena susu yang diminum oleh para bayi menjadi tidak jelas susu siapa dari ibu yang mana. Dan ketidak-jelasan itu malah membuat tidak akan terjadi hubungan kemahraman.
Dalilnya adalah bahwa sesuatu yang bersifat syak (tidak jelas, ragu-ragu, tidak ada saksi), maka tidak mungkin ditetapkan di atasnya suatu hukum. Pendeknya, bila tidak ada saksinya, maka tidak akan mengakibatkan kemahraman.
Sedangkan menurut ulama lainnnya, tidak perlu ada saksi dalam masalah penyusuan. Yang penting cukuplah wanita yang menyusui bayi mengatakannya. Maka siapa pun bayi yang minum susu dari bank susu, maka bayi itu menjadi mahram buat semua wanita yang menyumbangkan air susunya. Dan ini akan mengacaukan hubungan kemahraman dalam tingkat yang sangat luas.

2.5 Pengertian Bank Sperma
Bank sperma adalah pengambilan sperma dari donor sperma lalu dibekukan dan disimpan ke dalam larutan nitrogen cair untuk mempertahankan fertilitas sperma. Dalam bahasa medis bisa disebut juga Cryiobanking. Cryiobanking adalah suatu teknik penyimpanan sel cryopreserved untuk digunakan di kemudian hari. Pada dasarnya, semua sel dalam tubuh manusia dapat disimpan dengan menggunakan teknik dan alat tertentu sehingga dapat bertahan hidup untuk jangka waktu tertentu. [35]
Hal ini dapat dilakukan pada suhu yang relatif rendah. Teknik yang paling sering digunakan dan terbukti berhasil saat ini adalah metode Controlled Rate Freezing, dengan menggunakan gliserol dan egg yolk sebagai cryoprotectant untuk mempertahankan integritas membran sel selama proses pendinginan dan pencairan. Teknik cryobanking terhadap sperma manusia telah memungkinkan adanya keberadaan donor semen, terutama untuk pasangan-pasangan infertil. Tentu saja, semen-semen yang akan didonorkan perlu menjalani serangkaian pemeriksaan, baik dari segi kualitas sperma maupun dari segi pendonor seperti adanya kelainan-kelainan genetik.[36]
Dengan adanya cryobanking ini, sperma dapat disimpan dalam jangka waktu lama, bahkan lebih dari 6 bulan (dengan tes berkala terhadap HIV dan penyakit menular seksual lainnya selama penyimpanan).[37]
Selain digunakan untuk sperma-sperma yang berasal dari donor, bank sperma juga dapat dipergunakan oleh para suami yang produksi spermanya sedikit atau bahkan akan terganggu. Hal ini dimungkinkan karena derajat cryosurvival dari sperma yang disimpan tidak ditentukan oleh kualitas sperma melainkan lebih pada proses penyimpanannya.
 Telah disebutkan di atas, bank sperma dapat dipergunakan oleh mereka yang produksi spermanya akan terganggu. Maksudnya adalah pada mereka yang akan menjalani vasektomi atau tindakan medis lain yang dapat menurunkan fungsi reproduksi seseorang. Dengan bank sperma, semen dapat dibekukan dan disimpan sebelum vasektomi untuk mempertahankan fertilitas sperma.
Latar belakang munculnya bank sperma antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Keinginan memperoleh atau menolong untuk memperoleh keturunan pada seorang pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak.
2.      Memperoleh generasi jenius atau orang super.
3.      Menghindarkan kepunahan manusia
4.      Memilih suatu jenis kelamin
5.      Mengembangkan kemajuan teknologi terutama dalam bidang kedokteran.[38]
Adapun tujuan diadakan bank sperma adalah semata-mata untuk membantu pasangan suami isteri yang sulit memperoleh keturunan dan menghindarkan dari kepunahan.
Tentang proses pelaksanaan sperma yang akan diambil atau dibeli dari bank sperma untuk dimasukkan ke dalam alat kelamin perempun (ovum) agar bisa hamil disebut dengan inseminasi buatan yaitu suatu cara atau teknik memperoleh kehamilan tanpa melalui persetubuhan. Pertama setelah sel telur dan sperma di dapat atau telah dibeli dari bank sperma yang telah dilakukan pencucian sperma dengan tujuan memisahkan sperma yang motil dengan sperma yang tidak motil/mati. Sesudah itu antara sel telur dan sperma dipertemukan. Jika dengan teknik in vitro, kedua calon bibit tersebut dipertemukan dalam cawan petri, tetapi teknik TAGIT sperma langsung disemprotkan ke dalam rahim. Untuk menghindari kemungkinan kegagalan, penenaman bibit biasanya lebih dari satu. Embrio yang tersisa kemudian disimpan beku atau dibuang.[39]
2.6 Hubungan Perkawinan dan Bank Sperma
Perkawinan di dalam Islam merupakan suatu institusi yang mulia. Ia adalah ikatan yang menghubungkan seorang lelaki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri. Hasil dari akad yang berlaku, kedua suami dan isteri mempunyai hubungan yang sah dan kemaluan keduanya adalah halal untuk satu sama lain.[40] Sebab itulah akad perkawinan ini dikatakan sebagai satu akad untuk menghalalkan persetubuhan di antara seorang lelaki dengan wanita, yang sebelumnya diharamkan.
Hubungan perkawinan bukanlah semata-mata untuk mendapatkan kepuasan seks, tetapi merupakan satu kedudukan untuk melestarikan keturunan manusia secara sah atau sebagai wahana. Karena itulah kehadiran anak merupakan hal yang didambakan oleh orang tua sebagai generasi penerus dari keluarganya. Dalam Islam perkawinan merupakan hal yang penting, mengingat dari perkawinan ini akan menentukan hukum yang lain yang muncul dari sebab nasab, seperti perwalian, waris dan lain-lain.[41]
Namun demikian tidak semua pasangan memiliki kemudahan dalam mendapat keturunan, tetapi ada sebagian mereka yang sulit mendapat keturunan yang disebabkan oleh kurangnya kesuburan, mengidap suatu penyakit atau alasan lain. Maka mucullah gagasan mendirikan bank sperma.[42] Kehadiran bank sperma merupakan peluang bagi pasangan yang sulit untuk mendapatkan keturunan untuk memiliki keturunan melalui jalan lain, yaitu membeli sperma dan diinseminasikan ke dalam rahim isteri.
2.7 Hukum Mendirikan Bank Sperma
Hukum dan pendapat inseminasi buatan menurut pendapat ulama` apabila sperma dari suami sendiri dan ovum dari istri sendiri kemudian disuntukkan kedalam vagina atau uterus istri, asal keadaan kondisi suami isteri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami isteri tidak berhasil memperoleh anak. Hal ini sesuai dengan kaidh hukum fiqh Islam:
اَلْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ وَالضَّرُوْرَةِ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlakukan seperti dalam keadaan terpaksa (emergency). Padahal keadaan darurat/terpaksa itu membolehkan melakukkan hal-hal yang terlarang.
       Di antara fuqaha yang memperbolehkan/menghalalkan inseminasi buatan yang bibitnya berasal dari suami-isteri ialah Syaikh Mahmud Saltut, Syaikh Yusuf al-Qardhawy, Ahmad al-Ribashy, dan Zakaria Ahmad al-Barry.[43] Secara organisasi, yang menghalalkan inseminasi buatan jenis ini Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Depertemen Kesehatan RI, Mejelis Ulama` DKI Jakarta, dan lembaga Islam OKI yang berpusat di Jeddah. Selain kasus di atas (sperma suami ditanam pada rahim isteri) demi kehati-hatian maka ulama mengharamkannya. Contoh sperma dari orang lain ditanam pada rahim isteri. Diantara yang mengharamkan adalah Lembaga fiqih Islam OKI, Majelis Ulama DKI Jakarta, Mahmud Syaltut, Yusuf al-Qardhawy, al-Ribashy dan zakaria ahmad al-Barry dengan pertimbangan dikhawatirkan adanya percampuran nasab dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya.[44] Hal ini sesuai dengan keputusan Majelis Ulama Indonesia tentang masalah bayi tabung atau inseminasi buatan



[1] Ahsin W. Al-Hafidz, Fikih Kesehatan, (Jakarta: Amzah, 2007), 262.
[2] Ibid.
[4] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), 120.
[5] Ibid.
[6] http://9monthsmagazine.blogspot.com/2009/02/bank-asi.html. Diakses Kamis, 19/09/2013.
[7] http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/BankSusu1.html. Diakses Senin, 16/9/2013. 
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ahmad Sarwat, Seri Fikih Kehidupan (13): Kedokteran, (Jakarta Selatan: DU Publising, 2011), 202.
[12] Ibid.
[13] Ibid, 203.
[14] Ibid.
[15] Ahsin W. Al-Hafidz, Fikih Kesehatan, (Jakarta: Amzah, 2007), 270-271.
[16] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ahmad Sarwat, Seri Fikih Kehidupan (13): Kedokteran, (Jakarta Selatan: DU Publising, 2011), 203-204.
[22] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Abdurrahman Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), 75.
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Ibid.                                                       
[35] Abdul Qadim Zallum, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam: Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, (Bangil: Al-Izzah, 1998), 237.
[36] Ibid.
[37] Ibid.
[38] Ibid., 246.
[39] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al Haditsah: Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), 164.
[40] Ibid.
[41] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah: Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), 142.
[42] Ibid.
[43] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al Haditsah: Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), 165.
[44] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), 282.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar